MK Koreksi Sebagian Materi Undang-Undang Migas
Utama

MK Koreksi Sebagian Materi Undang-Undang Migas

Putusan judicial review Undang-Undang Migas harus dimuat dalam Berita Negara paling lambat 30 hari kerja sejak putusan diucapkan.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
MK Koreksi Sebagian Materi Undang-Undang Migas
Hukumonline
Diwarnai aksi demo yang memacetkan Jalan Medan Merdeka Barat, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Dalam sidang yang dipadati pengunjung, Selasa (21/12), MK tidak mengabulkan permohonan para pemohon untuk membatalkan seluruh materi UU No.22/2001. Para pemohon judicial review adalah Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia (APHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Yayasan 324, Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Serikat Pekerja Pertamina dan DR Ir Pandji R Hadinoto (Wakil Rektor Universitas Kejuangan '45 Jakarta).

Dalam amarnya, MK menyatakan pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) UU No.22/2001 bertentangan dengan UUD 1945. Hal yang sama terjadi pada pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata diberi wewenang, dan pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata paling banyak. Ketiga aturan hukum tersebut dinyatakan MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal 33.

Pasal-Pasal UU No.22/2001 yang Dikoreksi MK 

Pasal 12 ayat (3) Menteri menetapkan Badan Usaha atau bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);

Pasal 22 ayat (1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Pasal 28 ayat (2) Harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar;

Pasal 28 ayat (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.

Harga BBM

Dalam permohonannya, para pemohon mendalilkan pasal 12 ayat (3) akan membawa akibat penguasaan industri migas nasional oleh perusahaan asing. Pasal itu juga mengurangi wewenang presiden, dan sebaliknya, menumpukan kekuasaan atas sumber daya migas di tangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Namun dalil pemohon itu tidak disetujui MK. Di mata MK, itu adalah masalah internal pemerintah. Namun MK berpendapat pasal 12 ayat (3) tidak sesuai dengan pasal 4 ayat (2) UU No.22/2001 yang menyatakan bahwa penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Secara yuridis, wewenang penguasaan oleh negara hanya ada pada pemerintah, yang tidak dapat diberikan kepada badan usaha, papar MK dalam petitumnya.

Badan Usaha dan Bentuk Badan Usaha Tetap hanya melaksanakan kegiatan tersebut berdasarkan kontrak kerjasama dengan hak ekonomi terbatas, yaitu pembagian manfaat minyak dan gas bumi (pasal 6 ayat 2).

Hal lain yang menarik dari putusan MK adalah pencabutan pasal yang mengatur kenaikan harga BBM berdasarkan persaingan usaha yang sehat dan wajar. Menurut MK, Campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak.

Toh, menurut MK, pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga BBM, termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) di mata MK lebih mengutamakan mekanisme persaingan, baru kemudian campur tangan pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu. Aturan ini dipandang MK tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

Tags: