Depkeh HAM: RUU Kepailitan Bisa Menjadi Perpu
Utama

Depkeh HAM: RUU Kepailitan Bisa Menjadi Perpu

Banyaknya sorotan terhadap pailitnya PT Prudential Life Assurance, membuat Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia mempertanyakan kelanjutan pembahasan RUU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di DPR. Pasalnya, DPR belum menjawab surat Menteri Kehakiman yang menginginkan pembahasan RUU itu dilakukan bersama Komisi II, bukan oleh Komisi IX.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Depkeh HAM: RUU Kepailitan Bisa Menjadi Perpu
Hukumonline

 

Tidak akan selesai

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Bulan Bintang Hamdan Zoelva mengatakan bahwa ia bisa memahami permintaan Menkeh soal pengalihan pembahasan RUU Kepailitan dan PKPU kepada Komisi II. Menurutnya, telah terjadi salah persepsi sampai akhirnya RUU tersebut diserahkan pembahasannya ke Komisi IX.

 

"Itu sebenarnya RUU mengenai mekanisme mempailitkan orang (tapi) ditangani oleh Komisi IX semata. Padahal, lawyer dan ahli hukum itu banyak di Komisi II," cetus Hamdan. Menurutnya, DPR pernah mempunyai pengalaman buruk ketika meloloskan Undang-undang Pengadilan Pajak yang di kemudian hari diketahui bahwa substansinya bertentangan dengan UUD 1945.

 

"Jadi mungkin kekhawatiran-kekhawatiran itulah sehingga pemerintah menginginkan bahwa biar Komisi II yang betul-betul membidangi masalah peradilan dan hukum ini yang memahami. Jadi, biar diskusinya tidak ngambang ke mana-mana," jelas Hamdan yang juga advokat.

 

Saat ditanya soal kemungkinan RUU Kepailitan dan PKPU menjadi Perpu, Hamdan menyatakan bahwa hal tersebut belum mendesak untuk dilakukan. Meski ia sadar bahwa RUU tersebut sangat strategis dan urgensinya tinggi, namun ia memandang ketiadaan UU Kepailitan tidak akan membuat Indonesia "bubar".

 

Di luar itu, Hamdan yakin bahwa pembahasan RUU Kepailitan tidak akan selesai pada 2004. Senada dengan Hamdan, Gani juga mengatakan bahwa jika pembahasan RUU tersebut tidak segera dimulai, maka dapat dipastikan RUU itu tidak selesai pada 2004. Sekadar tahu, RUU Kepailitan sudah masuk ke DPR sejak 28 Mei 2002.

Demikian disampaikan oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Depkeh dan HAM Abdul Gani Abdullah ketika ditemui hukumonline di gedung DPR, pada Rabu (28/04). Menurut Gani, seharusnya pimpinan DPR segera memutuskan apakah menerima atau menolak permintaan dari Menkeh tersebut dan langsung memulai pembahasan RUU Kepailitan dan PKPU itu.

 

Gani melihat bahwa RUU Kepailitan dan PKPU seharusnya menjadi prioritas pembahasan di DPR karena menyangkut bergulirnya roda ekonomi. Ia khawatir bila RUU tersebut tidak diselesaikan dalam waktu dekat, akan merusak tatanan ekonomi sehingga perlu diambil langkah-langkah yang luar biasa seperti menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu).

 

"Kalau tidak dibahas nanti situasi ekonomi atau perusahaan-perusahaan terjadi akselerasi dalam soal-soal seperti itu, maka takutnya sampai pada situasi yang genting dan memaksa merusak tatanan ekonomi. Nah, kalau tidak begitu nanti RUU itu menjadi Perpu lagi demi kepentingan bangsa dan negara ini," jelas Gani.

 

Lebih jauh, Gani mengatakan bahwa Menkeh Yusril Ihza Mahendra pernah mengirimkan surat kepada pimpinan DPR yang isinya meminta agar pembahasan RUU Kepailitan dan PKPU tidak dilakukan dengan Komisi IX DPR yang membidangi soal keuangan dan perbankan. Alasannya, RUU tersebut bukanlah masalah keuangan semata, tetapi banyak soal hukum.

 

Oleh sebab itu, lanjut Gani, Menkeh meminta kepada pimpinan DPR agar pembahasan RUU Kepailitan dan PKPU dialihkan dari Komisi IX ke Komisi II yang membidangi masalah hukum dan HAM. Namun, hingga kini belum ada tanggapan dari pimpinan DPR mengenai permintaan Menkeh tersebut.

Tags: