Banyak yang Salah Paham Soal Pengajuan Gugatan Pemilu ke MK
Utama

Banyak yang Salah Paham Soal Pengajuan Gugatan Pemilu ke MK

Banyak orang yang salah kaprah dan salah paham seolah-olah semua orang atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mengajukan penyelesaian silang sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, Peraturan MK sudah membuat batasan yang jelas.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Banyak yang Salah Paham Soal Pengajuan Gugatan Pemilu ke MK
Hukumonline

 

Pengamat hukum konstitusi, A. Ahsin Thohari, menilai kesalahpahaman atau salah kaprah itu terjadi karena kurangnya sosialisasi peraturan beracara di MK, terutama menyangkut pembatasan pemohon dan materi yang bisa dimohonkan.

 

Pemohon dibatasi

Hak kalangan LSM untuk mengajukan persoalan pemilu ke MK dibatasi oleh pasal 3 dan pasal 4 Peraturan MK yang dikeluarkan pada 4 Maret 2004 tersebut. Berdasarkan pasal 3, misalnya, kualifikasi pemohon dibatasi pada tiga pihak. Mereka adalah (i) perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta pemilu; (ii) pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta pemilu; atau (iii) partai politik peserta pemilu.

 

Partai politik peserta pemilu pun mempunyai keterbatasan untuk mengajukan permohonan. Dalam penjelasannya kepada wartawan 13 April lalu, Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa hanya DPP parpol yang berhak mengajukan permohonan penyelesaian sengketa pemilu. Kalau ada beberapa persoalan di dalam satu parpol, misalnya dari sejumlah DPD atau DPW, maka menurut Jimly, persoalan-persoalan itu harus diselesaikan terlebih dahulu di internal partai. Kemudian DPP-lah yang akan maju sebagai pemohon ke MK.

 

Selain membatasi kualifikasi pemohon, lewat Peraturan No. 04 MK juga membatasi materi yang bisa dimohonkan. Pelaksanaan pemilu di bawah darurat militer dan  pemilih yang tidak terdaftar, misalnya, bukan obyek permohonan penyelesaian sengketa pemilu ke MK. Berdasarkan ketentuan pasal 4 Peraturan MK tersebut, yang menjadi materi permohonan adalah penetapan hasil pemilu yang dilakukan KPU secara nasional. Penetapan mana mempengaruhi (i) terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah; (ii) penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden, serta terpilihnya pasangan calon presiden dan wakil presiden; serta (iii) perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.

 

Ketua MK Jimly Asshiddiqie memang sudah mengingatkan agar semua pihak memahami tata cara mengajukan permohonan ke MK karena ini sesuatu yang baru dalam sistem ketatanegaraan. Sengketa pemilu harus dipahami secara wajar, kata Jimly.

Menurut informasi yang diperoleh hukumonline, pada 26 April mendatang Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengundang dan mengadakan pertemuan dengan pimpinan partai politik peserta pemilu 2004. Matius Djapa Ndoda, Plt Kepala Biro Humas MK memaparkan bahwa salah satu agenda pertemuan adalah penjelasan tentang tata cara penyelesaian perselisihan hasil pemilu.

 

Ini bukanlah upaya yang pertama dilakukan MK. Pertemuan serupa sudah pernah dilaksanakan di Jakarta beberapa waktu lalu. Toh, agaknya MK merasa masih perlu memberikan penjelasan.

 

Faktanya, memang masih banyak pihak yang kurang memahami peraturan mengajukan sengketa pemilu ke MK. Tengok saja keinginan sejumlah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengajukan persoalan pemilu di Aceh ke MK. Tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi telah dijadikan alasan untuk memperpanjang darurat militer, yang seyogianya berakhir 16 Mei mendatang. Inilah yang ingin dibawa kalangan aktivis ke MK.

 

Tetapi keinginan itu tampaknya akan terganjal aturan yang sudah dibuat MK, yaitu Peraturan No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum. Berdasarkan peraturan ini, tidak setiap orang, kelompok masyarakat atau LSM bisa mengajukan masalah pemilu ke MK. Bahkan KPU, Panwaslu maupun lembaga pemantau tidak bisa menjadi pemohon.

Tags: