Aturan Contempt of Court Dibuat Demi Kewibawaan Pengadilan
Berita

Aturan Contempt of Court Dibuat Demi Kewibawaan Pengadilan

Kriminalisasi tindakan-tindakan dalam rangka menegakkan kewibawaan pengadilan penting. Tetapi menegakkan kewibawaan dari dalam pengadilan tidak kalah pentingnya.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Aturan <i>Contempt of Court</i> Dibuat Demi Kewibawaan Pengadilan
Hukumonline

 

Itu sebabnya, Artidjo menganggap bahwa kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang melecehkan martabat hakim dan pengadilan tetap dibutuhkan. Mengadakan kriminalisasi terhadap tindakan-tindakan dalam rangka menegakkan kewibawaan pengadilan penting, paparnya.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, Puslitbang Mahkamah Agung sudah pernah mengadakan penelitian mengenai contempt of court. Bahkan hasilnya pun sudah dibukukan. Tim penyusun RUU KUHP pun akhirnya memasukkan masalah ini ke dalam bab tersendiri. Namun di mata advokat Luhut Pangaribuan, masuknya aturan-aturan contempt of court ke dalam RUU KUHP lebih sebagai ‘jawaban' pembuat undang-undang terhadap mereka yang selama ini sering mengkritik aparat hukum terutama hakim.

Demikian pandangan yang disampaikan hakim agung Artidjo Alkostar dalam Focus Group Discussion (FGD) RUU KUHP yang diselenggarakan Elsam di Jakarta Rabu (07/09). Pencantuman aturan-aturan tentang contempt of court dalam RUU KUHP tetap menjadi penting. Menurut Artidjo, kewibawaan yang berasal dari dalam pengadilan (internal) berpengaruh pada kualitas putusan yang dikeluarkan hakim. Untuk meningkatkan kewibawaan internal pengadilan, perlu pengelolaan intellectual capital, sehingga mereka mampu menghasilkan putusan yang berkualitas.

 

Dalam FGD tersebut muncul perdebatan apakah contempt of court dibuat dalam aturan tersendiri atau tidak. Sebelumnya, dalam sebuah seminar di Jakarta (17/03) suara yang menginginkan agar masalah ini diatur dalam undang-undang tersendiri pernah dilontarkan Ansyahrul, Asisten Bidang Pengawasan dan Pembinaan Mahkamah Agung.

 

Dalam RUU KUHP, contempt of court diatur dalam bab tersendiri di bawah judul Tindak Pidana Terhadap Penyelenggaraan Peradilan (pasal 325-335). Bab ini antara lain berisi ketentuan pidana tentang penyesatan proses peradilan dan menghalang-halangi proses peradilan. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, tindak pidana terhadap penyelengaraan peradilan bukan hanya berupa penghinaan terhadap hakim. Orang yang mempublikasikan ‘segala sesuatu yang dapat menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim' pun bisa dipidana.

 

Selama ini, aturan sejenis tersebar dalam beberapa pasal di KUHP. Menurut Artidjo, setidaknya ada 15 pasal dalam KUHP yang dapat dikualifisir sebagai contempt of court. Misalnya pasal 224 (tidak memenuhi panggilan pengadilan sebagai saksi), pasal 217 (menimbulkan kegaduhan di ruang sidang) dan pasal 207 (menghina badan umum).

 

Pelecehan terhadap pengadilan, baik tindakan langsung maupun tidak, sangat mungkin terjadi. Misalnya pada 27 Mei 2001, hakim di PN Medan di caci maki, dikejar dan diludahi pihak yang berperkara. Bahkan di Sumenep, pernah ada hakim yang dikejar massa hingga kecebur ke sungai dan digebuki hanya karena putusan sang hakim dianggap tidak sesuai nilai-nilai adat setempat. Baru-baru ini, seorang pengacara publik LBH Jakarta pun dilaporkan hakim PN Jakarta Utara ke Peradi antara lain karena dianggap melakukan contempt of court.

Tags: