RUU KUHP Baru
Kewenangan Hakim Pidana Lebih Luas
Berita

RUU KUHP Baru
Kewenangan Hakim Pidana Lebih Luas

Jakarta, hukumonline. Hakim sebagai penentu vonis di pengadilan akan memiliki kewenangan yang lebih luas (diskresi). Perluasan kewenangan hakim pidana itu diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional. Dapatkah para hakim mengemban amanah itu?

Oleh:
Bam/APr
Bacaan 2 Menit
<font size='1' color='#FF0000'><b>RUU KUHP Baru</b></font> <BR>Kewenangan Hakim Pidana Lebih Luas
Hukumonline

Pengaturan perluasan kewenangan hakim pidana itu terungkap dalam acara debat publik mengenai Rancangan KUHP Nasional yang berlangsung 7-8 November 2000 di Jakarta. Prof Dr Mardjono Reksodiputro, SH, MA adalah pembicara yang mengungkap hal itu. Mardjono mengingatkan, perluasan kewenangan itu tentunya diikuti pula dengan tanggung jawab yang lebih berat.

Selain Prof Dr Mardjono Reksodiputro, SH, MA, debat publik pada hari ini juga menghadirkan Prof Dr Barda Nawawi, SH dan Prof Dr Andi Hamzah, SH sebagai pembicara.  Mardjpno dan Bardatermasuk anggota penyusun RUU KUHP. Debat yang dipandu oleh Dr Harkristuti Harkrisnowo, SH, LLM itu sendiri berlangsung serius dengan diselingi canda para pembicara yang tentu saja mengundang gelak tawa para peserta.

Dalam presentasinya Mardjono menyatakan, perluasan kewenangan dan tanggung jawab itu tentunya membawa konsekuensi-konsekuensi. Oleh karena itulah Rancangan KUHP Nasional membekali hakim di dalam memberi sanksi dengan "tujuan pemidanaan" (Pasal 50) dan "pertimbangan yang wajib dipedomani" (Pasal 51). Mardjono berpendapat, hal itu akan terlihat pada motivasi pemidanaan dalam putusan hakim (sentencing policy).

Bentuk perluasan

Lebih lanjut Mardjono menjelaskan, setidaknya ada 3 perluasan kewenangan hakim pidana yang diatur Rancangan KUHP Nasional. Pertama, hakim dapat menambahkan atau hanya menjatuhkan pidana denda meskipun tindak pidana bersangkutan diancam hanya dengan pidana penjara (Pasal 54 ayat (1) dan (4).

Kedua, untuk tercapainya tujuan pemidanaan, ancaman pidana yang tercantum alternatif dapat dijadikan kumulatif oleh hakim (Pasal 56 ayat (2). Ketiga, adanya kemungkinan hakim (pengadilan) mengubah putusan pidana dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 53 ayat (1)).

Dalam perluasan kewenangan yang ketiga, Mardjono mengingatkan bahwa untuk mengubah putusan itu hakim harus mempertimbangkan perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan. Artinya, harus ada laporan tentang perilaku dan kemajuan narapidana.

Namun, tambah Mardjono, perubahan itu tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana. "Ketentuan semacam ini mengingatkan kita pada model di Amerika Serikat yang dikenal sebagai indeterminate sentencing system," ujar Mardjono.

Tags: