Advokat Versus Dosen (3): Korban Sudah Mulai Berjatuhan
Berita

Advokat Versus Dosen (3): Korban Sudah Mulai Berjatuhan

Permohonan judicial review pasal 31 Undang-Undang Advokat yang diajukan Universitas Muhammadiyah Malang sedikit banyak dipengaruhi pengalaman dosen-dosen LKBH ditolak polisi saat mendampingi klien. Korban akan terus berjatuhan?

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Advokat Versus Dosen (3): Korban Sudah Mulai Berjatuhan
Hukumonline

 

Penyebabnya, kasus pendampingan oleh Efa dimuat di media lokal dan itu dijadikan pihak lawan sebagai bahan melaporkan Efa ke polisi. Perempuan berjilbab itu dituduh melakukan praktek advokat secara ilegal dan melanggar pasal 31 UUA. Saya mengalami empat kali pemeriksaan di kepolisian hanya karena kami memberikan bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu, ujarnya.  

 

Efa berusaha mematahkan argumen polisi. Sebab, kartu kepengacaraannya masih berlaku hingga Agustus 2004. Ia juga menunjuk surat keterangan dari Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang mengatakan izin mereka masih berlaku. Izin itu diberikan setelah ada kerjasama antara Pengadilan Tinggi dengan Universitas Padjadjaran.

 

Pada akhir Agustus lalu, Polwiltabes Bandung memang mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas perkara Efa. Polisi beralasan tidak ada pelanggaran pidana yang terjadi.

 

Tapi kasus itu telah membuat Efa terus dihantui pertanyaan, apakah pasal 31 akan memakan korban berikutnya. Apakah seorang dosen yang memberi bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu, bukan masyarakat mampu, dan dia tidak mendapatkan penghasilan dari LBH kampus itu lalu dikategorikan perbuatan pidana dan terancam hukuman denda Rp50 juta?.

 

Dalam praktek ancaman pasal 31 UUA telah membuat jarak antara BBH Universitas Padjadjaran dengan masyarakat tidak mampu yang meminta bantuan hukum. Warga yang datang dari Sukabumi, Tasikmalaya dan Bandung terpaksa ditolak. Perkara yang menyangkut karyawan dan mahasiswa Unpad pun susah diselesaikan karena kami tak bisa lagi beracara. Terhalang pasal 31 itu, timpal Deddy Godzali, kolega Efa di BBH.

 

Deddy melanjutkan kegalauannya. Kami bukan advokat. Kami adalah pendidik. Kami adalah dosen. Yang kami lakukan adalah suatu litigasi dalam pengertian yang bukan beroefs, bukan mata pencaharian. Kami hanya guru yang ingin memberi bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu. Dan kami tidak menagih mereka untuk membayar.

 

Toh, kalimat yang bernuansa puitis itu tak membuat pendapat KKAI berubah. Lewat ucapan seorang wakilnya dalam sidang, KKAI mengatakan bahwa pasal 31 tidak mengikat bagi LBH kampus. UUA tidak mengurangi, tidak membatasi dan tidak mengutak atik hak apapun dari pengacara kampus. Cuma, ya itu tadi, kalau mau memberi bantuan hukum harap memenuhi syarat sebagai advokat.

 

Tidak mengikatnya pasal 31 UUA juga pernah disampaikan Dirjen Perundang-Undangan Profesor Abdul Gani Abdullah. Mewakili Pemerintah di sidang Mahkamah Konstitusi 23 Agustus lalu, Abdul Gani mengatakan bahwa seorang dosen boleh maju ke pengadilan atas nama biro bantuan hukum kampus. Tapi, Tongat –pemohon judicial review UUA—tidak sepenuhnya percaya ucapan Abdul Gani. Sebab, itu diucapkan secara lisan sebagai jawaban atas pertanyaan bertubi-tubi dari para hakim konstitusi. Jadi, pendapat itu belum bisa dianggap mewakili pandangan pemerintah dan pembuat undang-undang sepenuhnya.

 

Di tengah ketidakpastian mengikat atau tidaknya pasal 31 terhadap LBH-LBH kampus sangat mungkin akan terus memakan korban. Atau, Anda pernah mengalaminya?

Pengalaman pahit itu diutarakan oleh Tongat, Ketua LKBH Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Pada Desember 2003, Tongat bersama dua rekannya A. Fuad Usfa dan Sumali, bergegas ke kantor Polres Malang mendampingi seorang klien LKBH. Rudi, nama klien itu, hanya tersangkut kasus pelanggaran lalu lintas biasa.

 

Tetapi niat mendampingi Rudi tidak kesampaian. Polisi malah balik meminta ketiga dosen UMM tadi menunjukkan kartu identitas sebagai advokat. Tentu saja Tongat kaget karena tindakan polisi itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Mereka berusaha menunjukkan kartu keluaran Pengadilan Tinggi. Polisi tidak terima karena masa berlakunya sudah habis. Kartu yang dikeluarkan organisasi advokat, sebagaimana diamanatkan UUA, belum mereka punya. Walhasil, ketiga pengacara LKBH itu ditolak oleh polisi dengan alasan mereka bukan advokat.

 

Polisi menolak kami dengan mengacu ke pasal 31 Undang-Undang Advokat ujar Tongat kepada hukumonline. Berbekal pengalaman tidak menyenangkan itulah, UMM mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mungkin tidak lama lagi, putusan atas perkara ini akan diambil kesembilan hakim konstitusi.

 

Korban lain yang mengalami nasib apes serupa dialami Efa Laela Fakhriah. Ketua Biro Bantuan Hukum (BBH) Fakultas Hukum  Universitas Padjadjaran Bandung itu memberi pengakuan di depan hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang Kamis lalu. Ia mengaku punya pengalaman yang lebih pahit dibanding koleganya dari UMM. Saat mendampingi seseorang yang terjerat kasus perceraian beberapa bulan setelah UUA disahkan, ia harus berurusan dengan polisi.

Tags: