Bukan itu saja, menurut Topo, pembenaran atas pencoblosan surat suara yang tidak sesuai dengan daerah pemilihan berpotensi menimbulkan konflik. Terutama antar calon legislatif dan pendukungnya pada daerah-daerah yang tertukar surat suaranya itu.
Harus dicabut
Menurut Topo, Panwas Pemilu setidaknya mencatat 5 pasal dalam UU Pemilu yang dilanggar KPU dengan dikeluarkannya SK tersebut. Pasal-pasal dalam UU Pemilu yang dilanggar diantaranya Pasal 82 ayat (3), Pasal 84 ayat (1), Pasal 96 ayat (5), Pasal 116 ayat (2) jo Pasal 90 ayat (1), dan Pasal 107 ayat (2).
Dari lima pasal tersebut, Topo menekankan pelanggaran Pasal 96 ayat (5). Pasal itu berisi ketentuan yang menyatakan bahwa suara yang diperoleh Parpol peserta Pemilu yang tidak memiliki nama calon dianggap tidak sah.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Topo, Panwas Pemilu meminta kepada KPU untuk segera mencabut SK KPU tersebut. Panwas juga meminta kepada KPU untuk mengadakan pemungutan suara ulang di TPS-TPS yang surat suaranya tertukar daerah pemilihan.
Soal pemilihan ulang, Topo merujuk pada ketentuan Pasal 116 ayat (2). Yang menyatakan bahwa pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas Pemilu Kecamatan terdapat keadaan sebagai berikut: pembukaan kotak suara dan atau berkas pemilihan tidak dilakukan menurut tata cara yang ditentukan perundang-undangan.
Digunakannya surat suara yang tertukar itu, menurut Topo, menunjukkan bahwa KPPS tidak melaksanakan tata cara pembukaan kotak suara menurut undang-undang. Yakni, sebelum melaksanakan pemilihan KPPS harus melakukan identifikasi jenis dokumen dan peralatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 90 ayat (1) UU Pemilu.
Kurang dan tertukar
Sebelumnya, anggota Panwas Rozi Munir mengatakan bahwa pelaksanaan pemungutan suara pada 5 April 2004 berlangsung tertib dan damai. Hanya saja, menurutnya, Panwas menemukan berbagai macam pelanggaran di beberapa daerah yang cukup serius untuk diangkat ke permukaan.
Anggota Panwas Didik Suprianto menambahkan, pelanggaran tersebut timbul akibat dua masalah di lapangan yang terjadi di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dua kategori masalah itu adalah masalah kekurangan logistik dan masalah logistik yang tertukar.
Data yang ada pada Panwas menyebutkan, kekurangan logistik berupa surat suara terjadi di 10 TPS. Kekurangan berupa kotak suara terjadi di 4 TPS, berupa tinta Pemilu di 18 TPS, dan berupa bilik Pemilu 46 TPS. "Untuk kekurangan kotak, tinta, dan bilik mungkin tidak repot karena bisa diganti. Tapi kekurangan surat suara ini mengakibatkan pemungutan suara jadi tertunda di beberapa daerah," ujar Didik.
Sedangkan, surat suara yang tertukar terjadi 189 TPS. Ratusan TPS tersebut, menurut Didik, tersebar di 20 provinsi. Kemungkinan angka-angka tersebut akan bertambah, sehubungan masih ada data dari enam provinsi lagi yang belum masuk ke Panwas.
Surat suara yang tertukar itu umumnya adalah surat suara untuk pemilihan anggota legislatif tingkat DPRD Kabupaten/Kota, yang tertukar antara kota satu dengan kota lainnya.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, pada hari pemilihan (5/04), KPU mengeluarkan SK bernomor 650/19/III/2004. Secara garis besar, isi SK tersebut menyatakan bahwa apabila terjadi kesepakatan antar Parpol di TPS yang bersangkutan, proses perhitungan suara bisa dilanjutkan. Dengan pengertian ini, maka surat suara yang tertukar itu dianggap sah.
Poin berikutnya adalah, bahwa jika tidak ada kesepakatan antar Parpol peserta Pemilu di TPS yang bersangkutan, maka Pemilu ulang dilaksanakan di TPS tersebut. Namun, terbatas pada jenis lembaga perwakilan yang surat suaranya tertukar dengan daerah pemilihan lain.
Hanya saja, disinyalir SK tersebut bukannya menyelesaikan masalah. Dalam pandangan Panwas, justru SK tersebut malah melahirkan masalah baru. "SK tersebut jelas-jelas bertentangan dengan UU Pemilu dan SK KPU No. 03 Tahun 2004 tentang surat suara," tegas Topo.