Fit and Proper Test Calon Hakim Agung yang Kurang Proper
Fokus

Fit and Proper Test Calon Hakim Agung yang Kurang Proper

Fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) calon hakim agung oleh Panja Komisi II DPR berakhir pada Senin,17 Juli 2000 berakhir. Beragam pandangan dikeluarkan oleh praktisi hukum, kalangan LSM, pengamat, dan wartawan. Ada yang mencerca kinerja Panja yang dinilai dari kualitas pertanyaannya, tapi ada yang menyatakan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Panja cukup lumayan.

Oleh:
Fik/Apr
Bacaan 2 Menit
Fit and Proper Test Calon Hakim Agung yang Kurang Proper
Hukumonline
Praktisi hukum Todung Mulya Lubis misalnya, menyatakan kecewa dengan kualitas pertanyaan anggota Panja. Mulya menganggap Panja tidak masuk kedalam substansi permasalahan yang seharusnya di-address oleh sebuah fit and proper test. Panja juga tidak melakukan investigasi yang cukup bertanggung jawab atas masukan yang diberikan oleh masyarakat. Sehingga, masih menurut Mulya, penilaian Panja dikhawatirkan menjadi tidak fair.

Memang, berdasarkan pengamatan Hukumonline, proses fit and proper test tersebut dilaksanakan dengan agak terburu-buru dan kurang terstruktur. Misalnya, tidak ada suatu standar (baik dari segi materi dan cara mengajukan pertanyaan) pertanyaan anggota Panja kepada setiap calon hakim agung. Untuk calon-calon tertentu, sikap banyak anggota Panja sangat keras, sehingga sulit dibedakan antara fit and proper test dan interogasi. Sementara untuk calon lainnya, pertanyaan diajukan dalam suasana yang cenderung aman dan damai.

Subyektifitas
Sulit untuk menduga faktor apa yang menjadikan adanya perbedaan perlakuan dari para anggota Panja kepada bakal calon hakim agung tersebut. Pertama, dugaan yang didasarkan prasangka baik adalah mood dari para anggota Panja. Dasar teorinya adalah bakal calon yang ditanya pagi dan siang hari tidak seberuntung yang ditanya pada sore dan malam hari. Mungkin anggota Panja masih cukup memiliki energi lebih pada pagi dan siang hari dibanding dengan malam hari.

Ternyata teori tersebut tidak terlalu meyakinkan. Karena apabila kita membandingkan antara sikap anggota dewan secara umum kepada Benjamin Mangkoedilaga dengan Muladi, perbedaannya cukup nyata. Benjamin yang ditanya mulai pukul 21:00, tidak membuat semangat interogasi anggota Panja menurun. Bahkan ada anggota bertanya dengan nada berteriak. Ternyata, anggota yang sama tidak memiliki semangat dan energi yang sama ketika mengajukan pertanyaan yang mirip kepada Muladi pada 14.00.

Kedua, adanya unsur subyektifitas yang besar. Bukan tidak mungkin sikap masing-masing anggota Panja terhadap calon hakim agung didasarkan pada persepsi awal, rasa like and dislike, kecenderungan politik dan bahkan mungkin adanya deal politik.

Sikap tersebut tercermin dalam beberapa sikap anggota Panja. Misalnya, terhadap calon yang memiliki ide yang untuk membentuk judicial commission untuk mengawasi dan merekrut hakim agung, anggota Panja selalu menyerang dengan pertanyaan dan pernyataan yang keras. Karena mungkin fungsi judicial commission tersebut mengambil porsi proyek besar dan prestisius Komisi II DPR yaitu melakukan seleksi hakim agung.

Sikap yang sama juga dijumpai pada hampir setiap calon yang mengusulkan agar judicial review juga harus dilakukan terhadap undang-undang. Ada anggapan bahwa sikap tidak senang anggota Panja terhadap pandangan ini karena sebagai anggota DPR mereka tidak ingin hasil kerjanya di-review oleh MA. Contoh lainnya adalah ada anggota yang tanpa ampun mencecar calon dengan pertanyaan (dan juga dengan pernyataan) karena calon tersebut merupakan hakim yang mengganjar hukuman penjara pada rekan separtainya.

Yang menarik, di samping cercaan yang diberikan, ada juga beberapa anggota yang membuat pujian-pujian berselubung pertanyaan kepada seorang calon yang jelas-jelas telah didukung oleh partainya.

Kesiapan anggota Panja

Hal lain yang layak dicatat selama proses fit and proper test tersebut adalah kesiapan dari anggota Panja dalam mengajukan pertanyaan. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anggota Panja terlihat seperti hasil bacaan on the spot (bukan penelitian) mereka terhadap dokumen-dokumen yang diserahkan oleh calon hakim agung.

Ketidaksiapan anggota Panja tersebut tampak dari dangkalnya beberapa pertanyaan dan betapa cepatnya anggota Panja dipuaskan oleh jawaban calon. Sikap tersebut muncul apabila calon terlihat menjawab cukup meyakinkan, menggunakan istilah-istilah hukum yang nampaknya sophisticated, dan cukup retoris. Jarang sekali anggota Panja mengajukan pertanyaan susulan yang intelegent dan berdasarkan data yang telah diperoleh sebelumnya.

Contoh yang paling menonjol adalah ketika calon ditanya apakah pernah menerima hadiah setelah perkara diputus. Ada calon yang menyatakan bahwa dia pernah menerima seperti pulpen, sepatu, dan benda-benda lain. Tidak ada pertanyaan susulan dari anggota Panja. Padahal sebelumnya ada anggota lain yang ditanya juga tentang benda cukup berharga yang telah diterima oleh calon tersebut. Anggota Panja tersebut tidak mengkonfirmasi kembali apakah benda tersebut diterima sebagai hadiah setelah perkara diputus.

Kelemahan lain dari proses fit and proper test tersebut adalah Panja tidak memberikan kesempatan yang cukup dan layak kepada calon untuk memberikan tanggapan atas kesimpulan sepihak anggota Panja dari jawaban calon.

Seringkali calon dihentikan dengan pernyataan yang cukup keras dan diulang berkali-kali seperti cukup-cukup Pak Ketua. Kesan yang muncul adalah para anggota Panja dengan sengaja menghentikan tanggapan calon karena kesan yang ingin ditampilkan dalam forum, yang diliput secara luas tersebut, atas sang calon sudah tercipta. Oleh kareena itu perlu dipertanyakan apakah fit and proper test dimaksudkan untuk melihat dan menilai kemampuan calon ataukah untuk menjatuhkan calon yang tidak disukai dan memunculkan calon yang disukai.

Hal lain yang cukup menyedihkan adalah sikap tidak konsisten anggota Panja. Sedikit sekali jumlah anggota Panja yang mengikuti keseluruhan proses fit and proper test. Sehingga gambaran yang diperoleh anggota Panja terhadap calon hakim agung tidak secara menyeluruh.

Uniknya, Amin Aryoso, Ketua Komisi II DPR dan sekaligus Ketua Panja Pencalonan hakim agung tidak mempermasalahkan ketidakhadiran sebagian anggota Panja. Satu dua anggota (Panja) pun dapat melakukan fit and proper test, kata Amin


Dalam proses seleksi apapun, penyeleksi harus mengamati seluruh peserta seleksi untuk dapat memberikan penilaian yang obyektif dan fair terhadap masing-masing peserta seleksi. Karena perbandingan antar calon sangat pentig dalam memberikan penilaian terhadap masing-masing calon.

Tidak aspiratif
Memang proses fit and proper test yang berlangsung dalam waktu selama empat hari berturut-turut, termasuk hari Sabtu dan Minggu dan hampir setiap harinya baru selesai setelah larut malam, sangat melelahkan. Wajar jika anggota Panja melewati beberapa calon guna beristirahat atau menghabiskan waktu dengan keluarga.

Alasan tersebut boleh dibilang alasan yang berdasarkan pada sikap egois dan curang. Bukankah para anggota Panja sendiri yang menyetujui dan memutuskan jadwal fit and proper test tersebut. Yang lebih menyedihkan lagi, keputusan tersebut diambil secara sadar setelah beberapa LSM, seperti YLBHI, LeIP, ICW dan lainnya, mengingatkan bahwa proses tersebut sangat terburu-buru. Bahkan lembaga-lembaga tersebut pada kesempatan dengar pendapat dengan komisi II tersebut juga mendesak agar jadwal tersebut ditunda demi terpilihnya hakim agung melalui seleksi yang lebih baik dan aspiratif.

Nampaknya anggota Panja, khususnya yang jarang hadir dan kurang mempersiapkan dirinya dengan baik, tidak mau kewenangannya diganggu. Namun, mereka tetapi tidak mau memikul tanggung jawab yang diciptakannya sendiri.

Salah seorang anggota Panja memang mengakui bahwa fit and proper test kali ini merupakan proses belajar. Sehingga, wajar apabila terdapat kekurangan di sana sini. Memang harus juga diakui bahwa proses fit and proper test ini membuka suatu dimensi baru dalam dunia hukum kita. Kebobrokan Mahkamah Agung dan dunia peradilan sudah bukan lagi masalah yang hanya didiskusikan dalam forum-forum kecil dan media masa. Hal itu sudah didiskusikan forum terhormat dan diakui secara terbuka oleh anggota legislatif dan juga para hakim.

Namun demikian, bukankah hasil yang akan dicapai akan jauh lebih baik lagi apabila diskusi tersebut dilakukan dalam waktu yang lebih lapang, persiapan materi yang lebih baik, dan suasana yang lebih sopan.

Walaupun demikian, masyarakat tetap berharap agar proses fit and proper test tersebut dapat menghasilkan calon-calon hakim agung yang terbaik. Pada akhirnya yang sedang diseleksi oleh para anggota Dewan yang terhormat tersebut adalah orang-orang yang akan menjadi ujung tombak reformasi hukum Negeri yang kita sama-sama cintai ini.
Tags: