Hak Imunitas DPR Bukan Tak Terbatas
Berita

Hak Imunitas DPR Bukan Tak Terbatas

Hak imunitas yang dimiliki oleh anggota DPR bukan tak terbatas. Hak itu dibatasi oleh etika politik DPR.

Oleh:
Nay
Bacaan 2 Menit
Hak Imunitas DPR Bukan Tak Terbatas
Hukumonline

Namun, hak tersebut ada batasnya, yaitu sepanjang untuk menjalankan tugas secara efektif. Dalam Undang-undang No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan kedudukan lembaga MPR, DPR, DPD dan DPRD, selain mengatur soal hak imunitas, dalam pasal 28 I diatur bahwa kewajiban anggota DPR menaati kode etik dan peraturan tata tertib DPR. Sedang pada pasal 28 J disebutkan DPR harus menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga terkait.

"Kalaupun DPR punya sangkaan dalam rangka fungsi pengawasan, disampaikannya tidak boleh dengan cara tuduhan atau hinaan. Kalau DPR punya asumsi jaksa agung sendirian, yang lainnya susah direformasi, tidak perlu dibilang maling. Cukup dikatakan misalnya, anda sendiri ditengah sebuah lembaga yang bobrok sekali untuk diperbarui. Dengan itu saja, saya yakin semua orang Indonesia cenderung sepakat dengan pernyataan itu," ujar Bivitri yang anggota tim pembaruan kejaksaan ini.

Namun, tuduhan maling dinilai Bivitri melanggar etika politik, selain secara legal formal bertentangan dengan isi Undang-undang Nomor 22/2003.

Merupakan tugas dari Badan Kehormatan DPR untuk menyelesaikan pelanggaran etik oleh anggota DPR ini. Kejaksaan, misalnya, bisa mengadukan anggota tersebut ke Badan Kehormatan. Tanpa pengaduan pun, badan kehormatan dapat mempertanyakan dan bahkan memberikan peringatan pada anggota tersebut. Bivitri mencontohkan ketika beberapa waktu yang lalu Badan Kehormatan memberikan peringatan pada anggota DPR yang tidak hadir sidang lebih dari tiga kali.

Contempt of Parliament?

Mengenai pernyataan sebagian anggota Dewan bahwa Jaksa Agung telah melakukan contempt of parliament, Bivitri menyatakan bahwa istilah tersebut tidak dikenal dalam hukum Indonesia. UU No 22/2003 sama sekali tidak menyebutkan istilah tersebut.

Dalam UU yang mengatur susunan dan kedudukan lembaga DPR yang sebelumnya, yaitu UU No 4 Tahun 1999, istilah itu memang ditemukan. Namun konteks pada penggunaan hak subpoena DPR untuk memanggil paksa pejabat atau anggota masyarakat yang tidak mau memberi keterangan di DPR.

Secara universal pun, tidak dikenal konsep contempt of parliament. "Kalau ada yang berlaku buruk dalam parlemen, maka ia dikeluarkan saja dari parlemen, tidak bisa dikriminalkan," demikian Bivitri.

Kalau memang Jaksa Agung dianggap menghina parlemen, maka yang bisa dilakukan adalah Ketua DPR mengirim surat resmi kepada Presiden untuk menegur Jaksa Agung. "Ini akan menjadi teguran dari legislatif kepada eksekutif," ucapnya.

Demikian dikemukan oleh Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Bivitri Susanti kepada hukumonline. Bivitri dimintai tanggapannya sehubungan dengan peristiwa ricuhnya Rapat Kerja Gabungan Komisi II dan Komisi III DPR dengan Jaksa Agung, Kamis (17/2) kemarin.

Dalam Rakergab tersebut, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menegaskan sidang baru bisa dilanjutkan apabila anggota Dewan yang menyebut ustadz di kampung maling meminta maaf.  Menanggapi penegasan Arman itu, Ketua Komisi III Teras Narang membela anggota Dewan dengan mengutip penjelasan pasal 28 huruf (f) Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.   

Dalam penjelasan dikatakan bahwa hak imunitas atau hak kekebalan hukum anggota DPR adalah hak untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan atau pendapat di persidangan Dewan. Tak mau kalah, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh membacakan pasal 29 huruf (j) Undang-Undang yang sama, bahwa anggota DPR wajib menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga terkait. Lantaran kedua belah pihak sama-sama bersikukuh pada pendapatnya, Rakergab tidak bisa dilanjutkan.

Menanggapi insiden itu, Bivitri Susanti mengatakan bahwa  hak imunitas atau hak untuk tidak dituntut secara hukum atas pernyataannya di dalam sidang parlemen, bertujuan untuk melindungi anggota parlemen agar mereka lebih bebas dalam menjalankan tugas pengawasannya. Karena anggota DPR harus meminta keterangan, atau mempertanyakan sebuah asumsi, jika tidak dilindungi oleh hak imunitas, maka mereka tidak akan dapat bekerja secara efektif. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: