Kuasa Hukum: Putusan Hakim Perkara Trust Penuh Kejanggalan
Utama

Kuasa Hukum: Putusan Hakim Perkara Trust Penuh Kejanggalan

Majelis hakim perkara Trust dituding mencampuradukkan fakta hukum dengan fakta jurnalistik. Lagi-lagi Undang-undang Pers tidak digunakan dalam sebuah sengketa yang melibatkan pers.

Oleh:
Nay
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum: Putusan Hakim Perkara <i>Trust</i> Penuh Kejanggalan
Hukumonline

 

Fakta jurnalistik

Menurut Atmajaya, hakim mencampuradukkan fakta hukum dengan fakta jurnalistik. Padahal, fakta hukum dan fakta jurnalistik jelas berbeda. Fakta hukum adalah dua alat bukti dan saksi. Sementara, secarik kertas yang sudah dikonfirmasi atau keterangan narasumber yang dinilai kredibel, sudah merupakan fakta jurnalistik.

 

Dokumen Hasil Internal Audit Bank BNI, menurut Atmajaya telah dikonfirmasikan kebenarannya kepada berbagai pihak, termasuk Direktur Kepatuhan BNI Mohammad Arsyad dan juga dokumen itu tidak pernah dibantah atau disangkal oleh kuasa hukum BNI.

 

Kemudian, sesuai prinsip cover both sides, Majalah Trust telah memuat hasil  wawancara dengan dengan beberapa  nama yang terkait dengan dokumen Hasil Internal Audit, termasuk John Hamenda, yang isinya membantah keterlibatan mereka.

 

Hasil Internal Audit itu sendiri diperoleh dari sumber yang tidak mau disebut namanya. Sesuai UU Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia, jurnalis mempunyai hak untuk tidak menyebutkan sumbernya.

 

Atmajaya yakin, rincian Hasil Internal Audit Bank BNI faktual, buktinya, setelah diberitakan majalah Trust maka pembobol Bank BNI sejumlah Rp1,7 triliun langsung ditangkap dan ditahan oleh Mabes Polri, termasuk John Hamenda.

 

Yang juga dipertanyakan kuasa hukum Trust adalah pertimbangan hukum majelis yang menyatakan bahwa dalam hasil internal audit tersebut tidak ada nama John Hamenda. Sesuai Pasal 4 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers disebutkan bahwa pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

 

Karena itu, walau nama John Hamenda tidak ada dalam dokumen internal audit dan yang disebut hanya PT Gramarindo Group dan PT Petindo Perkasa, wartawan majalah Trust menggunakan haknya yang diatur dalam Pasal 4 tersebut dan menemukan dalam akta pendirian PT Petindo Perkasa bahwa John Hamenda adalah direkturnya dan pemegang 99 persen saham di perusahaan itu.

 

Bukan rahasia bank

Pertimbangan majelis hakim soal dicantumkannya nama lengkap John Hamenda dan bukannya inisial, dianggap Atmajaya sebagai pertimbangan zaman purbakala yang bodoh dan membuktikan bahwa majellis hakim tidak memahami UU Pers dan Kode Etik Wartawan. Pasalnya, setelah tahun 70-an, penulisan inisial hanya digunakan untuk kasus-kasus asusila.

 

Kejanggalan lain yang disoroti oleh Trust dan kuasa hukumnya adalah dibebaskannya tergugat II, yaitu Bank BNI dari tuntutan hukum oleh majelis hakim. Majelis beralasan bahwa Internal Audit bukan rahasia bank dan tidak ada bukti bahwa internal audit itu berasal dari BNI.

 

Menilik berbagai kejanggalan pertimbangan majelis hakim, Atmajaya berkesimpulan bahwa majelis hakim tidak mengerti serta tidak memahami eksistensi UU Pers. Lebih lanjut, majelis hakim telah mengancam kebebasan pers dan menghalangi fungsi pers sebagai sarana informasi dan kontrol sosial, terutama dalam membongkar kasus-kasus korupsi dan pembobolan bank.

Kalau saja Majalah Trust edisi 32 Tahun 2 tidak memberitakan mengenai pembobolan Bank BNI, mungkin sampai saat ini kasus tersebut tidak akan pernah terungkap. Kini, sebagai "ganjaran" atas prestasinya, majalah hukum dan bisnis ini harus membayar ganti rugi sebesar Rp 1 miliar.

 

Majelis hakim PN Jakarta Pusat yang diketuai oleh Cicut Sutiarso, pada Kamis (13/05) menjatuhkan putusan yang menyatakan bahwa Majalah Trust telah melakukan perbuatan melawan hukum. Trust diperintahkan membayar ganti rugi Rp1 miliar dan meminta maaf kepada penggugat, John Hamenda, tersangka kasus pembobolan senilai Rp1,7 triliun tersebut.

 

Majelis menganggap dokumen Hasil Internal Audit Bank BNI yang merupakan dasar pemberitaan Majalah Trust soal pembobolan BNI itu tidak sah. Pasalnya, dokumen itu  berbentuk fotokopi, bukan asli. Majelis juga menyatakan bahwa Majalah Trust memperoleh dokumen tersebut secara tidak sah (illegal).

 

Pertimbangan hukum majelis ini mendapat reaksi keras dari kuasa hukum majalah Trust, Atmajaya Salim. "Kalau bahan untuk menulis berita harus berbentuk dokumen asli seperti surat bukti, niscaya tidak ada berita yang bisa ditulis," ujar Atmajaya  dalam jumpa pers di kantornya, Kamis (13/05).

Tags: