Topo Santoso: Kalau Tidak Ada Panwas, Polisi Bisa Kelabakan
Utama

Topo Santoso: Kalau Tidak Ada Panwas, Polisi Bisa Kelabakan

Tahapan kampanye Pemilu 2004 usai sudah. Bersama itu pula, ribuan kasus pelanggaran Pemilu terjadi dan dilaporkan kepada Panitia Pengawas (Panwas) Pemilu.

Oleh:
Zae
Bacaan 2 Menit
Topo Santoso: Kalau Tidak Ada Panwas, Polisi Bisa <i>Kelabakan</i>
Hukumonline

Untuk lebih mendalami masalah tersebut, hukumonline mendatangi Topo Santoso di kantornya, Gedung Aspac Jakarta (31/03). Dalam wawancara tersebut, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia ini membeberkan kendala penegakan aturan hukum Pemilu ditinjau dari berbagai faktor.

Di situ, Topo juga menolak anggapan salah kaprah sebagian besar anggota masyarakat yang menganggap Panwas tidak bergigi karena tidak berwenang menjatuhkan sanksi.

Bagaimana kuantitas dan kualitas pelanggaran Pemilu sekarang dibanding Pemilu 1999?

Secara umum, mungkin karena pengawasan yang lebih intensif, pelanggaran yang dilaporkan itu jumlahnya jauh lebih banyak. Sampai sebelum masa kampanye saja, jumlahnya sudah menyamai akhir dari pelanggaran pada Pemilu 1999. Total pelanggaran seluruhnya pada Pemilu 1999 itu 5000 lebih. sekarang ini, sebelum masuk masa kampanye sudah sekitar 5000. Kemudian, selama masa kampanye dua Minggu saja sudah tercatat 2000 kasus. Jadi, secara kuantitatif, jauh lebih meningkat.

Secara kualitatif, mengingat bentuk pelanggaran dalam UU Pemilu meningkat, tindak pidana Pemilu juga meningkat dari 15 menjadi 26 jenis, tentu juga semakin bervariasi kualitasnya. Jadi kesimpulannya, secara kualitatif ada peningkatan juga.

Sementara, dari sisi pengawasan dan penegakan hukumnya, kalau kami melihat, jauh lebih efektif. Kalau dulu, sebagai perbandingan, dari 800 kasus pidana yang dilaporkan, itu hanya 5 yang diputus pengadilan. Sekarang ini, dari sekitar 500 lebih tindak pidana Pemilu yang diteruskan kepada polisi, sudah 100 kasus lebih yang diputus oleh pengadilan.  Itu belum pernah terjadi dalam sejarah kita sejak Pemilu 1955 hingga 1999 ada putusan pidana Pemilu sebanyak itu. Itu juga akibat berjalannya, walau belum sempurna, koordinasi antara pengawas Pemilu, kepolisian, dan kejaksaan dengan program Gakumdu (Penegakan Hukum Terpadu, red) yang membuat kebanyakan kasus yang kami laporkan ke polisi itu diproses.

Secara kuantitatif meningkat, apakah karena pengawasan saat ini yang lebih baik?

Antara lain begitu. Karena saat ini, termasuk kepolisian lebih tegas. Polisi itu sekarang tak segan-segan menilang. Kalau dulu kan nggak, hanya membiarkan. Pengawas Pemilu juga sampai tingkat terbawah cukup sigap dalam menindak pelanggaran sekecil apa pun. Jadi, itu yang saya katakan lebih efektif

Aturan Pemilu sudah jelas, mengapa masih terjadi pelanggaran?

Melihat hal itu, bisa dari tiga faktor. Pertama, dari sisi hukumnya/aturannya. Dari sisi peraturan perundang-undangan, sebenarnya lebih bagus dibanding UU No. 3 Tahun 1999. Tetapi, tetap setelah kita jalankan itu, ada kekurangan-kekurangan di sana-sini baru ketahuan setelah dijalankan. Itu nanti kita akan melakukan evaluasi akhir, dan itu akan kita beri masukan untuk penyempurnaan UU Pemilu ke depan.

Kekurangannya apa saja?

Misalnya, ternyata pelanggaran tindak pidana Pemilu yang ada itu masih mudah disimpangi. Masih mudah diserobot, dilakukan penyelundupan terhadap aturan itu. Dari segi definisi, banyak yang bisa diterobos. Dari segi proses dan prosedur juga. Misalnya, ada batasan waktu bagi penyidikan dan penuntutan, tetapi tidak ada batasan waktu untuk banding itu berapa lama. Pelimpahan berkas dari pengadilan negeri ke pengadilan tinggi itu berapa lama? Itu kekurangan di UU Pemilu sekarang.

Soal anggapan bahwa sanksi dalam UU Pemilu lebih rendah dari KUHP?

Tapi, kita harus konsisten. Kalau ada UU khusus tentang Pemilu, ya harus digunakan. Itu namanya konsisten. Sebetulnya, soal sanksi yang lebih rendah dalam UU Pemilu saya punya pendapat sendiri, yang mungkin banyak juga yang merasa kok sanksi pidana banyak yang kemudian turun semua.

Saya melihat KUHP, kemudian UU No.7 Tahun 1953 sampai UU Pemilu terakhir UU No.3 Tahun 1999 itu sanksinya berat semua. Bisa sampai lima tahun ancamannya. Tetapi, itu tidak efektif karena tidak dijalankan. Jadi, yang penting sekarang adalah bagaimana undang-undang, meski sanksinya tidak lebih berat dibanding dahulu, tetapi efektif dijalankan dan cepat serta menimbulkan efek jera. Dibandingkan sanksi yang berat tapi nggak pernah dijatuhkan.

Tinjauan dari struktur hukum?

Penyelesaian pelanggaran Pemilu kan ada tiga macam. Yaitu tindak pidana Pemilu, administratif, dan sengketa. Untuk penyelesaian tindak pidana Pemilu sebenarnya alurnya sudah bagus, dari Panwas, polisi, jaksa, dan pengadilan. Itu ada sistemnya dan hukum acaranya sendiri.

Bahkan dalam soal struktur, posisi Panwas itu jauh lebih bagus karena di dalamnya ada masyarakat, polisi, jaksa, pers dan sebagainya. Itu bisa berperan besar baik untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan proses ke sistem peradilan yang lebih bagus.

Tetapi ada kekurangannya, kalau misalnya ada intervensi-intervensi khususnya dalam institusi tertentu. Ini tentu sama seperti proses penegakan hukum yang lain, jika ada intervensi sulit juga untuk dijalankan.

Di Panwas tidak ada intervensi, tapi di institusi-institusi tertentu ada. Kita tahu misalnya di setiap pemerintahan daerah tentu tidak terlepas adanya hubungan koordinasi antara aparat kepolisian daerah, kemudian dengan gubernur dan macam-macam pejabat. Ini seharusnya dilakukan betul-betul profesional, tidak boleh ada sama sekali saling mempengaruhi. Tetapi, ada lah kasus satu dua. Ini tentu sama dengan penegakan hukum bidang lain. Karena itu ini yang saya kira harus diperbaiki ke depan.

Bagaimana dengan anggapan bahwa kewenangan Panwas yang minimal?

Itu nggak masalah. Karena di negara lain tugasnya juga begitu. Ini yang masyarakat sering salah kaprah, dianggap bahwa Panwas itu bisa memberikan sanksi. Di negara lain pun yang memberi sanksi itu adalah pengadilan. Nggak ada institusi lain yang berwenang menjatuhkan sanksi Pemilu seperti itu, kecuali pengadilan dan juga KPU. Salah kaprah masyarakat yang menganggap bahwa Panwas itu nggak bergigi dan nggak berani menjatuhkan sanksi. Baca undang-undangnya.

Pertama, Panwas itu dalam soal pidana, sama seperti institusi lain, tidak bisa menyidik. Tetapi, dengan kasus masuk ke Panwas, diproses, dikaji, itu sangat menguntungkan penegak hukum. Sangat menguntungkan proses penegakan hukum yang cepat. Kalau tidak diproses di Panwas, maka ribuan kasus masuk ke polisi dan polisi akan kelabakan dengan waktu yang ada untuk menyeleksi itu. Di Panwas sudah diseleksi, di dalamnya ada polisi, ada jaksa, ada akademisi dan lain sebagainya.

Kedua, adalah dalam soal (penyelesaian pelanggaran) administratif. Mestinya dari Panwas ke KPU. Hanya KPU ternyata belum punya mekanisme penyelesaian pelanggaran administratif yang sejak awal kita harapkan ada seperti itu. Sehingga bisa jelas bagaimana waktunya, berapa lama untuk menyelesaikan pelanggaran administratif. Bentuk sanksi pelanggaran administratif apa saja, bentuk pelanggaran administratif itu apa saja. Itu yang saya kira kurang di KPU.

Padahal, jumlah pelanggaran administratif jauh lebih banyak dari pelanggaran pidana. Seharusnya untuk ke depan lebih diatur.

Faktor lainnya?

Terakhir adalah soal kultur hukum masyarakat Indonesia yang masih rendah. Inilah cermin bahwa selama Pemilu masyarakat kita seperti itu. Parpol juga masih seperti itu. Caleg juga demikian, bagaimana Caleg yang tidak mempunyai ijazah tetap ngotot untuk didaftarkan. Pelanggaran di sana-sini itu cermin masyarakat kita, (misalnya) antri di mana-mana masih sulit. Ada jembatan penyeberangan nggak mau lewat situ. Ya, begitu lah kultur kita.

Oleh karena itu, kalau tadi dibilang undang-undang yang salah, ya tidak hanya itu. Kultur hukum masyarakat yang tidak patuh pada aturan itu masih merupakan suatu kenyataan. Untuk perbaikan ke depan, ini harus diperbaiki semua. Jadi, tidak sepenuhnya benar anggapan masyarakat bahwa terjadinya pelanggaran karena pengawasan yang tidak efektif. Bukan tidak efektif, itu kan hanya satu sisi.

Di negara lain, misalnya, parpol itu tidak bakalan mengibarkan bendera atau kampanye di luar jadwal. Karena kultur hukumnya, mereka taat pada aturan dan mereka tidak mau dicap oleh masyarakat sebagai pelanggar hukum. Jadi, dari mereka sendiri sudah ada  internal kontrol. Jadi, pengawasannya nggak terlalu repot.

Di kita kan nggak. Orang punya kultur untuk melanggar. Dengan mekanisme pengawasan seketat apapun dan sebanyak apapun pengawasnya, tetap masih banyak pelanggaran. Ini harus perbaikannya menyeluruh.

Berdasarkan data yang ada di Panwas tingkat pusat, pelaksanaan tahapan Pemilu kali ini memang 'dikotori' oleh ribuan kasus pelanggaran Pemilu. Jumlah pelanggaran Pemilu kali ini bahkan jauh lebih besar dibanding Pemilu 1999 lalu. Hal ini tentu mengundang pertanyaan. Apa yang salah? Bukankah sudah ada aturan yang jelas soal Pemilu? Lalu, mengapa masih dilanggar?

Berbagai alasan kemudian dikemukakan, termasuk dari kalangan parpol yang sepertinya selalu mencari alasan pemaaf. Seorang tokoh Parpol tidak menyangkal bahwa Parpolnya sering melanggar aturan, tapi dia malah menyalahkan aturan Pemilu. "Saya lihat, semua juga melanggar. Kalau begitu, yang harus dipertanyakan adalah aturannya. Pasti ada yang salah di situ," tegasnya.

Anggota Panwas Pemilu Pusat, Topo Santoso, tidak menyangkal bahwa secara kuantitas dan kualitas, pelanggaran pada pelaksanaan Pemilu kali ini lebih besar. Namun demikian, menurutnya, semua itu lebih karena mekanisme dan pelaksanaan pengawasan yang sekarang ini lebih baik dari pengawasan sebelumnya. Sehingga bisa menjerat sekecil apa pun pelanggaran Pemilu yang terjadi di seluruh Indonesia.

Namun demikian, Topo tidak setuju jika pelanggar aturan kampanye justru menyalahkan aturan yang ada. Menurutnya, kultur masyarakat Indonesia sebagian besar belum taat hukum. "Jadi, dengan mekanisme pengawasan seketat apapun, jika kulturnya masih begitu, pelanggaran tetap akan terjadi," ujarnya.

Tags: