Pemerintah: LBH Kampus Boleh Bertindak Sebagai Advokat
Utama

Pemerintah: LBH Kampus Boleh Bertindak Sebagai Advokat

Para dosen yang menjalankan LBH Kampus memrotes keberlakuan pasal 31 UU Advokat ke Mahkamah Konstitusi karena merasa dilarang beracara sebagai advokat. Tapi menurut pemerintah, larangan itu tidak berlaku bagi mereka.

Oleh:
Zae
Bacaan 2 Menit
Pemerintah: LBH Kampus Boleh Bertindak Sebagai Advokat
Hukumonline

Jadi, menurut Abdul Gani, LBH Kampus bisa memberi bantuan hukum kepada masyarakat sepanjang di hadapan pengadilan bertindak atas nama LBH Kampus yang bersangkutan.

Diskriminatif

Sebelumnya, beberapa dosen UMM mengajukan judicial reviewterhadap pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal tersebut melarang seseorang yang bukan advokat namun menjalankan praktek selayaknya advokat.

Para dosen UMM--Tongat, Sumali dan A Fuad--dalam permohonannya menyatakan bahwa isi pasal tersebut sangat diskriminatif dan tidak adil. "Isi ketentuan itu sangat merugikan hak konstitusional para pemohon," tegas Tongat.

Dalam permohonannya dikatakan, selain menjalan profesi sebagai dosen, sehari-hari mereka dan beberapa mahasiswanya juga menjalankan Laboratorium Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) UMM, yang memberikan praktek konsultasi dan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat.

Akibat diberlakukannya pasal itu, menurut Tongat, LKBH UMM tidak bisa lagi memberi bantuan hukum kepada masyarakat karena sebagian besar 'pekerja' LKBH memang bukan advokat dan kebanyakan masih berstatus mahasiswa. "Contoh kasusnya terjadi baru-baru ini, di mana kami tidak bisa lagi mendamping klien karena pendampingan kami ditolak oleh pihak kepolisian," tegas Tongat.

Selain LKBH UMM, semua lembaga bantuan hukum sejenis yang dibentuk universitas dan perguruan tinggi juga terkena imbas pemberlakuan ketentuan ini. Padahal, keberadaan LBH Kampus ini sudah diakui oleh Mahkamah Agung lewat surat MA No. 34 Tahun 2003.

Saat ditemui usai persidangan di Mahkamah Konstitusi, Tongat dkk mengatakan bahwa apa yang dijelaskan pihak pemerintah di persidangan sangat berlawanan dengan yang terjadi di lapangan. "Dulu kami punya lisensi untuk maju ke pengadilan. Tapi sekarang PT dan MA tidak berani memberikan lagi lisensi kepada kami," ujar Tongat.

Meski demikian dia cukup terkejut dengan penjelasan dari pemerintah. Menurutnya, penjelasan itu seirama dengan pokok permohonan dari para pemohon. "Mudah-mudahan penjelasan pemerintah bisa memudahkan majelis hakim dalam mengambil keputusan," ujarnya.

Protes para dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu dituangkan dalam permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, yang sidangnya digelar pada hari ini, Senin (23/8). Menanggapi permohonan tersebut, pihak pemerintah yang diwakili oleh Dirjen Perundang-undangan Depkeh dan HAM, Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa ketentuan itu hanya berlaku khusus bagi para advokat. "Pasal ini ditujukan untuk orang yang mengaku pada kliennya sebagai advokat padahal bukan," ujar Abdul Gani.

Awalnya penjelasan Abdul Gani di hadapan Mahkamah Konstitusi terkesan berputar-putar. Gani mengatakan, meski ketentuan di Undang-undang Advokat tidak berlaku bagi profesi dosen yang melaksanakan tugas advokat, tetap mereka harus mempunyai surat advokat jika hendak beracara di depan pengadilan.

Tanggapan Abdul Gani mengundang pertanyaan dari hakim konstitusi, Laica Marzuki. "Dari penjelasan saudara, pasal itu diperuntukkan bagi penipu. Tapi bagaimana jika dia ke pengadilan tidak mengaku sebagai advokat tetapi atas nama memberikan bantuan hukum (legal aid)," tanya Laica.

"Kalau dia maju atas nama biro bantuan hukum, maka dia tidak harus mempunyai kartu advokat. Tapi kalau si dosen maju ke pengadilan tidak atas nama biro maka harus punya kartu advokat," jawab Abdul Gani.

Setelah berulang kali dikonfirmasi oleh hakim konstitusi Mukhtie Fajar, I Dewa Gede Palguna dan Sudarsono, akhirnya Abdul Gani mengatakan bahwa dimungkinkan pendampingan seseorang di pengadilan oleh seseorang yang bukan advokat. Misalnya untuk kasus-kasus perdata.

Halaman Selanjutnya:
Tags: