UUPA Tidak Lagi Menjadi Undang-Undang Payung
Berita

UUPA Tidak Lagi Menjadi Undang-Undang Payung

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang berumur 44 tahun, sudah tidak lagi berfungsi sebagai undang-undang payung. Banyak peraturan setingkat atau di bawah undang-undang yang bertentangan dengan UUPA.

Oleh:
Gita Mahyarani
Bacaan 2 Menit
UUPA Tidak Lagi Menjadi Undang-Undang Payung
Hukumonline

 

Dalam dua peraturan tersebut, pengelolaan hutan dan eksploitasi pertambangan banyak yang bertentangan dengan kebijakan hak atas tanah. Apalagi sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan domein verklaring masih terlihat. Parahnya lagi, setelah UU No.41/1999 dan UU No.11/1967 hadir, makin banyak peraturan yang tingkatannya di bawah undang-undang yang makin bertolak belakang dengan UUPA.

 

Bisa dikatakan UUPA makin bergeser dan tidak lagi menjadi payung hukum, ujar Usep Setiawan Kepala Advokasi Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). Menurut Usep, dalam penelitiannya KPA menemukan beberapa peraturan yang bertentangan dengan UUPA. Contohnya saja banyak izin-izin pengelolaan hutan dan lahan yang pada prinsipnya bertentangan dengan UUPA yang syarat dengan kepentingan akumulasi modal. Tidak dapat dipungkiri hal tersebut mengobarkan kehidupan masyarakat pedesaan, adat, nelayan dan lainnya.

 

Bukan itu saja, peraturan-peraturan dibentuk baru-baru ini saja, nyatanya masih ada yang bertentangan dengan UUPA seperti Undang-undang Jabatan Notaris No.30 Tahun 2004. Di dalam UU tersebut disebutkan tentang kewenangan notaris untuk membuat akta pertanahan. Padahal dalam pelaksanaan pasal 19 UUPA yang diakomodir lagi dalam Peraturan Pemerintah, kewenangan tersebut seharusnya berada ditangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

 

Pergeseran UUPA dengan hadirnya undang-undang lain juga sempat diperdebatkan di Mahkamah Konstitusi. Beberapa waktu yang lalu, Marto Sumartono, seorang pengembang (developer), telah melakukan uji materiil terhadap Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dianggap bertentangan dengan UUD'1945 dan UUPA.

 

Dalam UU BPHTB, penetapan status Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan (HPL) disamakan dengan status HGB di atas tanah negara. Akibat penyamaan ini, HGB di atas HPL pun dikenakan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pengenaan pajak baru ini kemudian dikuatkan dalam berbagai surat Direktur Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Ditjen Pajak.

 

Ketentuan tersebut dianggap bertentangan dengan pasal 16 UUPA tentang klasifikasi hak-hak atas tanah yang membedakan hak-hak atas tanah yang tentunya kan berpengaruh dari segi perpajakannya.

 

Fenomena pergeseran UUPA pun telah ditangkap sebagai suatu sinyal untuk merevisi guna menyempurnakan UUPA. Langkah untuk merevisi UUPA yang tidak lagi menjadi umbrella act  sudah mulai diterapkan sejak hadirnya TAP MPR No.IX Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Agraria dan Sumberdaya Alam.

Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di tahun 1960 merupakan peristiwa penting di bidang agraria dan pertanahan di Indonesia. Penghapusan kebijakan-kebijakan pertanahan ala pemerintah kolonial Belanda ditanggalkan satu persatu melalui lahirnya undang-undang tersebut.

 

Undang-Undang yang disusun di era pemerintahan Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip domein verklaringnya. Singkatnya, UUPA diharapkan menjadi penyelamat atas hak-hak masyarakat atas tanah maupun pengelolaannya dari kesewenang-wenangan negara.

 

58 pasal di undang-undang tersebut mengakomodir peraturan-peraturan yang dianggap penting dalam bidang agraria dan pertanahan. Sehingga UUPA sendiri lebih dikenal sebagai peraturan dasar, undang-undang payung (umbrella act) dari peraturan-peraturan lain.Mulai dari hak atas tanah, bangunan, air, hutan dan ruang angkasa, ketentuan dasarnya telah diakomodir dalam UUPA.

 

Namun, perjalanan waktu dan era industrialisasi, semakin membuka peluang pergeseran UUPA. Banyak peraturan-peraturan baru yang dibuat untuk kepentingan industri dan pembangunan yang mulai melupakan sendi-sendi penting dalam UUPA.

 

Bahkan tujuh tahun setelah UUPA berjalan, dan ditandai dengan pergantian pemerintahan, lahir beberapa undang-undang justru bertolak belakang dengan UUPA. Misalnya kelahiran Undang-Undang No.5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan yang diperbaharui dengan Undang-Undang No.41/ 1999 dan Undang-Undang No.11/1967 tentang Pokok Pertambangan. Kelahiran dua undang-undang menandai pergeseran UUPA dari undang-undang induk menjadi sektoral.

Tags: