Buntut Putusan MK: Amrozi dkk Hampir Pasti Bebas
Utama

Buntut Putusan MK: Amrozi dkk Hampir Pasti Bebas

Bersenjatakan putusan Mahkamah Konstitusi, kuasa hukum Amrozi dan Imam Samudra akan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Bila hal itu dilakukan, bisa dipastikan majelis hakim akan membebaskan para terpidana tersebut.

Oleh:
Nay/Leo
Bacaan 2 Menit
Buntut Putusan MK: Amrozi dkk Hampir Pasti Bebas
Hukumonline

Pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP menyatakan bahwa permintaan peninjuan kembali kepada MA dapat dilakukan atas dasar apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Apalagi, Mahendra mengingatkan, dalam persidangan kasus tersebut di PN Denpasar, pihaknya telah mempermasalahkan dakwaan yang menggunakan Perpu No 2 tahun 2002 itu dalam eksepsi. "Tapi dengan sinis ditolak oleh I Made Karna, Ketua Majelis saat itu, cetusnya.  

Pengamat dan praktisi hukum pidana, Luhut MP Pangaribuan membenarkan bahwa putusan MK dapat dijadikan sebagai novum untuk mengajukan PK. Pasalnya, putusan MK tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu keadaan baru sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 ayat 2 KUHAP.   

"Andaikata putusan MK  sudah ada sebelum putusan kepada terpidana dijatuhkan, maka putusannya akan berbeda. Mungkin mereka akan dibebaskan. Tapi ketika hakim memutuskan putusan MK belum ada, maka (sekarang) akan dijadikan sebagai novum, kata Luhut.

Dakwaan menjadi tidak berdasar

Seluruh dakwaan jaksa kepada dua terpidana itu--baik dakwaan primair, dakwaan subsidair, dakwaan lebih subsidair--berdasar pada Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan sebagai  UU No 15 tahun 2003. Dengan dibatalkannya UU No 16 tahun 2003 yang memberlakukan Perpu No 1 tahun 2002 dalam kasus bom Bali, maka menurut Luhut, dakwaan jaksa menjadi tidak lagi berdasar.

"Artinya mereka dihukum berdasarkan undang-undang yang tidak sah, sehingga harus ada putusan pengadilan lagi yang memperbaiki, yaitu dalam proses PK," terang Luhut. Sebagai konsekuensinya, Luhut menambahkan, terpidana harus mendapat ganti rugi dan rehabilitasi.

Dakwaan terhadap Amrozi

Dakwaan Primer, melanggar Pasal 14 jo Pasal 6 Peraturan PemerintahPengganti Undang- Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 UU Nomor 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu Nomor 2 Tahun 2002 jo Pasal 1UU Nomor 16 Tahun 2003 jo Pasal 55 Ayat (1) ke satu Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). Terdakwa dinyatakan telah merencanakan tindakpidana terorisme berupa peledakan bom di Bali dengan ancamanpidanamati atau pidana penjara seumur hidup;

Dakwaan subsider, yakni melanggar Pasal 6 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 UU Nomor 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu Nomor 2 Tahun 2002 jo Pasal 1 UU Nomor 16 Tahun 2003 jo Pasal 55 Ayat (1) ke satu KUHP Dalam kaitan ini, terdakwa dinyatakan bersama teman-temannya telah dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau fasilitas publik dengan melakukan pengeboman atau peledakan di Jalan Raya Puputan, Renon, Denpasar, sekitar 50 meter di sebelah selatan Konsulat AS, dan di depan Sari Club serta di dalam Paddy's Pub yang keduanya terletak di Jalan Raya Legian, Kuta. Ia diancam pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun;

Lebih subsider, Amrozi didakwa melanggar Pasal 15 jo Pasal 6 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 UU Nomor 15 Tahun 2003 jo Pasal 1 Perpu Nomor 2 Tahun 2002 jo Pasal 1 UU Nomor 16 Tahun 2003. Dalam kaitan ini, terdakwa dinyatakan bersama teman-temannya telah melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terorisme berupa peledakan bom di Bali.

 

Karena itu, jika terpidana mengajukan PK, Luhut menyatakan, hampir pasti majelis hakim akan menerima permohonan PK tersebut. "Hampir dipastikan karena sudah ada putusan MK, mereka akan keluar dari penjara,"cetusnya.

Namun, dalam prakteknya, menurut Luhut, kemungkinan polisi telah siap dengan tuduhan baru terhadap para terpidana itu selain pelanggaran UU Antiterorisme . Misalnya tuduhan pelanggaran KUHP atau UU lainnya.  Sehingga nanti di pintu penjara, mereka akan ditunggu oleh penyidik dan langsung ditahan dengan tuduhan baru.

Abu Bakar Baasyir

Selain berdampak pada para terpidana kasus bom Bali, putusan MK ini juga berdampak terhadap nasib Abu Bakar Baasyir. Saat ini, pimpinan pondok pesantren Ngruki ini tengah disidik dan ditahan oleh polisi dengan tuduhan pasal-pasal UU Anti Terorisme dalam kasus Bom Bali.

Menurut Mahendradatta, dengan adanya putusan MK, maka Baasyir harus segera dibebaskan dari tahanan pada saat ini juga. Pasalnya, penahanan Baasyir dilakukan atas dasar pelanggaran UU Antiterorisme dalam kasus Bom Bali. Karena itu, menurutnya, tidak ada lagi alasan bagi polisi untuk menahan Baasyir. Apalagi sebelumnya Baasyir telah dijerat dengan pasal-pasal KUHP.

"Kalau polisi memang mentaati konstitusi, ia (Baasyir, red) harus dibebaskan hari ini juga. Kita lihat apakah polisi mau menantang UUD 1945.  Kalau ia mau menantang, pelanggaran terhadap konstitusi kan ada sanksinya. Yang akan diberi sanksi presidennya, tukas Mahendradatta.

Rencana mengajukan PK terhadap putusan kasasi Amrozi dan Imam Samudra dikemukakan oleh kuasa hukum mereka, Mahendradatta kepada hukumonline, Jumat(23/7). "Kita sedang mempertimbangkan untuk mengajukan ini (putusan MK) sebagai bukti PK, ujar Mahendradatta. Amrozi dan Imam merupakan dua terpidana bom bali yang telah ditolak kasasinya oleh MA.

Menurut Mahendra, putusan MK tentang pembatalan UU No 16 Tahun 2003 jelas merupakan novum atau keadaan baru yang bisa menjadi alasan untuk mengajukan PK.

Halaman Selanjutnya:
Tags: