Pelatihan Konsultan HKI, Buat Siapa?
Fokus

Pelatihan Konsultan HKI, Buat Siapa?

Mahalnya biaya pelatihan dinilai bertentangan dengan semangat PP No.2/2005 yang hendak memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada sarjana bidang ilmu apapun untuk menjadi konsultan HKI.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Pelatihan Konsultan HKI, Buat Siapa?
Hukumonline

 

Di pihak lain, Direktur Jenderal HKI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Abdul Bari Azed enggan berpolemik dengan Ketua Peradi soal PP No.2/2005. Dia hanya menegaskan bahwa PP tersebut diterbitkan berdasarkan perintah dari sejumlah undang-undang di bidang HKI. Bari juga menegaskan PP No.2/2005 tidak memberikan wewenang kepada seorang konsultan HKI untuk mewakili kliennya jika terjadi sengketa di pengadilan menyangkut produk HKI yang ditanganinya.

 

Seperti halnya Bari, pihak Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) sebagai penyelenggara perdana pelatihan konsultan HKI juga menolak dijadikan sasaran tembak kalangan advokat dan calon advokat. Wakil Dekan I FHUI Adijaya Yusuf mengatakan bahwa lembaganya hanya menjalankan tugas yang diberikan oleh Dirjen HKI untuk menyelenggarakan pelatihan.

 

Ketua Steering Committee Program Pelatihan Konsultan HKI di FHUI tersebut juga menolak anggapan bahwa pekerjaan konsultan HKI semata-mata bersifat administratif. Seorang konsultan HKI, kata Adijaya, juga memberikan konsultasi yang bersifat teknis keilmuan kepada kliennya, seperti melakukan assesment terhadap sesuatu yang akan dipatenkan.

 

Karena itulah, terang Adijaya, tenaga pengajar dalam pelatihan konsultan HKI sebagian besar adalah ahli-ahli yang non sarjana hukum (SH), semisal lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Jumlah peserta pelatihan pun, ujarnya, berimbang antara yang SH dan non SH. Dia menambahkan, rata-rata peserta pelatihan yang datang dari beberapa kantor konsultan paten menyandang double degree.

 

Ruang lingkup HKI

Dari penjelasan Adijaya dapat disimpulkan bahwa tugas seorang konsultan HKI tidak sekadar mendaftarkan permohonan merek ke kantor Ditjen HKI misalnya, seperti penilaian kalangan advokat di atas. Ini boleh jadi benar. Pasalnya, yang luput dari kritik kalangan advokat terhadap konsultan HKI adalah bagaimana kondisi sebelum berlakunya PP No.2/2005. Perlu disampaikan, PP No.2/2005 juga hadir sebagai pengganti PP No.33/1991 tentang Pendaftaran Khusus Konsultan Paten.

 

Dari Pasal 1 PP No.33/1991 kita dapat mengetahui bahwa kualifikasi utama konsultan paten bukanlah yang berijazah SH melainkan yang memiliki ijazah Sarjana Teknik dan Ilmu Pengetahuan Alam. Setelah menyimak pasal tersebut boleh jadi kita tidak heran lagi mengapa PP No.2/2005 juga tidak mensyaratkan bahwa seorang konsultan HKI harus bergelar SH (lihat tabel).

 

Tabel: Perbandingan Persyaratan Konsultan Paten dan Konsultan HKI

PP No.33/1991

PP No.2/2005

Pasal 1

Untuk pertama kali, mereka yang memenuhi ketentuan sebagai di bawah ini dapat mendaftar sebagai Konsultan Paten:

1.              memiliki Ijazah Sarjana Teknik dan Ilmu Pengetahuan Alam atau Sarjana bidang lainnya;

2.              telah melakukan pekerjaan sebagai Konsultan Paten atau mengolah pengajuan permintaan paten untuk kepentingan lembaga Pemerintah atau swasta dan perorangan yang dibuktikan dengan pengalaman pengajuan permintaan paten berikut jumlahnya, sekurang-kurangnya selama dua tahun sebelum tanggal 1 Nopember 1989;

3.              membayar biaya pendaftaran sebesar Rp.500.000, (lima ratus ribu rupiah).

 

Pasal 3

Untuk dapat diangkat menjadi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, pemohon harus memenuhi syarat:

a.              warga negara Republik Indonesia;

b.              bertempat tinggal tetap di wilayah Negara Republik Indonesia;

c.              berijazah sarjana S1;

d.              menguasai bahasa Inggris;

e.              tidak berstatus sebagai pegawai negeri;

f.               lulus pelatihan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual.

 

Penjelasan Pasal 1

Persyaratan ini bersifat kumulatif.

Pendaftaran ini mempunyai sifat khusus karena didasarkan pada persyaratan yang belum sepenuhnya sesuai dengan persyaratan yang seharusnya diterapkan. Diantaranya, tidak dilakukannya ujian oleh Kantor Paten dan penentuan persyaratan mengenai keahlian yang tidak dilakukan secara ketat. Prinsipnya selain bukti ijazah, pendaftaran dikaitkan dengan persyaratan mengenai pengalaman seseorang dalam melakukan pekerjaan sebagai lazimnya konsultan paten. Lamanya pengalaman tersebut ditentukan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun terhitung sebelum tanggal 1 Nopember 1989.

Dari segi praktek, pengalaman itu dapat berupa kegiatan pengajuan permintaan paten termasuk jumlah permintaan yang telah diajukan. Dengan memperhatikan persyaratan mengenai lamanya pengalaman serta jumlah permintaan paten yang telah diajukan, baik di Indonesia maupun di luar negeri, setidak-tidaknya kemampuan Konsultan Paten yang terdaftar menurut dan berdasar Peraturan Pemerintah ini cukup dapat diandalkan.

Penjelasan Pasal 3

Huruf c

Persyaratan Berijazah Sarjana S1 dijadikan syarat untuk diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual dikarenakan luasnya ruang lingkup perlindungan bidang Hak Kekayaan Intelektual. Selain daripada itu, hal ini terkait juga dengan upaya untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada sarjana bidang ilmu apapun untuk menjadi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "pegawai negeri" adalah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yaitu meliputi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pegawai negeri tidak dapat merangkap jabatan sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual dikarenakan adanya kekhawatiran akan timbul konflik kepentingan nantinya. Di samping itu, ketentuan ini sejalan dengan peraturan lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Huruf f

Persyaratan lulus pelatihan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual termasuk juga lulus ujian seleksi. Ujian seleksi dimaksudkan untuk menjaring para calon Konsultan Hak Kekayaan Intelektual yang benar-benar telah memenuhi syarat untuk mengikuti pelatihan, baik dari segi kemampuan maupun jumlah peserta pelatihan yang nantinya disesuaikan dengan kapasitas pelatihan yang ada.

Sumber: Pusat Data Hukumonline

 

Pasca dikeluarkannya PP No.2/2005, konsultan paten pun ditiadakan. Namun, ketentuan peralihan di dalam PP tersebut menyebutkan bahwa konsultan paten yang sudah terdaftar berdasarkan PP No.33/1991 mendaftar ulang sebagai konsultan HKI pada Ditjen HKI. Menurut data terakhir dari Ditjen HKI, jumlah konsultan paten yang masih aktif jumlahnya tidak sampai 40 orang dan tidak semuanya adalah advokat.

 

Ruang lingkup HKI memang luas dan tidak sebatas pada merek dan paten saja. Sejauh ini sudah ada enam perundang-undangan di bidang HKI yakni UU Rahasia Dagang (UU No.30/2000), UU Desain Industri (UU No.31/2000), UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (UU No.32/2000), UU Paten (UU No.14/2001), UU Merek (UU No.15/2001), dan UU Hak Cipta (UU No.19/2002).

 

Sudah tentu tiap UU tersebut tidak hanya mengatur hal-hal menyangkut bagaimana pendaftaran HKI atau penyelesaian sengketanya, tapi juga banyak hal lain yang bersifat teknis. Tanpa menyinggung soal biayanya, barangkali di sinilah letak pentingnya sebuah pelatihan konsultan HKI.

 

Kelak, yang dapat diangkat sebagai konsultan HKI oleh Menkum dan HAM hanyalah mereka yang telah lulus dari pelatihan seperti yang diselenggarakan FHUI. Inilah yang diprotes kalangan advokat. Keikutsertaan seseorang dalam pelatihan dijadikan syarat dapat-tidaknya seseorang diangkat menjadi konsultan HKI. Kata Otto, boleh saja diselenggarakan pelatihan dengan biaya semahal apapun, asal tidak dijadikan syarat pengangkatan.

 

Konsistensi Peradi diuji

Beberapa kalangan membaca kritik kalangan advokat terhadap PP No.2/2005 seperti yang dikemukakan antara lain oleh Otto secara terbalik. Penolakan terhadap PP tersebut dipandang bersumber dari tingginya biaya pendidikan konsultan HKI. Anggapan seperti ini wajar saja karena protes dari kalangan advokat, khususnya Peradi, baru muncul hampir enam bulan pasca PP tersebut diundangkan. Persisnya, protes merebak setelah munculnya iklan tentang pelatihan konsultan HKI di harian Kompas pada 18 Juni 2005 yang dipasang pihak FHUI.

 

Lagipula, jika protes Peradi murni didasarkan an sich pada argumen bahwa PP No.2/2005 membatasi tugas advokat dalam konteks pemberi jasa hukum di luar pengadilan, maka hal pertama yang dapat mereka persoalkan adalah mengapa tidak semua advokat bisa berpraktek di pasar modal.

 

Perlu diketahui bahwa seorang advokat hanya dapat berpraktek di pasar modal jika yang bersangkutan telah mengantungi izin dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Prosesnya pun didahului dengan pelatihan yang hukumnya wajib. Hanya saja biaya pelatihan pasar modal mungkin relatif terjangkau buat kocek kebanyakan advokat (sekitar Rp5 juta).

 

Atau boleh jadi persoalan masih ditolerirnya konsultan hukum pasar modal seperti di atas karena merupakan bagian dari kesepakatan antara advokat litigasi dan advokat non-litigasi dahulu. Padahal, kalau dicermati, pembatasan untuk dapat berpraktek di pasar modal oleh Bapepam tidak ada bedanya dengan pembatasan untuk berpraktek di bidang HKI oleh Ditjen HKI atau juga seperti yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Pajak.

 

Pada titik ini, penting untuk mengetahui bagaimana UU Advokat mengatur soal spesialisasi jasa hukum yang dapat diberikan oleh advokat. Penting untuk dicatat bahwa Pasal 3 ayat (2) UU Advokat menyatakan bahwa advokat dapat menjalankan prakteknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Silahkan anda menafsirkan sendiri bunyi pasal tersebut.

 

Satu hal yang pasti bahwa persyaratan terkait konsultan HKI maupun konsultan hukum pasar modal didasarkan pada peraturan perundang-undangan masing-masing yaitu berbagai UU di bidang HKI dan UU No.8/1995 tentang Pasar Modal. Beda halnya dengan kuasa hukum Pengadilan Pajak yang hanya berlandaskan Keputusan Menkeu No. 450/Kmk.01/2003. Tetapi untuk kasus terakhir, bukankah banyak hal terkait Pengadilan Pajak (UU No.14/2002) adalah serangkaian anomali?

 

Apapun, niat Peradi yang akan meminta agar Menkum dan HAM Hamid Awaluddin meninjau kembali substansi PP No.2/2005 khususnya yang menyangkut persyaratan konsultan HKI patut dihargai. Meski banyak pihak memandang rencana tersebut agak terlambat (misalnya, karena para peserta pelatihan sudah terlanjur menyetor biaya pelatihan dan lulus seleksi). Karena, biaya pelatihan yang sangat tinggi sangat kontras dengan semangat PP No.2/2005 yang hendak memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada sarjana bidang ilmu apapun untuk menjadi Konsultan HKI.

Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan boleh saja berpendapat bahwa konsultan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah termasuk spesialisasi jasa hukum yang diberikan oleh profesi advokat. Sementara, dalam sejarahnya masalah HKI bukanlah bidang yang dimonopoli oleh sarjana hukum melainkan juga sarjana dari disiplin ilmu-ilmu eksakta.

 

Seperti halnya Otto, sebagian besar kalangan advokat menilai keberadaan Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2005 tentang Konsultan HKI sebagai ganjalan dalam menjalankan profesi mereka. Memang, titik berat dari berbagai protes kalangan advokat terkait PP tersebut tidak lepas dari besarnya biaya pelatihan konsultan HKI yang mencapai Rp17,5 juta.

 

Selain itu, kalangan advokat juga memprotes PP No.2/2005 lantaran dianggap bertentangan dengan UU No.18/2003 tentang Advokat. Otto mengatakan pekerjaan seorang konsultan HKI merupakan bagian dari tugas dan wewenang profesi advokat dalam konteks memberikan jasa hukum di luar pengadilan.

 

Apalagi, Otto berpandangan tugas seorang konsultan HKI tidak lebih dari mengurus dokumen yang bersifar administratif. Penilaian senada juga dikemukakan oleh sekelompok individu yang menamakan diri mereka Forum Komunikasi Calon Advokat (FKCA). FKCA menyebut bahwa faktanya pekerjaan konsultan HKI dapat dilakukan oleh orang yang tidak berijazah strata 1 (S1).

Halaman Selanjutnya:
Tags: