Malangnya Nasib Sarjana Hukum
Surat Pembaca

Malangnya Nasib Sarjana Hukum

Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2005 tentang Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (PP No. 2) mewajibkan setiap orang yang memberikan jasa pengajuan dan pengurusan permohonan di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) wajib terdaftar sebagai konsultan HKI di Direktorat Jenderal HKI (Dirjen HKI).

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Malangnya Nasib Sarjana Hukum
Hukumonline

 

Apakah Dirjen HKI dan UI sudah memikirkan akibat yang ditimbulkan dengan adanya jadwal dan biaya pelatihan yang sangat tidak masuk akal? Apakah memang ini yang dinamakan pendidikan diadakan untuk semua orang? Bagaimana dengan orang-orang di luar Jakarta? Lalu bagaimana juga nasib para calon advokat yang sudah juga membayar mahal (Rp. 4,5 juta) untuk kursus advokat? Apakah mereka juga harus dibebani lagi dengan biaya pelatihan ini padahal mereka pun sebenarnya telah atau ingin menangani bidang HKI?

 

Ternyata biaya untuk bergerak di bidang hukum bagi para sarjana hukum strata 1 di Indonesia sangatlah mahal. Apabila setiap para sarjana hukum diwajibkan mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan masalah hukum maka hidup seorang sarjana hukum akan semakin sulit.

 

Kami tidak menolak untuk mengikuti pelatihan HKI namun sudah sewajarnya Dirjen HKI dan UI mengkaji ulang pengadaan pelatihan ini khususnya mengenai jadwal dan biaya pelatihan sehingga pelatihan ini tidak menjadi beban hidup yang sudah semakin sulit.

 

Nama dan identitas ada pada redaksi

Untuk terdaftar sebagai konsultan HKI, orang tersebut harus mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang ditunjuk oleh Dirjen HKI. Pada harian Kompas, 18 Juni 2005, Universitas Indonesia (UI) mengumumkan bahwa UI ditunjuk oleh Dirjen HKI sebagai penyelenggara pelatihan konsultan HKI.

 

Dalam pengumuman tersebut dicantumkan (i) total materi pelatihan sebanyak 225 jam yang dibagi dalam 9 materi, (ii) waktu pelatihan yaitu Senin-Jumat pk. 17.00 – 21.00 WIB atau Sabtu-Minggu pk. 08.00 – 17.30 WIB dan (iii) biaya pendaftaran dan ujian masuk sebesar Rp. 500.000. Kemudian dalam brosur pelatihan yang dikeluarkan oleh UI tercantum biaya pelatihan sebesar Rp. 17 juta.

 

Kami melihat ketentuan dalam PP No. 2 tersebut seakan-akan dimanfaatkan oleh Dirjen HKI dan UI untuk mendapatkan keuntungan dengan membebankan biaya pelatihan yang sangat tinggi tanpa adanya penjelasan mengenai siapa pengajar dan bagaimana kualifikasinya. Penjelasan dalam brosur pelatihan hanya menekankan kepada biaya makan siang, biaya makan malam, sertifikat, snack dan biaya ujian akhir yang sebenarnya tidak terlalu substansial.

 

Jadwal pelatihan ditentukan secara tidak wajar melebihi jadwal kursus advokat yang materi perkuliahannya lebih kompleks dan kuliah magister hukum secara umum (Strata 2). Tentu saja pihak UI dan Dirjen HKI dapat beralasan bahwa dengan jadwal 5 bulan pelatihan Konsultan HKI akan membutuhkan biaya yang sangat besar.

 

Tanpa mengecilkan arti pekerjaan yang berkaitan dengan HKI, pengajuan dan pengurusan HKI pada prakteknya lebih kepada masalah administrasi daripada masalah hukum HKI sendiri. Oleh karena itu, pelatihan ini pun dibuka juga untuk non-sarjana hukum. Sedangkan untuk para sarjana hukum sebenarnya sudah mempelajari dari bangku kuliah mengenai dasar-dasar hukum HKI yang juga ternyata akan diberikan dalam pelatihan tersebut. Apakah bagi para advokat diwajibkan juga untuk mengikuti pelatihan ini mengingat izin advokat merupakan salah satu syarat untuk menyediakan jasa hukum?

Halaman Selanjutnya:
Tags: