Aliansi Penolak Pemilu Serahkan Putusan Akhir pada Mahkamah Konstitusi
Utama

Aliansi Penolak Pemilu Serahkan Putusan Akhir pada Mahkamah Konstitusi

Aliansi parpol menegaskan kembali penolakannya terhadap proses dan penyelenggaraan Pemilu 2004. Namun demikian, mereka bertekad memakai jalur konstitusi, dengan menyerahkan penilaian keabsahan hasil pemilu ini kepada Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
Zae/Mys
Bacaan 2 Menit
Aliansi Penolak Pemilu Serahkan Putusan Akhir pada Mahkamah Konstitusi
Hukumonline
Aliansi parpol yang beberapa hari lalu gencar mengumandangkan suara penolakkan terhadap hasil penghitungan suara Pemilu 2004, berkumpul kembali di Hotel Crown Jakarta (12/04), guna menegaskan kembali sikap mer. "Kami parpol peserta Pemilu 2004 dengan amat menyesal menyatakan tidak dapat menerima proses dan penyelenggaraan Pemilu 2004 yang telah dilaksanakan," tegas Eros Djarot, juru bicara aliansi yang membacakan kesimpulan pertemuan tersebut.

Mahkamah Konstitusi

Meski dengan tegas menyatakan tidak bisa menerima proses pelaksanaan pemilu, aliansi menyatakan mereka tetap melakukan penolakan tersebut melalui koridor hukum yang berlaku.

Mengenai hal ini Adi Sasono—salah seorang anggota aliansi-- menjelaskan, untuk pelanggaran pidana akan diserahkan penanganannya kepada aparat penegak hukum. Sedangkan untuk menguji hasil pemilu yang akan datang, akan diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi. "Itulah koridor yang kita pegang," jelas  Ketua Umum Partai Merdeka itu.

Menurut Adi, langkah penolakan yang disampaikan aliansi tersebut merupakan bentuk tanggung jawab moral anggota aliansi menanggapi ketidakberesan pelaksanaan pemilu. "Sedangkan yang menentukan sah atau tidak sahnya pemilu tetap Mahkamah Konstitusi," tambahnya.

Adi juga menolak jika dikatakan langkah aliansi parpol ini sebagai pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia yang telah bersusah payah memberikan suaranya. Menurutnya, langkah aliansi justru berusaha membela rakyat yang suaranya telah dikhianati oleh sebagian parpol yang berbuat curang.

Perlu pula disampaikan, bahwa parpol yang tergabung dalam aliansi menolak hasil pemilu, jumlahnya semakin berkurang. Sabtu lalu (10/04) disebutkan, dari 24 parpol peserta pemilu, ada 21 parpol yang sepakat menjalin aliansi ini. Namun sekarang, berdasarkan penjelasan Adi, ada tujuh parpol peserta pemilu yang tidak hadir dalam pertemuan hari ini. Sementara, berdasarkan catatan hukumonline, secara terpisah beberapa parpol menegaskan penolakannya bila partainya dikaitkan dengan aliansi yang menolak hasil pemilu.

Pandangan Panwas

Pada kesempatan berbeda, Panwas pemilu memberikan pandangannya terhadap fenomena aliansi yang tidak menerima penyelenggaraan Pemilu 2004 kemarin.

Anggota Panwas Topo Santoso mengatakan, undang-undang tidak mengatur adanya pemilu ulang secara nasional karena adanya penolakan hasil penghitungan suara oleh parpol. Namun demikian, menurut Topo, upaya hukum untuk mengoreksi hasil pemilu masih bisa dilakukan.

Langkah itu sendiri baru bisa dilakukan setelah adanya penetapan hasil Pemilu secara nasional oleh KPU, khususnya yang mempengaruhi perolehan kursi. "Hal ini dilajukan dengan mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi," tegas Topo.

Dengan demikian, ujar Topo, tidak dikenal ketentuan hukum untuk mengakomodasi penolakan hasil Pemilu Demikian juga dengan tuntutan untuk mengadakan pemungutan ulang secara nasional. "Langkah yang lebih tepat adalah mengoreksi kekeliruan dalam pemungutan atau penghitungan suara di tempat terjadinya pelanggaran tersebut," cetusnya.

eka

Ketua Umum Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) ini mengatakan, dengan sangat prihatin aliansi parpol mencatat terjadinya pelanggaran hukum dan praktek tidak terpuji dalam pelaksanaan pemilu. Hal tersebut secara langsung mencemari kemurnian pemilu sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi.

Menurut Eros, aliansi juga memandang penyelenggaraan pemilu kemarin justru telah melanggar  ketentuan dalam Undang-undang Pemilu (UU No.12/2003). Beberapa hal yang dipandang aliansi sebagai pelanggaran adalah, terjadinya kelalaian yang disengaja maupun tidak saat pendaftaran. Akibatnya, diperkirakan 30 persen pemilih menjadi tidak terdaftar. Hal ini dianggap pelanggaran terhadap Pasal 13 dan 14 UU Pemilu.

Kemudian, tenggang waktu untuk sosialisasi calon legislatif praktis hanya satu bulan. "Padahal seharusnya dilakukan selama dua bulan sebelum pemungutan suara, sebagaimana diamanatkan oleh pasal 67 UU Pemilu," ujar Eros.

Selanjutnya, berdasarkan laporan di beberapa daerah telah terjadi tekanan oleh aparat birokrasi untuk memenangkan parpol tertentu. Juga telah terjadi pembelian suara secara besar-besaran, sehingga kedaulatan rakyat sudah berubah menjadi kedaulatan pemilik modal besar yang tidak jelas asal usulnya.

Pelanggaran UU Pemilu juga terjadi dengan lambannya pengadaan dan distribusi logistik Pemilu yang mengakibatkan kekacauan dan tertundanya proses pemungutan suara di banyak wilayah. Serta, terjadinya manipulasi pada saat penghitungan suara, terutama di tingkat kelurahan (PPS) dan kecamatan (PPK) di seluruh Indonesia sebelum dikirim ke KPUD dan KPU.

Tags: