Kiprah LBH Kampus Digilas Roda Waktu
Berita

Kiprah LBH Kampus Digilas Roda Waktu

Lembaga Bantuan Hukum Kampus didirikan dengan tujuan mulia yaitu memberi kesempatan pada dosen dan mahasiswa untuk mengabdi kepada masyarakat. Sayang, seiring berjalannya waktu, LBHK justru tidak diminati mahasiwa. Bahkan, UU Advokat pun menjegal keberadaannya.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Kiprah LBH Kampus Digilas Roda Waktu
Hukumonline

 

Padahal, di kampusnya sudah tersedia bantuan hukum. Atau kasus Rico Marbun, mahasiswa UI lebih memilih memakai jasa LBH Jakarta untuk melakukan advokasi ketimbang Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Universitas Indonesia (LKBH UI) ketika menghadapi kasus yang sama dengan Ricky.

 

Menurut keterangan Dewi Citrowati, staf LBH Pengayoman Universitas Parahyangan, mahasiswa di kampusnya justru kurang berminat memakai jasa LBHK. Selama saya disini, (mahasiswa Unpar ) yang menggunakan jasa LBHK bisa dihitung dengan jari tangan kanan, ujar Dewi. Malah, mahasiswa dari universitas lain yang datang berkonsultasi. Itupun tidak banyak.

 

Padahal, rata-rata fakultas hukum mengklaim memiliki LBHK. Bahkan, ada juga universitas yang menempatkan LBHK dalam bagian stuktural universitas. Hanya saja bentuk pemberian bantuan hukum oleh LBHK tersebut berbeda-beda. Ada yang hanya memberikan konsultasi, memberi penyuluhan ataupun beracara di pengadilan.

 

Meski mahasiswa tidak terlalu berminat, tidak berarti lembaga bantuan hukum kampus tidak melakukan kegiatan. Rosa Agustina dari LKBH UI mengatakan hampir setiap hari ada orang yang datang ke LKBH untuk berkonsultasi. Hampir setiap hari ada dua atau tiga orang yang datang untuk berkonsultasi, ujar Rosa.

 

Senada dengan Rosa, Agus Takariawan dari Biro Bantuan Hukum(BBH) Universitas Padjadjaran mengatakan setiap hari ada saja orang yang datang untuk berkonsultasi di BBH Unpad.

 

Namun, untuk universitas negeri, saat ini bantuan hukum yang dapat diberikan terbatas pada konsultasi dan penyuluhan hukum saja. Ini merupakan akibat lahirnya UU No 18 Tahun 2003 tentang advokat.

 

Padahal, sebelum ada pembatasan oleh UU Advokat, LBHK UI dan Unpad kerap melakukan litigasi atau beracara di pengadilan.

 

Selain melakukan litigasi, ada juga LBHK yang melakukan perjuangannya dengan melakukan kajian hukum. Laboraturium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) misalnya. LKPH UMM mengkaji UU Advokat dan hasil kajian itu digunakan untuk mengajukan permohonan judicial review di Mahkamah Konstitusi.

 

Sejarah dan pendanaan

Bentuk pemberian bantuan hukum merupakan salah satu wujud pengabdian kampus kepada masyarakat yang dikaitkan dengan perwujudan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.

 

Kisah awal mula berdirinya bantuan hukum kampus dimulai sejak tahun 50-an. UI dan Unpad sudah mulai merintis upaya pemberian bantuan hukum kampus sejak sekitar 1950-an. Sedangkan bantuan hukum di kampus Universitas Tarumanegara, menurut Rochdianto, salah satu mantan staf di Pusat Penyuluhan Konsultasi dan Bantuan Hukum Untar sudah dirintis sekitar tahun 1962.

 

Untuk menunjang keberadaan LBHK, masing-masing universitas memiliki kebijakan yang berbeda-beda. UI memberikan dana bagi dosen-dosen yang aktif di LKBH sebesar Rp.300.000,- per dosen. Sedangkan dana di Unpad cenderung lebih kecil. Tiap-tiap dosen hanya diberikan Rp.25 ribu tiap bulannya, itupun belum dipotong pajak.

 

Perbedaan jumlah dari kedua universitas negeri ini bisa disebabkan oleh banyak hal, seperti pengalihan UI menjadi BHMN. Namun, sebenarnya, ada Keputusan Menteri Kehakiman No.M01.UM.08.10 Tahun 1981 tentang Petunjuk Pelaksanaan Proyek Konsultasi bantuan Hukum Fakultas Hukum Negeri.

 

Dalam Kepmen tersebut, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ditunjuk sebagai badan yang menyelenggarakan proyek tersebut, termasuk memberikan kucuran dana. LBHK akan menerima dana setelah selesai memberikan jasa konsultasi dan atau bantuan hukum dengan persetujuan BPHN.

 

Tidak jelas apakah Kepmen itu saat ini masih berlaku atau sudah dicabut. Ketua BPHN, Romli Atmasasmita ketika dihubungi, menyatakan tidak mengetahui urusan pendanaan bagi universitas negeri. Tidak ada dana yang didistribusi untuk bantuan hukum kampus, ujar Romli kepada hukumonline.

 

Bagi fakultas hukum universitas swasta, dana yangdikucurkan bagi LBHK bervariasi. LBH Pengayoman Unpar mendapat alokasi dana sebesar Rp.500 ribu tiap bulannya. Dana tersebut diberikan oleh Yayasan Unpar untuk menunjang kebutuhan LBHK. Menurut Dewi, dana yang diberikan cukup  untuk membeli kepentingan alat tulis kantor dan biaya konsumsi apabila ada sidang yang harus dihadiri.

 

Kurangnya minat mahasiswa

Selain untuk melayani masyarakat, ada berbagai macam alasan untuk mendirikan lembaga bantuan hukum kampus. Salah satunya adalah untuk memberikan pengetahuan praktek dilapangan bagi mahasiswa fakultas hukum.

 

Ironisnya, ternyata tidak banyak mahasiswa yang magang di lembaga bantuan hukum kampus. Berdasarkan pengamatan hukumonline, rata-rata di LBHK hanya ada 5 sampai 17 orang yang magang di LBHK. Itupun tidak semuanya aktif datang ke LBHK.

 

Menurut Rosa maupun Agus, magang di LBHK dianggap tidak menarik oleh mahasiswa. Minimnya dana LBHK menjadi alasan. Magang di LBHK secara finansial tentu kurang menguntungkan ketimbang magang di kantor pengacara, misalnya. Karena itu, menurut Rosa, mahasiswa yang magang di LKBH UI umumnya akan terseleksi secara alamiah.

 

Artinya, ia menyimpulkan, tidak semua mahasiswa dapat bertahan dengan kondisi keuangan sebuah LBHK yang pas pasan. Tidak ada transport maupun uang makan ketika harus pergi membela klien ke pengadilan.

 

Dana yang dicairkan dari universitas hanya diberikan pada dosen-dosen yang aktif berperan di LBHK. Tidak banyak dana yang dikeluarkan universitas untuk menunjang eksistensi sebuah LBHK.

 

Selain itu, sebagai lembaga bantuan hukum cuma-cuma, tentu saja LBHK tidak bisa berharap mendapat imbalan dari jasa konsultasi maupun litigasi yang diberikan. Pengamatan hukumonline semua LBHK tidak mengenakan biaya yang besar untuk konsultasi bahkan ada juga yang tidak memungut bayaran. Kalaupun memungut bayaran, besarannya hanya Rp.10.000 sampai Rp.50.000,-.   

 

Alasan lain adalah tidak adanya kurikulum fakultas hukum yang mewajibkan mahasiswanya untuk  memberikan bantuan hukum. Hal ini bisa dibandingkan dengan salah satu universitas di Hawai yang mewajibkan mahasiswanya untuk melakukan pro bono. William S Richardson University di Hawaii mewajibkan mahasiswanya untuk memberikan pro bono selama 60 jam sebelum mahasiswa tersebut lulus dari fakultas hukum. Realitas ini layaknya patut dicontoh mengingat saat ini di Indonesia kiprah LBHK justru didominasi oleh dosen ketimbang mahasiswa.

 

Keberadaan LBHK Vs UU advokat

Undang-undang Advokat yang mulai berlaku tahun 2003 boleh dikatakan membawa angin segar bagi profesi advokat. Tetapi tidak bagi keberadaan LBHK. Sebab dengan diberlakukannya UU Advokat, peranan sejumlah LBHK akan makin dibatasi.

 

Untuk LBH universitas negeri, dosen-dosen yang melakukan tugas ganda sebagai pengacara tidak akan lagi dapat berpraktek sebagai advokat di pengadilan. Sebab, pasal 31 UU advokat memberi larangan bagi seorang pegawai negeri untuk melakukan advokasi di pengadilan. Padahal, dosen universitas negeri adalah pegawai negeri.

 

Sandungan bagi LBHK negeri sudah dirasakan BBH Unpad. Menurut Agus, Ketua BBH Unpad Eva Laila sempat di periksa kepolisian akibat memberikan advokasi di Pengadilan bebrapa bulan lalu. Dengan dasar UU Advokat, Eva dituduh telah melanggar pasal 31 UU Advokat. Namun, saat ini BBH Unpad tengah berjuang membela koleganya itu. Alasannya, proses beracara yang ditangani dosen tersebut telah berjalan sebelum UU Advokat disahkan.

 

UU advokat yang hadir di tengah kancah dunia peradilan memang merupakan sandungan berat bagi dosen universitas negeri untuk beracara. Dengan adanya UU Advokat otomatis kita hanya bisa kasih konsultasi saja, ujar Agus. Rosa dari LKBH UI juga menyampaikan hal senada, walaupun saat ini UI telah menjadi Badan hukum Milik Negara (BHMN). Rosa berharap pengalihan ke BHMN akan melegalkan kerja ganda dosen dan advokat.

 

UU Advokatpun bukan saja meneror kerja LBHK negeri, tapi keberdaan perangkat hukum baru ini juga mengkhawatirkan LBHK swasta. Sebab tidak semua dosen yang bekerja di LBHK sudah memiliki SKPT.

 

Hal ini pernah dipermasalahkan oleh Tongat, Ketua LKPH Universitas Muhammadiyah Malang. Tongat membawa masalah pembatasan kegiatan advokat ini lewat jalur judicial review di Mahkamah Konstitusi. Menurut Tongat, ancaman pidana yang diterapkan dalam UU Advokat dapat menjadi belenggu bagi universitas untuk membuat misi sosial yang dilakukan oleh LBHK. Tidak ada pengecualian dalam UU Advokat yang memberikan jalur untuk pelayanan hukum kampus.

 

UU Advokat seolah-olah telah melakukan pembredelan terhadap peran dan fungsi LKPH dalam memberi bantuan hukum cuma-cuma, ujar Tongat dalam pernyataan yang disampaikan kepada hukumonline. Padahal, belum tentu semua advokat mampu mengakomodir pemberian bantuan hukum cuma-cuma.

 

Tongat menambahkan, secara perlahan UU Advokat sebagai kendala yuridis akan menghapus peran dan fungsi lembaga-lembaga bantuan hukum non profit yang berorientasi kepada masyarakat yang tidak mampu.

 

Sebagai jalan keluar untuk mengatasi kepunahan LBHK secara perlahan-lahan, sudah selayaknya organisasi advokat membuat sebuah aturan yang mengecualikan LBHK dari ketentuan di UU Advokat. Sehingga LBHK dapat lebih melebarkan sayapnya. Apalagi, kualitas pemberian bantuan hukum oleh dosen maupun mahasiswa belum tentu kalah dengan kualitas advokat.

 

Selain itu, LBHK sudah sepatutnya dijadikan tempat magang seperti yang dimaksud dalam UU Advokat. Artinya, magang selama dua tahun di LBHK harus dianggap sama dengan magang di sebuah kantor hukum. Setelah dua tahun magang di LBHK, mereka bisa mendapat kartu advokat untuk beracara. (Gita Mahyarani)

 

Pagi hari, saat Jakarta mulai sibuk beraktivitas, sudut-sudut ruangan Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Kampus masih sunyi senyap. Tidak terlihat aktifitas mesin tik ataupun antrian orang-orang yang meminta bantuan hukum.

 

Inilah sebuah potret nyata ketika hukumonline mengunjungi LBHK sebuah universitas swasta di Jakarta. Hal yang sama terjadi ketika hukumonline mengunjungi LBHK universitas swasta lainnya. Tidak ada satupun penghuni yang nampak. Ketika dihubungi sore hari, petugas menyatakan LBHK sudah tutup.

 

Bukan itu saja, beberapa LBHK yang dihubungi via telephone tidak menjawab meski telepon berdering cukup lama. Disana sedang tidak ada orang, tutup, hubungi saja lagi kalau perkuliahan sudah mulai, ujar salah seorang petugas di Universitas yang dihubungi.

 

Ini merupakan sekelumit gambaran kiprah LBHK dalam memberikan bantuan hukum. Namun, bukan berarti LBHK sama sekali mati suri. Masih banyak LBHK-LBHK yang turut serta berjuang untuk memberikan bantuan hukum. Umumnya, pengguna jasa LBHK terbatas dari orang-orang yang berdomisili di wilayah kampus tersebut berada.

 

Anehnya, mahasiswa-mahasiswa kampus yang harus berhadapan dengan proses hukum justru jarang menggunakan jasa LBHK. Contoh saja kasus-kasus pidana yang melibatkan mahasiswa di ibukota. Ricky Tamba, mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) memilih LBH Jakarta sebagai kuasa hukumnya ketika ia dituduh menghina Presiden.

Halaman Selanjutnya:
Tags: