Surat KPT Tidak Bisa Dijadikan Dasar ‘Pendudukan' SLTP 56
Utama

Surat KPT Tidak Bisa Dijadikan Dasar ‘Pendudukan' SLTP 56

Tindakan aparat keamanan dan ketertiban (Tramtib) Pemda DKI yang secara paksa 'menduduki dan mengosongkan' SLTP 56 mengundang kecaman. Tindakan tersebut bukan hanya tidak memiliki dasar hukum, tapi juga melecehkan dunia pendidikan dan melanggar HAM.

Oleh:
Leo
Bacaan 2 Menit
Surat KPT Tidak Bisa Dijadikan Dasar ‘Pendudukan' SLTP 56
Hukumonline

 

Lambok juga menyayangkan tindakan Tramtib yang dinilainya mengingkari ‘gencatan senjata' yang sebelumnya telah tercapai antara pihak SLTP 56 dengan Pemprov. Menurutnya, dalam pertemuan terakhir yang difasilitasi dengan Komnas HAM, kedua belah pihak sepakat untuk tidak melakukan kegiatan apa-apa dan Pemda dilarang melakukan eksekusi selama proses Pemilu 2004 berjalan. Nyatanya, meski belum ada pertemuan lanjutan dan proses pemilu belum selesai, Pemprov DKI malah mencoba menduduki sekolah tersebut.

 

Lebih jauh, Lambok mempertanyakan kapasitas Pemprov DKI yang ngotot memperjuangkan kepentingan PT Tata Disantra di kasus ini. Padahal, selain perusahaan milik A Latief Corporation itu, yang menjadi tergugat di kasus ini adalah Depdiknas. Kedudukan Pemprov DKI hanya menjadi tergugat intervensi. Lagipula, pihak PT Tata Disantra sudah memberikan sinyal bersedia membatalkan tukar guling ini bila prosesnya melanggar hukum.

 

Tetapi kenapa Pemprov yang ngotot padahal mereka tidak terlibat dalam proses ruislag tersebut. Kenapa mereka mau memaksakan pengosongan, tukas Lambok.

 

Pelecehan dunia pendidikan

Sementara itu, kecaman terhadap ‘pendudukan' aparat Tramtib di SLTP 56 juga datang dari gedung DPR. Tumbu Saraswati, anggota Komisi II DPR, sempat melakukan interupsi pada rapat paripurna dan meminta DPR lebih serius membahas persoalan ini.

 

Di mata Tumbu, kejadian yang terjadi di SLTP 56 kemarin bukan hanya merupakan pelanggaran hak asasi anak, tapi juga pelecehan terhadap dunia pendidikan. Ia meminta agar Komisi II dan VI DPR merekomendasikan sesuatu untuk membatalkan ruislag tersebut, mengingat surat yang dikirimkan dua komisi tadi tidak pernah digubris.

 

Kita tahu bahwa ruislag aset negara diatas 10 miliar sebetulnya berdasarkan Keppres harus ada izin presiden. Izin tidak pernah diberikan, tetapi Diknas dan Pemprov DKI tetap memaksakan kehendaknya dengan mengerahkan Tramtib. Akibatnya murid-murid belajar di pelataran parkir, ucap Tumbu prihatin.

 

Berdasarkan informasi yang hukumonline peroleh besok, mereka yang menentang ruislag SLTP 56 besok akan bertemu dengan DPR untuk membahas persoalan ‘pendudukan' dan kelanjutan nasib sekolah itu.

 

Hari ini, sebanyak  64 murid SLTP 56 dikabarkan masih ngotot untuk belajar di gedung sekolah tersebut. Namun, mereka justru diusir ketika mencapai pintu gerbang. Sebagai gantinya, meski hujan turun di kawasan sekolah tersebut, ke-64 murid tersebut tetap melanjutkan belajar di tenda-tenda warung kaki lima di seputaran sekolahnya.

‘Pendudukan' aparat Dinas Ketentraman Ketertiban Keamanan (Tramtib) Pemda DKI di komplek SLTP 56 Jl. Melawai Raya itu dimulai pada Minggu (18/04) sekitar pukul 04.00 dan baru berakhir sekitar pukul 14.30.  ‘Pendudukan' itu dilandasi adanya surat Ketua Pengadilan Tinggi DKI yang ditandatangani Harifin A. Tumpa tertanggal 12 April 2004, yang menyatakan sah perjanjian tukar guling  (ruislag) antara SLTP 56 dengan PT Tata Disantra (Kompas 19/04).

 

Tak urung, ‘pendudukan' yang kabarnya sempat diwarnai bentrokan antara aparat Tramtib dengan simpatisan SMP 56 mengundang banyak kecaman. Tindakan Tramtib untuk ‘menduduki' sekolah yang berlokasi dekat dengan kawasan perbelanjaan di Jakarta itu, juga dinilai tidak berdasar hukum. Pasalnya, surat ketua Pengadilan Tinggi DKI tidak dapat dijadikan dasar bagi aparat Pemda DKI untuk melakukan tindakan apapun.

 

Surat itu tidak ada dasar hukumnya dan tidak mempunyai kekuatan. Itu surat dari ketua pengadilan yang menjawab surat dari Pemprov DKI, bukan putusan pengadilan. Surat itu tidak bisa mempengaruhi proses pengadilan yang baru masuk pada proses banding, tegas Lambok Gultom, kuasa hukum SLTP 56.

 

Ia menambahkan, pada putusan PN Jaksel akhir 2003 lalu hanya menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Tidak menyinggung sama sekali mengenai pengosongan sekolah atau eksekusi.

Tags: