Kompilasi Hukum Islam Bukan Kitab Suci
Utama

Kompilasi Hukum Islam Bukan Kitab Suci

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dituangkan dalam Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 kini kembali jadi perdebatan. Pasalnya, sekelompok peneliti mengajukan rancangan KHI baru yang 'menjungkirbalikan' sebagian besar pasal-pasal dalam KHI.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Kompilasi Hukum Islam Bukan Kitab Suci
Hukumonline

 

Keempat isu yang terdapat dalam draf KHI yang bisa diterima antara lain ketentuan mengenai nusyuz (pembangkangan suami atau isteri terhadap pasangannya), ihdad (masa berkabung), 'iddah (masa transisi), dan pemeliharaan anak di luar nikah. Beberapa isu lain yang masih ditentang keras adalah yang menyangkut soal dibolehkannya nikah beda agama, penyetaraan batas usia minimal nikah, dan pelarangan poligami.

 

Musdah mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu masukan dari masyarakat untuk menyempurnakan draf KHI tersebut. Ia mengatakan, draf final KHI akan diserahkan kepada Mahkamah Agung yang kini menjalankan tugas Direktorat Peradilan Agama sejak penyatu-atapan badan-badan peradilan.

 

"Persoalannya, apakah Mahkamah Agung mau pakai atau tidak, yang penting kita sudah memberikan masukan. Itu terserah kepada mereka," kata Musdah. Kendati demikian, ia tidak memasang target kapan draf tersebut akan disampaikan ke MA.

 

Saat dihubungi secara terpisah, Direktur Urusan Peradilan Agama MA Muhammad Rum Nessa membenarkan bahwa sejak 30 Juni 2004 Menteri Agama telah menyerahkan pengelolaan organisiasi, administrasi, dan finansial kepada MA. Namun, menurutnya, untuk sementara ini belum jelas apakah MA yang akan meneruskannya ke Presiden sebagai rancangan undang-undang.

 

"Mahkamah Agung tidak mengajukan rancangan undang-undang. Mahkamah Agung adalah pelaksana undang-undang," cetus Nessa. Untuk diketahui, draf KHI usulan Pokja terdiri dari tiga bagian yaitu Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku III tentang Perwakafan. Masing-masing memuat RUU tentang Hukum Perkawinan Islam, RUU tentang Kewarisan Islam, dan RUU tentang Hukum Perwakafan Islam.

 

Rancangan KHI versi Departemen Agama juga terdiri dari tiga kelompok yang sama. Namun, terdapat perbedaan dalam judul RUU yang diusulkan yaitu RUU tentang Penerapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan, RUU tentang Penerapan Peradilan Agama Bidang Kewarisan, dan RUU tentang Penerapan Peradilan Agama Bidang Perwakafan. Dalam perkembangannya, RUU tentang Penerapan Peradilan Agama Bidang Wakaf diajukan lebih awal dan telah disetujui DPR menjadi RUU Wakaf pada akhir September lalu.

Rancangan KHI baru yang diberi judul "Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam" itu merupakan hasil kajian dari sekelompok peneliti yang tergabung dalam Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender. Dari sosialisasi yang diselenggarakan Pokja dan Departemen Agama (4/10), draf KHI baru itu menuai kritik dari pakar hukum Islam dan ulama karena isinya dinilai "terlalu vulgar".

 

"Targetnya (adalah) membuka mata masyarakat bahwa ada persoalan yang perlu kita kaji renungkan dan refleksikan sehingga tidak menjadi hal yang sakral dan seolah-olah seperti kitab suci tidak boleh dikritik," tegas Ketua Pokja Pengarusutamaan Gender, Siti Musdah Mulia kepada hukumonline (8/10).

 

Sosialisasi itu sendiri menghadirkan diantaranya Guru Besar Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahir Azhary, Koordinator Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar Abdalla, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Hassanuddin A.F.

 

Musdah mengatakan bahwa sebagian besar substansi draf KHI yang mereka ajukan mendapat penolakan bahkan dari pihak Direktorat Peradilan Agama pada Departemen Agama sendiri yang pertama kali memberi penugasan kepada Pokja. Menurutnya, dari 19 isu krusial yang dilemparkan pada saat sosialisasi draf KHI tersebut, hanya empat isu yang sementara ini diterima.

Halaman Selanjutnya:
Tags: