RUU KUHP Baru Lebih Menghindari Pidana Mati
Berita

RUU KUHP Baru Lebih Menghindari Pidana Mati

Jakarta, hukumonline. Pidana mati adalah salah satu dari empat pidana pokok di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Akan tetapi di dalam Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP, aspek pidana mati tidak ditempatkan lagi sebagai pidana pokok, melainkan hanya sebagai pidana alternatif. Hasil kompromi antara mereka yang pro dan anti pidana mati?

Oleh:
Bam
Bacaan 2 Menit
RUU KUHP Baru Lebih Menghindari Pidana Mati
Hukumonline

Dalam diskusi publik mengenai RUU KUHP baru di Jakarta 7-8 November 2000, Prof. Dr. Barda Nawawi, SH, anggota Tim Penyusun RUU KUHP, menyatakan bahwa dikeluarkannya pidana mati dari komposisi pidana pokok dan dijadikan sebagai pidana khusus alternatif (eksepsional) didasarkan atas tiga pemikiran pokok.

Pertama, dilihat dari tujuan pemidanaan pidana mati hakekatnya bukan sarana utama atau pokok untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki individu ataupun masyarakat. Pidana mati, menurut Barda, hanya merupakan sarana pengecualian. Barda mengidentikkannya dengan sarana amputasi ataupun operasi di bidang kedokteran, yang pada hakekatnya juga bukan obat utama tetapi hanya merupakan obat terakhir.

Kedua, konsep pidana mati sebagai pidana khusus  bertolak dari ide keseimbangan monodualistik. Ide ini, menurut Barda, berorientasi pada keseimbangan kepentingan umum atau perlindungan masyarakat dan juga memperhatikan kepentingan atau perlindungan individu.

Artinya, di samping untuk mengayomi  masyarakat pidana mati juga memperhatikan kepentingan individu, seperti ketentuan penundaan pelaksanaan pidana mati bagi wanita hamil dan orang sakit jiwa (Pasal 81 ayat (3)). Contoh lain adalah dimungkinkannya penundaan pelaksanaan pidana mati, atau dikenal dengan istilah "pidana mati bersyarat" dengan masa percobaan 10 tahun (Pasal 82 ayat (1)).

Ketiga, dipertahankannya pidana mati, meskipun sebagai pidana khusus, juga didasari atas ide menghindari tuntutan atau reaksi masyarakat yang bersifat balas dendam atau bersifat extra-legal execution. Artinya, menurut Barda, disediakannya pidana mati dalam Undang-undang (UU) dimaksudkan untuk menghindari emosi masyarakat.

"Tidak tersedianya pidana mati dalam UU, tidak merupakan jaminan tidak adanya pidana mati dalam kenyataan di masyarakat," ujar Barda. Dalam memberikan pokok pemikiran yang ketiga ini Barda mendasarkan pendapatnya pada pandangan teoritik tujuan pidana yang dikemukakan oleh Emile Durkheim, serta Schwartz dan Skolnick.

Hindari pidana mati

Lebih lanjut Barda menjelaskan, pelaksanaan pidana mati dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama, sejauh mungkin pidana mati dihindari dengan memilih pidana alternatif berupa pidana seumur hidup atau penjara dalam waktu tertentu, paling lama 20 tahun.

Tags: