Meski Tidak Secara Tegas Diatur, Euthanasia Tetap Melanggar KUHP
Utama

Meski Tidak Secara Tegas Diatur, Euthanasia Tetap Melanggar KUHP

Pasal dalam KUHP secara jelas mengatur pemidanaan untuk penghentian nyawa seseorang, walaupun tidak jelas menyebutkan euthanasia sebagai salah satu bentuknya.

Oleh:
Gie
Bacaan 2 Menit
Meski Tidak Secara Tegas Diatur, <i>Euthanasia</i> Tetap Melanggar KUHP
Hukumonline
atau upaya untuk mengakhiri hidup seseorang dengan tenang tengah diperdebatkan kembali setelah munculnya permintaan salah satu pihak korban dugaan malapraktik. Adalah Panca Satrya Hasan Kusuma yang meminta agar isnya, Agian Isna Nauli, yang tengah terbaring tidak berdaya, dihilangkan nyawanya.

Menurut Herkutanto, euthanasia dilarang dalam perundang-undangan di Indonesia. Ia menambahkan, apabila seorang dokter menuruti permintaan pasien untuk melakukan euthanasia, maka dokter tersebut bisa terkena sanksi.

Penetapan pengadilan

Euthanasia sendiri sebenarnya hanya dilegalkan di sedikit negara, Belanda adalah salah satunya. Namun menurut Herkutanto, spesifikasi dari euthanisia pun harus jelas. Euthanasia dapat dilakukan hanya dengan alasan biomedis, ujar Herkutanto.

Menurutnya, alasan sosial seperti yang berkembang di masyarakat untuk melegalkan euthanasia dianggapnya bukan hal yang benar. Sebab, perbuatan yang dianggap meringankan ‘penderitaan' pasien di satu sisi,tidak dapat dilakukan dengan alasan sosial apalagi apabila pasien yang bersangkutan masih memiliki harapan hidup secara medis.

Berkaca dari pengalaman di Belanda, Komariah mengatakan prosedur euthanasia yang diberlakukan di Belanda tidak sembarangan. Diperlukan penetapan pengadilan untuk melakukan perbuatan tersebut. Meskipun keluarga pasien menyatakan kehendaknya untuk melakukan euthanasia, namun pengadilan bisa saja menolak membuat penetapan.

Dalam sebuah kasus di sekitar tahun 1990 di Belanda, kata Komariah, seorang keluarga pasien yang ingin melakukan euthanasia sempat ditolak oleh pengadilan walaupun akhirnya dikabulkan.

Untuk itu, menurut Komariah apabila tidak ada jalan lain, tidak lagi ada harapan hidup dan secara biomedis seseorang terpaksa dicabut nyawanya melalui euthanasia, harus ada penetapan pengadilan untuk menjalankan proses tersebut.

Sebab, penetapan pengadilan tersebut akan digunakan agar keluarga atau pihak yang memohon tidak bisa dipidana. Begitu pula dengan peranan dokter, sehingga dokter tidak bisa disebut malapraktik.

Selain penetapan pengadilan, keterangan dari kejaksaan juga harus diminta agar di kemudian hari negara tidak menuntut masalah euthanasia tersebut. Terlepas dari masalah diatas, menurutnya hidup mati seseorang hanya dapat ditentukan oleh Tuhan.

Euthanasia tri

Di beberapa media, Hasan menyatakan tidak sanggup lagi melihat istrinya menderita. Apalagi saat ini Hasan sudah tidak lagi memiliki biaya untuk pengobatan Agian yang mengalami kerusakan otak setelah menjalani operasi caesar di sebuah rumah sakit di Bogor. Berbagai pihak masih memperdebatkan landasan hukum yang mengatur penghilangan nyawa tersebut.

Pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran Komariah Emong berpendapat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang larangan  melakukan euthanasia. Walaupun tidak secara tegas menyebutkan kata euthanasia, namun menurut Komariah dalam KUHP, khususnya bab tentang kejahatan kemanusiaan, mengatur pemidanaan untuk perbuatan tersebut.

Dalam pasal 344 KUHP disebutkan merampas nyawa orang lain dengan permintaan dari orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara maksimal 12 tahun. Untuk itu, seharusnya dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa, sekalipun keluarga pasien menghendaki.

Secara hukum, norma sosial, agama dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan, ujar Komariah kepada hukumonline (21/9). Pendapat senada dilontarkan Herkutanto, Ketua Komite Perundang-undangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Tags: