MK-KY Sepakat Gunakan Bangalore Principles Untuk Pedoman Kode Etik
Utama

MK-KY Sepakat Gunakan Bangalore Principles Untuk Pedoman Kode Etik

Proses penyusunan Kode Etik hakim Mahkamah Konstitusi maju selangkah lagi. Kali ini disepakati bahwa kode etik akan berpedoman pada Bangalore Principles of Judicial Conduct.

Oleh:
Zae/Mys/CR-2
Bacaan 2 Menit
MK-KY Sepakat Gunakan <i>Bangalore Principles</i> Untuk Pedoman Kode Etik
Hukumonline

 

Selain soal pedoman, dalam pertemuan itu juga disepakati mengenai kewenangan penyusunan kode etik hakim. Pasalnya selain MK, Mahkamah Agung (MA) juga berencana menyusun kode etik bagi para hakimnya.

 

Menurut Jimly, kaidah-kaidah materil dalam kode etik akan dirumuskan terpisah oleh masing-masing lembaga dan hanya akan mengikat lembaga tersebut. Namun untuk menyusun kaidah formil kode etik akan diadakan pertemuan segitiga antara KY, MK, dan MA.

 

Sebelumnya memang ada usulan untuk membuat satu draf kode etik hakim yang akan berlaku bagi hakim MK dan MA dalam bentuk surat keputusan bersama (SKB) antara KY, MK, dan MA. Namun ide ini dikesampingkan karena undang-undang masing-masing memberi kewenangan pada tiap lembaga itu untuk menyusun kode etiknya sendiri-sendiri.

 

Pada kesempatan itu MK juga mengimbau agar MA juga menggunakan prinsip Bangalore dalam menyusun kode etiknya. "Saya lihat rancangan kode etik yang dibuat MA masih terlalu panjang serta tidak menekankan pada prinsip independensi dan imparsialitas," ujar Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan.

 

Satu hal lagi yang ditekankan oleh MK adalah kemungkinan kode etik ini bisa diselesaikan segera. "Kalau bisa pada 17 Agustus nanti bisa selesai. Selain menyambut dua tahun MK, juga agar momen yang baik ini tidak lewat begitu saja," pesan Jimly.

 

Ketua sementara KY, Irawady Joenoes, menyambut positif pertemuan yang digelar oleh MK tersebut. "Bahkan seharusnya Komisi Yudisial yang mengambil inisiatif pertemuan ini. Namun justru mereka (MK, red) yang membikin ini segera," ujarnya saat ditemui usai pertemuan itu.

 

Irawady juga menyayangkan tidak ada perwakilan dari MA yang datang dalam pertemuan tersebut. Meski demikian, dalam waktu dekat akan digelar lagi pertemuan oleh KY yang akan mengundang baik perwakilan dari MK maupun dari MA. 

 

Sudah ada

Keinginan menyusun kode etik dan kode perilaku hakim sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Selama ini hakim sudah memiliki kode etik, walaupun masih tersebar. Mahkamah Konstitusi, misalnya sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 02 Tahun 2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi (terlampir). Mahkamah Agung pun kini sedang menyusun kode etik tersendiri.

 

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Rifqi Sjarief Assegaf berpendapat bahwa sebaiknya kode etik dan kode perilaku hakim diatur lewat dasar hukum yang kuat semisal undang-undang. Misalnya diatur dalam UU Komisi Yudisial atau UU Kekuasaan Kehakiman. Tetapi kesempatan untuk itu sudah terlambat. Agar tetap memiliki landasan hukum yang kuat, Rifqi menyarankan agar dibuat dalam bentuk Surat Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

 

Sesuai pasal 22 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004, tugas pengawasan  Komisi Yudisial antara lain dilakukan dengan cara memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim.

Kesepakatan tersebut terwujud dalam pertemuan yang digelar antara para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dengan anggota Komisi Yudisial (KY), di Gedung MK Jakarta (12/8). Kedua lembaga negara tersebut bertemu dalam rangka rencana penyusunan kode etik hakim MK.

 

"Dalam pertemuan ini telah disepakati bahwa penyusunan kode etik hakim MK akan berpedoman pada Bangalore Principles," tegas Ketua MK, Jimly Asshiddiqie. Meski demikian rumusannya akan disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, sehingga tidak semua nilai dalam prinsip tersebut diadopsi secara langsung.

 

Bangalore Principles of Judicial Conduct adalah prinsip-prinsip yang disusun oleh para hakim dari beberapa negara dunia sebagai standar kode etik hakim. Prinsip-prinsip ini didisain untuk memberikan panduan untuk menyusun kode etik para hakim di seluruh dunia. Nama Bangalore merujuk pada sebuah kota di India tempat prinsip-prinsip ini dirumuskan.

 

Dalam prinsip-pronsip Bangalore itu disebutkan ada enam prinsip yang seharusnya ada pada hakim. Yaitu independensi, ketidakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan, kesetaraan, serta kecakapan dan kebersamaan (Dokumen Bangalore Principles bisa dilihat dalam lampiran).

Halaman Selanjutnya:
Tags: