Pidana Mati: Mengapa Tidak?
Kolom

Pidana Mati: Mengapa Tidak?

Kondisi sosial kemasyarakatan dan penegakan hukum di negara ini sudah begitu memprihatinkan. Perasaan aman (baca: bebas dari rasa takut), yang merupakan salah satu bentuk kebebasan yang seharusnya diperoleh setiap jiwa manusia, sudah demikian sulit untuk didapatkan.

Bacaan 2 Menit
Pidana Mati: Mengapa Tidak?
Hukumonline

Masyarakat telah terkondisikan untuk terbiasa mendengar, melihat, dan (mungkin) merasakan kekejaman, kebengisan, dan ketidakadilan yang kesemuanya memunculkan rasa takut. Berita pembunuhan, perkosaan, dan pelanggaran hak asasi (HAM) yang berat lainnya memenuhi lembaran media-media massa nasional maupun lokal.

Bahkan pada taraf tertentu, rasa takut tersebut dirasakan sangat mencekam dan menyayat hati, seperti yang ditimbulkan dari genocide di Maluku, Aceh, Sambas, Timor Timur, Poso, dan wilayah lainnya. Hati siapakah yang tidak merinding menyaksikannya.

Perkosaan seorang wanita oleh sopir taksi dan kawannya saja telah membuat masyarakat pengguna taksi resah dan cenderung tidak menggunakan jasa tersebut sementara waktu. Atau marilah kita berkaca pada rentetan peristiwa peledakan bom beberapa waktu yang lalu. Apalagi kasus pembunuhan dan pelanggaran HAM yang berat lainnya.

Ketika rasa takut telah demikian menghantui masyarakat, tentunya harus ada suatu usaha yang menyeluruh untuk menghapuskan rasa takut tersebut. Setidaknya menekan sampai derajat yang terendah, dengan law enforcement yang tegas dan adil. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Rasa takut tersebut tetap menyelimuti. Bahkan diabaikan, seolah-olah memang seharusnya masyarakat mengalami ketakutan.

Teori pemidanaan

Masyarakat telah hidup bertahun-tahun, berwindu-windu, berabad-abad, bahkan berzaman-zaman. Tiap-tiap anggota masyarakat sudah dengan sendirinya merasa bahwa hawa nafsu masing-masing pada akhirnya harus dikurangi dan dibatasi untuk memberi kesempatan kepada anggota masyarakat yang lainnya untuk juga merasakan kenikmatan dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian diperlukan adanya perangkat hukuman yang didasari pada pertahanan tata tertib dan kedamaian masyarakat.

Berbagai teori pun telah dirumuskan untuk mengurangi dan membatasi kecenderungan jahat pada tiap manusia itu. Di antaranya adalah teori pemidanaan absolut dan relatif, maupun teori gabungan (verenigings-Theorien)

Penganut teori pemidanaan absolut menyatakan, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Hutang pati, nyaur pati; hutang lara, nyaur lara (pembunuh harus dibunuh, penganiaya harus dianiaya), demikian salah satu semboyan di Indonesia. Oog om oog, tand om tand (mata dengan mata, gigi dengan gigi) dari Kitab Injil Perjanjian Lama bermakna sama. Al-Quran pun mengajarkan demikian, tetapi dengan unsur pemaafan yang disertai pembayaran diyat.

Tags: