Prokontra Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana: Pertarungan Para Ahli
Fokus

Prokontra Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana: Pertarungan Para Ahli

Apakah larangan penggunaan asas retroaktif hanya untuk hukum materiil, atau juga untuk hukum formil? Implementasi pasal 28I UUD 1945 yang menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum pidana.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Prokontra Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana: Pertarungan Para Ahli
Hukumonline

 

Dalam keterangannya, Prof. Indriyanto tegas mengatakan bahwa KPK tidak berwenang mengambil alih semua perkara tindak pidana korupsi. Wewenang KPK untuk mengambil alih dibatasi oleh tempus delictie, yaitu waktu terjadi tindak pidana yang disidik. Indriyanto, yang ikut membahas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 (UUKPK) berpendapat, batas waktu pengambilalihan yang dapat dibenarkan hanya sampai 27 Desember 2002, yakni mulai berlakunya UUKPK. Dengan kata lain, hanya berwenang mengambil alih perkara yang terjadi setahun sebelum KPK berdiri. Pengambilalihan itu bersifat limitatif, ujarnya.

 

Kalaupun ada pengecualian, tetap harus mengacu pada asas legalitas dalam pasal 1 KUH Pidana. Artinya, harus menguntungkan tersangka. Nah, dengan dasar ini mestinya KPK tidak berwenang mengambil alih perkara Bram Manoppo. Itu bukan area kewenangan KPK, tandas Guru Besar Universitas Krisnadwipayana itu.

 

Pendapat Indriyanto diamini Andi Hamzah. Mantan jaksa ini berpendapat bahwa jaksa atau polisilah yang berwenang menyidik, sementara KPK hanya menjalankan fungsi supervisi dan koordinasi. Guru Besar Universitas Trisakti ini malah berpendapat bahwa korupsi tak ubahnya seperti mencuri; korupsi bukanlah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sebagaimana selama ini digembar gemborkan Pemerintah.

 

Kelayakan Ahli

Mengetahui keterangan kedua ahli itu, KPK seperti kebakaran jenggot. Apalagi kemudian beberapa media yang tidak mengikuti persidangan, seperti Gatra (edisi 8 Januari 2005), menuliskan perdebatan mengenai asas retroaktif dan prilaku sebagian pakar pidana sebagai ahli dalam persidangan.

 

Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana sempat menyindir kecenderungan ahli hukum memberi keterangan dalam persidangan sesuai pesanan itu dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa pekan lalu. Pendapat mereka berdasarkan pendapatan, ketusnya.

 

Mantan Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Romli Atmasasmita termasuk yang mengecam kesaksian Indriyanto dan Andi Hamzah. Sebagai orang yang ikut menyusun UUKPK, kata Romli, seharusnya Prof. Indriyanto dan Prof. Andi Hamzah ikut mempertahankan semangat penyusunan dan substansi UUKPK, bukan justeru melemahkannya. Saya justru heran kalau ada ahli yang menyatakan korupsi bukan extra-ordinary crime, ujar Romli.

 

Belakangan, di depan sidang Mahkamah Konstitusi, KPK pun mempersoalkan kedudukan Prof. Indriyanto selaku ahli. Profesinya sebagai advokat, sekaligus sebagai kuasa hukum Abdullah Puteh-–dalam perkara yang sama dengan Bram Manoppo—dinilai memiliki konflik kepentingan. Itu sebabnya KPK meminta Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan keterangan Indriyanto selaku ahli.

 

Namun sebaliknya, Mohamad Assegaf, menganggap keterangan Indriyanto disampaikan secara profesional sebagai ahli. Tidak ada yang salah dari keterangannya, termasuk soal pembatasan wewenang pengambilalihan perkara oleh KPK. Terbukti kemudian, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) M. Akil Mochtar membenarkan adanya limitasi waktu dalam pasal 68 UUKPK, yakni hanya sampai 27 Desember 2002.

 

Larangan berlaku surut: Materil, Yes. Formil, No?

Keterangan yang diberikan para ahli dalam sidang-sidang Mahkamah Konstitusi telah memunculkan pertanyaan, apakah larangan penggunaan asas retroaktif hanya dikenal dalam rezim hukum pidana materil. Bolehkah hukum acara pidana diberlakukan surut?

 

Ini terkait dengan implementasi pasal 1 ayat (1) KUHP. Pasal ini menyebutkan tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Inilah dasar asas legalitas dalam hukum pidana. Seseorang tidak dapat dihukum jika belum ada undang-undang yang mengatur tindak pidana yang dilakukan (nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali).

 

Prof. Romli Atmasasmita termasuk ahli yang berpendapat bahwa larangan asas retroaktif hanya berlaku untuk hukum pidana materil. Demikian pula Prof. Komariah Emong. Nomenklatur dituntut yang terdapat pada pasal 28I UUD adalah dalam pengertian pidana materil. Pasal 1 ayat (1) KUHP hanya berlaku untuk pidana materil saja. Di dalam KUHAP memang ada pasal 3 yang mengatur tersendiri masalah legalitas hukum acara pidana. Tetapi hukum acara pidana itu tidak mungkin menampakkan diri sendiri kalau hukum pidana materilnya tidak ada, kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung itu.

 

Tetapi, Prof. Andi Hamzah berpendapat asas legalitas bukan hanya dikenal dalam hukum materil, tetapi juga hukum acara. Ketua Tim Penyusun Revisi KUHAP ini mengaku termasuk yang menentang habis-habisan berlakunya asas retroaktif dalam hukum acara pidana. Bahkan menurut saya asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih keras dari pasal 1 ayat (1) KUHP, tegas Andi Hamzah.

 

Mengapa? Pasal 1 ayat (1) KUHP hanya menyebut tidak seorang pun boleh dihukum sebelum ada perundang-undangan pidana', yang berarti bisa berbentuk Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden. Sementara, di dalam pasal 3 KUHAP disebut kata Undang-Undang, yang berarti tingkatannya lebih tinggi. Dengan kata lain, Prof. Andi Hamzah berpendapat bahwa hukum acara pidana tidak boleh diberlakukan surut.

 

 

Acara Pidana tak Melarang Retroaktif: Tiga Contoh dari KPK

Pendapat Prof. Andi Hamzah tadi langsung ditepis oleh KPK. Seolah tidak mau kalah argument, KPK juga merujuk pada KUHAP. Taufiequrahman Ruki menunjuk pasal 284 KUHAP.

 

Pasal ini berbunyi: (1) Terhadap perkara yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan undang-undang ini; (2) Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.   

 

Pasal 284 di atas, menurut KPK, bukan saja memperbolehkan, tetapi juga menganjurkan diberlakukannya KUHAP terhadap perkara-perkara yang ada (tempus delictie) sebelum KUHAP diundangkan menjadi UU No. 8 Tahun 1981.

 

Bukti lain adalah Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK). Pasal 68 menyebutkan pada saat UUMK berlaku, maka seluruh permohonan judicial review yang diterima Mahkamah Agung dan belum diputus dialihkan ke MK paling lambat 60 hari kerja sejak MK terbentuk. Dengan pasal ini, MK diberi wewenang menangani permohonan yang ada sebelum lembaga tersebut berdiri.

 

Masih dengan contoh, KPK menunjuk Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2000 tentang Pembentukan Pengadilan Negeri Kepanjen. Berdasarkan pasal 5 ayat (2) Keppres tersebut, PN Kepanjen berwenang mengadili perkara-perkara pidana dan perdata yang sebelumnya deregister di PN Malang, tetapi belum diperiksa. Pasal ini memberi wewenang kepada PN Kepanjen untuk mengadili perkara yang sudah ada sebelum PN tersebut berdiri.

 

Berdasarkan ketiga contoh tadi, KPK berpendapat bahwa lembaga penegak hukum yang baru dibentuk tidak dilarang untuk menerima limpahan perkara dari lembaga lama, meskipun tempus delictie-nya terjadi sebelum lembaga baru tersebut berdiri.

 

Menunggu putusan MK

Tentu saja pandangan para ahli itu disampaikan dalam kapasitas keahlian. Tinggal kepada para hakim konstitusi untuk mempertimbangkan pendapat mana yang akan diterima.

 

Satu hal yang jelas, MK sudah pernah membuat satu keputusan menyangkut asas retroaktif, yakni dalam perkara pengujian Undang-Undang No. 16 Tahun 2003. Undang-Undang ini dibatalkan karena telah menerapkan asas retroaktif (memberlakukan surut) Undang-Undang Terorisme terhadap terdakwa kasus bom Bali.

 

Dalam pertimbangannya MK berpendapat pada dasarnya hukum harus berlaku ke depan (prospectively). Adalah tidak fair, jika seseorang dihukum karena perbuatan yang pada saat dilakukan seseorang merupakan perbuatan yang sah. Tidak fair juga jika kepada seseorang diberlakukan suatu ketentuan hukum yang lebih berat terhadap suatu perbuatan yang dulu hukumannya ringan, baik yang berkenaan dengan hukum acara maupun hukum materil.

 

Asas non retroaktif dinilai MK lebih mengacu pada filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan. Mengesampingkan larangan retroaktif justru membuka peluang kepada rezim penguasa untuk menggunakan hukum sebagai sarana balas dendam.

Sidang-sidang pengujian Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 lebih dari sekedar menyita waktu dan perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini terkait dengan keabsahan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap Bram Manoppo, yang tak lain adalah pemohon judicial review.

 

Tetapi yang lebih menyita pikiran KPK adalah perdebatan di dalam sidang mengenai boleh tidaknya asas retroaktif digunakan dalam penyidikan suatu tindak pidana korupsi. Ini memberikan pengalaman yang sangat bagus untuk mematangkan KPK, mematangkan semua personil untuk lebih memperhatikan masalah-masalah hukum dengan segala implikasinya, ujar Ketua KPK Taufiequrahman Ruki, usai sidang 11 Januari lalu. 

 

Kuasa hukum Bram Manoppo yang dikomandoi advokat senior Mohamad Assegaf menilai penyidikan oleh KPK tidak sah karena dalam tindak pidana korupsi, asas retroaktif yang tanpa batas tidak dapat dibenarkan.

 

Untuk memperkuat argumen, tim pengacara Bram Manoppo menghadirkan dua orang ahli, Prof. Indriyanto Seno Adji dan Prof. Andi Hamzah. Kedua Guru Besar Hukum Pidana itu tampil dalam persidangan 16 Desember 2004. Selain dikenal sebagai ahli hukum pidana, Prof. Indriyanto dan Prof. Andi Hamzah adalah anggota tim penyusun Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tags: