FCPA, Konvensi OECD, dan Undang-Undang Anti Korupsi
Berita

FCPA, Konvensi OECD, dan Undang-Undang Anti Korupsi

Meski Indonesia bukan, atau paling tidak, belum menjadi anggota OECD, bukan berarti hukum kita tidak memiliki aturan semacam FCPA atau Konvensi OECD.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
FCPA, Konvensi OECD, dan Undang-Undang Anti Korupsi
Hukumonline

Meski substansinya tidak banyak berbeda, buat AS, ratifikasi terhadap Konvensi OECD membawa arti penting karena berimplikasi pada diamandemennya sebagian kecil ketentuan di dalam FCPA maupun UU Perdagangan AS (Exchange Act). Secara garis besar, ada empat ketentuan FCPA yang disesuaikan dengan isi dari Konvensi OECD.

Uraian berikutnya mengenai empat perubahan terhadap FCPA didapatkan dari keterangan Wakil Direktur Divisi Penegakan Hukum Securities Exchange Commision (SEC), Paul V. Gerlach di hadapan sub Komite Keuangan dan Bahan Berbahaya DPR AS, September 1998.

Empat amandemen FCPA

Pertama, Konvensi OECD melarang jenis pembayaran yang bertujuan untuk melindungi segala bentuk keuntungan yang tak sepatutnya (any improper advantage). Sebelumnya, berkaitan dengan ketentuan tersebut, FCPA melarang jenis pembayaran yang yang bertujuan untuk memperoleh atau menjalankan bisnis (in order to obtain or retain business). Pasal FCPA kemudian diamandemen menyesuaikan terminologi yang dipakai oleh Konvensi OECD.

Kedua, Konvensi OECD memasukkan (kalangan) pejabat lembaga-lembaga internasional ke dalam definisi pejabat publik asing (foreign public official). Ketentuan di dalam FCPA kemudian diamandemen dengan memperluas cakupan pejabat publik asing.

Ketiga, Konvensi OECD memiliki pengaturan menyangkut yurisdiksi kewarganegaraan. Hal tersebut mengharuskan FCPA untuk menetapkan yurisdiksi terhadap tindakan yang dilakukan oleh perusahaan maupun warga negara AS untuk melanjutkan pembayaran ilegal yang dilakukan di luar kedaulatan AS, baik dengan menggunakan surat ataupun cara ataupun instrumen perdagangan lintas AS. Pengaturan yang demikian sejalan dengan konstitusi dan perundang-undangan AS.

Keempat, Konvensi OECD mengharuskan FCPA untuk menghapuskan pembedaan hukuman antara warga AS dan warga non-AS yang menjadi pegawai atau agen yang bekerja untuk perusahaan AS. Sebelumnya, warga non AS yang bekerja pada atau berlaku sebagai agen dari perusahaan AS hanya diancam dengan sanksi perdata jika terbukti melanggar FCPA. Untuk menyeragamkan dengan Konvensi OECD, maka baik warga AS maupun non AS, dapat dikenakan sanksi pidana maupun perdata.

Hal di atas menjelaskan mengapa SEC dan Departemen Kehakiman AS memiliki yurisdiksi untuk menjatuhkan sanksi terhadap warga Indonesia, Sonny Harsono, partner dari kantor akuntan publik KPMG Siddharta Siddharta & Harsono (KPMG-SSH) yang terlibat di dalam penyuapan pejabat Indonesia pada September 2001. Waktu itu, KPMG-SSH bertindak selaku wakil dari sebuah perusahaan AS, Baker Hughes Inc.

Kembali ke Indonesia, meski bukan atau paling tidak belum menjadi anggota OECD, bukan berarti hukum kita tidak memiliki aturan semacam FCPA atau Konvensi OECD. Coba lihat ketentuan pasal 55 UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Meskipun, ketentuan itu tidak secara spesifik mengatur soal penyuapan terhadap pejabat negara asing.

Pasal 55 UU No.30/2002 menyebutkan bahwa pengadilan korupsi berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar wilayah RI oleh warga negara Indonesia. Persoalannya, jika mengusut pelaku korupsi di dalam negeri saja sudah keteteran dan tidak jelas juntrungannya, bagaimana dengan yang dilakukan di luar negeri?

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Public Services International Research Unit (PSIRU) University of Greenwich, London, pelanggaran terhadap Foreign Corrupt Practises Act (FCPA) banyak terjadi di negara-negara non-OECD (Organization of Economic Cooperation and Development).

Dalam laporan hasil riset PSIRU bertajuk Enron, The Foreign Corrupt Practises Act & The OECD Convention, mereka membuat daftar kasus-kasus pelanggaran FCPA di berbagai negara, baik yang merupakan anggota OECD maupun non-OECD. Indonesia adalah salah satu negara non-OECD yang kerap menjadi subjek pelanggaran FCPA. Sementara, salah satu negara anggota OECD yang juga menjadi langganan pelanggaran terhadap FCPA adalah Mexico.

Kaitan antara OECD dengan FCPA memang sangat erat, salah satunya karena keberadaan Konvensi OECD tentang Pemberantasan Suap terhadap Pejabat Publik Asing dalam Transaksi Bisnis Internasional (Konvensi OECD). Konvensi ini ditandatangani oleh 30 negara anggota OECD dan lima negara non-OECD pada 21 November 1997. Lima negara non-OECD yang menandatangani Konvensi itu adalah Argentina, Brazil, Bulgaria, Chile, dan Republik Slovakia. 

Tabel: 30 Negara anggota OECD

AUSTRALIA: 7 Juni 1971
AUSTRIA: 29 September 1961
BELGIUM: 13 September 1961
CANADA: 10 April 1961
CZECH REPUBLIC: 21 Desember 1995
DE
NMARK: 30 Mei 1961
FINLAND: 28 Januari 1969
FRANCE: 7 Agustus 1961
GERMANY: 27 September 1961
GREECE: 27 September 1961
HUNGARY: 7 Mei 1996
ICELAND: 5 Juni 1961
IRELAND: 17 Agustus 1961
ITALY: 29 Maret 1962
JAPAN: 28 April 1964

KOREA: 12 Desember 1996
LUXEMBOURG: 7 Desember 1961
MEXICO: 18 May 1994
NETHERLANDS: 13 November 1961
NEW ZEALAND: 29 Mei 1973
NORWAY: 4 July 1961
POLAND: 22 November 1996
PORTUGAL: 4 Agustus 1961
SLOVAK REPUBLIC: 14 Desember 2000
SPAIN: 3 Agustus 1961
SWEDEN: 28 September 1961
SWITZERLAND: 28 September 1961
TURKEY: 2 Agustus 1961
UNITED KINGDOM: 2 Mei 1961
UNITED STATES: 12 April 1961

           Sumber: www.oecd.org

Konvensi OECD mewajibkan negara-negara yang menandatangani konvensi tersebut untuk membuat undang-undang di negara mereka masing-masing yang mengkriminalisasikan tindakan penyuapan terhadap pejabat publik asing. Khusus di Amerika Serikat (AS), ratifikasi terhadap Konvensi OECD baru terjadi pada 31 Juli 1998 atau hampir dua puluh tahun setelah berlakunya FCPA.

Tags: