Putusan Kasasi Akbar Tandjung Jangan Dijadikan Yurisprudensi
Utama

Putusan Kasasi Akbar Tandjung Jangan Dijadikan Yurisprudensi

Mahkamah Agung diminta tidak menjadikan putusan kasasi perkara Akbar Tandjung sebagai yurisprudensi dalam memberikan pertimbangan hukum dalam memutuskan suatu perkara.

Oleh:
Nay
Bacaan 2 Menit
Putusan Kasasi Akbar Tandjung Jangan Dijadikan Yurisprudensi
Hukumonline

 

Pertama, keterangan saksi Rahardi Ramelan mengenai skenario Grand Mahakam yang tidak pernah dikemukakan dalam persidangan Akbar. Padahal, keterangan itu bisa digunakan untuk mengkaji lebih jauh potensi konspirasi untuk mengelabui perkara tersebut.

 

Kedua, keterangan yang berkaitan dengan aliran dana Rp 40 miliar yang disinyalir tidak hanya berhenti pada terdakwa II dan III. Ketiga, tidak pernah diminta keterangan dari BI tentang kemana larinya aliran uang yang berasal dari pencairan cek Rp 40 miliar itu.

 

Perintah jabatan

Majelis kasasi, di mata majelis eksaminasi, juga dinilai tidak pernah mempertimbangkan secara mendalam dilepaskannya terdakwa I dari pasal 55 KUHP hanya karena menjalankan perintah jabatan, sehingga perbuatannya menjadi patut dan benar berdasarkan pasal 51 ayat 1 KUHP.

 

Majelis eksaminasi menambahkan, putusan MA tidak pernah mempertimbangkan apakah niat terdakwa melanggar ketentuan perundang-undangan dalam melaksanakan perintah jabatan adalah dalam rangka melaksanakan perintah jabatan ataukah ada kepentingan lain di luar kepentingan tercapainya perintah jabatan itu.

 

Jika perintah jabatan membagi-bagi sembako tidak terlaksana tetapi terdakwa I sudah menjalankan perintah jabatan itu sesuai peraturan yang ada, maka terdakwa I mendapat perlindungan pasal 51 ayat 1 KUHP.  Tapi jika perintah jabatan itu tidak terlaksana sedangkan terdakwa I dalam menjalankannya banyak melanggar peraturan yang harus dipatuhi, maka perbuatan terdakwa I tidak mendapat alasan pembenar.

 

Inkonsistensi

Lebih jauh, majelis eksaminasi berpendapat, majelis kasasi dianggap melakukan kesalahan yang sangat fatal dalam menginterpretasi penggunaan pasal 51 ayat 1 KUHP untuk diambil sebagai konklusi. Sesuai pasal 51 ayat 1 KUHP, jika dalam menjalankan perintah jabatan terjadi pelanggaran hukum maka alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan itu sehingga perbuatan terdakwa I menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tapi, dengan begitu, petitum putusan MA haruslah berupa pelepasan dari segala tuntutan hukum, bukan pembebasan karena tidak terbukti bersalah.

 

Hasil eksaminasi lainnya adalah ditemukannya inkonsistensi dalam pertimbangan hukum majelis kasasi. Dalam pertimbangan majelis kasasi terhadap Dadang dan Winfried mengenai unsur melawan hukum, disebutkan bahwa kedua terdakwa memenuhi unsur tersebut. Kejanggalan pertimbangan itu adalah mengapa alasan hukum yang sama tidak diberlakukan juga terhadap Akbar dalam dakwaan subsidair.

 

Menurut Silaban, majelis eksaminasi hanya membaca dan mencermati berkas-berkas surat dakwaan, putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Banding dan putusan kasasi MA. Majelis eksaminasi tidak sampai menguji atau mencari bukti-bukti baru untuk menyanggah atau membenarkan.

 

"Majelis eksaminasi mencoba mengikuti  pemikiran majelis hakim agung. Ibaratnya mereka menunjukkan, ini lho jalan ke Bogor, kita ikuti jalan tersebut tapi nyatanya kita (tim eksaminasi) malah sampai ke Cikampek, bukan ke Bogor," tutur Silaban.

Demikian salah-satu rekomendasi Majelis Eksaminasi publik kasus Akbar Tandjung. Hal ini disampaikan dalam diskusi publik "Hasil Eksaminasi terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi dengan terdakwa Akbar Tanjung, Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang", Selasa (18/05).

 

Rekomendasi lainnya, apabila kejaksaan agung sependapat dengan analisa atau penafsiran yang ada dalam hasil eksaminasi publik ini, diharapkan kejaksaan agung mengajukan permohonan Peninjauan Kembali untuk meluruskan penafsiran yang telah dilakukan oleh MA dalam perkara ini.

 

Majelis eksaminasi terdiri dari M.H Silaban (mantan jaksa), Johanes Djohansyah ( mantan hakim agung), Luhut MP Pangaribuan dan Iskandar Sohanhadji (praktisi hukum), Rudy Satriyo dan Chudry Sitompul (akademisi dari FH Universitas Indonesia), serta Bambang Widjajanto (aktivis LSM).

 

Dalam penilaian majelis eksaminasi, majelis kasasi seharusnya tidak hanya mengandalkan pada pemeriksaan berkas semata, tetapi juga melakukan kembali pemeriksaan fakta (judex factie). Pasalnya, dalam kasus Akbar terdapat setidaknya tiga fakta yang jika diperiksa kembali bisa mempengaruhi putusan.

Tags: