Bila LAPD Membuka Tabir Carut Marutnya Aturan Pengawasan Advokat
Fokus

Bila LAPD Membuka Tabir Carut Marutnya Aturan Pengawasan Advokat

Los Angeles Police Department, disingkat LAPD. Penikmat film-film Hollywood pastilah familiar dengan sebutan itu? Apalagi bila Anda baru saja menonton Dark Blue, arahan sutradara Ron Shelton itu.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Bila <i>LAPD</i> Membuka Tabir Carut Marutnya Aturan Pengawasan Advokat
Hukumonline
Tetapi ini bukan cerita tentang polisi Los Angeles berseragam biru dengan watak yang beragam, seperti digambarkan di layar lebar. Ini mengenai LAPD yang ada di Indonesia. Persisnya, nama sebuah kantor advokat yang kalau disingkat menjadi LAPD: Lembaga Advokat/Pengacara Dominika.

Pasal 12 versus Pasal 36

Ide mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi itu, kata Maurits, sebenarnya dilandasi pertentangan dua undang-undang. Pasal 12 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan pengawasan terhadap advokat dilakukan oleh organisasi advokat.

Sampai di sini tidak ada masalah. Tetapi cobalah baca pasal 36 UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas penasehat hukum dan notaris. Melalui ketentuan ini, maka yang berwenang mengawasi advokat-–juga notaris—adalah MA dan pemerintah. Bagi Maurits, perbedaan aturan kedua UU itu bukan hanya sekedar pertentangan, melainkan juga terkait kepastian hukum bagi seorang advokat.

Benar bahwa UU No. 14/1985 tadi sudah direvisi melalui UU No. 5/2004. Tetapi pasal 36 yang berisi klausul pengawasan atas advokat tidak berubah sama sekali. Sewaktu pembahasan, pasal 36 itu memang tidak masuk usulan perubahan, ujar anggota DPR M. Akil Mochtar.

Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM Prof. Abdul Gani Abdullah mengakui adanya kesan kedua aturan itu tumpang tindih. Perkembangan hukum di Indonesia dan pembahasannya begitu dinamis, sehingga bukan mustahil ada yang terlewatkan.

Namun demikian, Akil Mochtar enggan menyebut disharmoni pasal 12 dan pasal 36 tadi sebagai akibat kealpaan DPR. Menurut politisi Partai Golkar ini, pengawasan advokat oleh MA dan Pemerintah-–seperti disebut pasal 36--masih dimungkinkan meskipun UU Advokat sudah memberi pengawasan kepada organisasi advokat.

Sebagai pijakan hukum, ia menunjuk ketentuan pasal 34 UU Advokat. Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai advokat masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan perundang-undangan baru. Dijelaskannya, pengawasan oleh MA dan pemerintah juga masih relevan sepanjang wadah tunggal organisasi belum terbentuk.

Advokat versus Notaris

Lantas, sesederhana itukah masalahnya? Ternyata tidak. Hakim konstitusi Prof. HAS Natabaya menguraikan kerumitan peraturan pengawasan advokat terkait revisi paket perundang-undangan kekuasaan kehakiman. Termasuk UU No. 14/1985 yang masih menganut paham bahwa MA dan Pemerintah berwenang mengawasi advokat. Ketika UU ini direvisi, eh, pasal pengenai pengawasan tadi terlewatkan begitu saja.

Padahal, dalam perundang-undangan lain yang masih lingkup kekuasaan kehakiman, aturan serupa sudah dihapus. Tengoklah pasal 54 ayat (1) UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum. Awalnya, pasal itu menyebut bahwa Ketua Pengadilan Negeri (KPN) melakukan pengawasan terhadap penasehat hukum dan notaris di daerah hukumnya.

Tetapi ketika UU No. 2/1986 direvisi, menjadi UU No. 8/2004, kewenangan KPN untuk mengawasi advokat (penasehat hukum) sudah dihilangkan DPR. Yang tersisa hanya notaris. Selengkapnya ketentuan baru pasal 54 UU No.8/2004 berbunyi: Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pekerjaan notaris di daerah hukumnya, dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung, dan Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris.

Celakanya, berdasarkan Undang-Undang Notaris yang baru, pasal 54 tadi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Tak percaya? Simaklah pasal 91 angka (4) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pada saat Undang-Undang ini berlaku.....pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379)...dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Secara yuridis, kini pengawasan atas notaris dilakukan oleh Menteri. Untuk menjalankan tugas itu, sesuai amanat undang-undang, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin sudah membentuk dan mengangkat anggota Majelis Pengawas Notaris. Sembilan orang anggota Majelis Pengawas Notaris yang dilantik Menteri pada awal Januari lalu adalah Hasanuddin, Abdul Gani Abdullah, Syamsudin Manan Sinaga, Hikmahanto Juwana, Zen Umar Purba, Akhyar Salmi, Winanto Wiryomartani, Irawati Marjuki dan Sugeng Santoso.

Patut dicatat bahwa revisi UU MA, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan Umum dan UU Jabatan Notaris dibahas pada waktu yang relatif sama. Dibahas oleh anggota DPR yang sama. Tetapi isinya menunjukkan inkonsistensi alias tidak sinkron satu sama lain. Itu pula yang menimbulkan pertanyaan bagi Natabaya. Jika perundang-undangan lain sudah mencabut mandat pengawasan advokat dari tangan pemerintah dan MA, lantas mengapa pasal 36 UU Mahkamah Agung masih mempertahankan?

Dimana posisi pemerintah?

Abdul Gani mengatakan bahwa pengawasan MA dan pemerintah terhadap advokat tidak bisa dihilangkan begitu saja. Makna pengawasan dalam UU Advokat hanya tindakan teknis dan administratif agar advokat menjalankan profesi sesuai kode etik.

Dalam praktek, ketika seorang advokat membela klien di pengadilan, maka dengan sendirinya hakim sebagai perpanjangan tangan MA melakukan pengawasan. Itu sama saja wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) mengawasi seorang advokat yang berpraktek di persidangan judicial review. Wewenang itu, misalnya, pernah digunakan MK manakala mewajibkan setiap advokat yang berpraktek di sidang MK untuk memakai toga.

Kalau MA berwenang mengawasi di pengadilan, bagaimana dengan pemerintah? Ingat bahwa pasal 36 menyebut  MA dan pemerintah. Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna mempertanyakan apakah masih ada campur tangan pemerintah dalam konteks mengawasi advokat?

Untuk menjawab pertanyaan itu, Abdul Gani menunjuk ketentuan pasal 29 ayat (2) dan (3) UU Advokat. Di sana disebutkan, organisasi advokat harus memiliki buku daftar anggota. Salinan buku daftar anggota tadi disampaikan antara lain kepada Menteri (Menteri Hukum dan HAM, red). Salinan berita acara sumpah advokat pun diserahkan ke Menteri (pasal 4 ayat 3). Bagi Abdul Gani, ketentuan ini menandakan masih adanya keterlibatan pemerintah dalam konteks pengawasan advokat.

Perpindahan Ditjen Badan Peradilan Umum dan Tata Usana Negara (Badilumtun) dari Departemen Hukum dan HAM (Depkum HAM) ke Mahkamah Agung ikut menimbulkan ekses terhadap pengawasan advokat. Sebab, yang menjalankan fungsi pengawasan advokat atas nama Menteri c/q Pemerintah selama ini adalah Dirjen Badilumtun.

Perpindahan Badilumtun ke MA mau tidak mau memindahkan tugas-tugas pengawasan ke Ditjen lain di Depkum & HAM. Besar kemungkinan dipindahkan ke Ditjen Administrasi Hukum Umum. Tetapi bagaimana dengan pengawasan advokat asing, yang cenderung lebih banyak menyangkut tugas-tugas Ditjen Imigrasi?

Faktanya, itulah potret perundang-undangan kita mengenai pengawasan advokat dan notaris. Siapa tahu jalan yang telah dirintis LAPD ini membuka mata kita semua bahwa ada satu dua peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron. Tugas setiap orang mengingatkan baik melalui judicial review seperti yang ditempuh LAPD, maupun lewat legislative review ke DPR. Tinggal mau memilih jalan yang mana...

 

Jangan berasumsi bahwa kantor advokat itu terletak di salah satu gedung pencakar langit di kawasan segi tiga emas Jakarta. Jangan pula mengira klien yang datang pengusaha kelas wahid atau pejabat tinggi yang lagi kesandung kasus hukum. Tidak! Sama sekali tidak. LAPD cuma menyewa kantor kecil di Jalan Stasiun Sawah Besar Jakarta Pusat.

Alih-alih tercatat sebagai salah satu kantor advokat terpilih dalam The Asia Pacific Legal 500, buku panduan mengenai kantor hukum komersial di kawasan Asia Pasifik. Dalam buku kumpulan kantor pengacara terbitan Jakarta Lawyers Club pun, nama LAPD tidak tercantum sama sekali.

Meskipun demikian, justru dari kantor inilah muncul gagasan untuk mempersoalkan pengawasan terhadap advokat. Dominggus Maurits Luitnan, Direktur Eksekutif LAPD, bersama dua rekannya, menggugat ketidakjelasan lembaga yang berwenang mengawasi advokat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Selaku advokat, kami ingin kepastian hukum, kata Dominggus suatu kali.

Namun, upaya mencari kepastian hukum itu justru memunculkan ketidakpastian. Semakin lama Dominggus menunggu kepastian, semakin banyak tabir ketidakpastian yang terungkap. Hingga, dalam sidang Mahkamah Konstitusi, Rabu (2/2) lalu, tabir kesemrawutan aturan mengenai pengawasan advokat semakin terkuak.

Halaman Selanjutnya:
Tags: