Posisi Dilematis MA dalam Sengketa Pilkada Depok
Fokus

Posisi Dilematis MA dalam Sengketa Pilkada Depok

Jika permohonan KPUD Depok diterima, ini bisa menjadi preseden bagi kasus-kasus pilkada lain. Calon kepala daerah yang kalah berlomba-lomba mengajukan PK.

Oleh:
Mys/Zae
Bacaan 2 Menit
Posisi Dilematis MA dalam Sengketa Pilkada Depok
Hukumonline

 

Arena pertarungan calon kepala daerah Kotamadya Depok kini berpindah ke Jalan Medan Merdeka Utara Nomor 9 Jakarta Pusat, persisnya di gedung Mahkamah Agung (MA). Pelaksanaan pilkada Depok yang aman, rupanya harus berujung ke meja hijau. Pengadilan Tinggi Jawa Barat, dalam putusan yang dibacakan 4 Agustus lalu,  menganulir kemenangan NMI-YW. Putusan itulah yang kemudian menggelinding bak bola salju.

 

Final dan mengikat

KPUD Depok menolak. Demikian pula PKS, partai yang mengusung pasangan NMI-YW. Lembaga pemerhati pilkada semisal Cetro dan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional mengecam putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Cetro menyebut putusan itu memang final, tetapi tidak mengikat.

 

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyebut bahwa putusan Mahkamah Agung mengenai sengketa pilkada bersifat final dan mengikat. Sedangkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) hanya disebut final. Tetapi dalam peraturan organik, sifat putusan PT dipertegas menjadi final dan mengikat. Itu antara lain disebut dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.

 

Perdebatan akhirnya berpusar pada makna putusan yang bersifat final dan mengikat (final and binding). Albert M. Sagala, kuasa hukum pasangan BK-SA menganggap tidak ada upaya hukum lagi yang bisa dilakukan jika suatu putusan disebut final dan mengikat. PK pun tidak bisa, tegas Albert kepada hukumonline.

 

Sifat final dan mengikat banyak disinggung terkait putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Di sini, final dan mengikat mengandung arti tidak ada upaya hukum lagi yang bisa dilakukan. Tidak ada banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 mengartikan putusan final sebagai putusan yang langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

 

Tetapi ada juga yang menganalogikan final dan mengikat itu seperti layaknya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam perkara umum, meskipun sudah ada putusan inkracht van bewijsde, para pihak masih bisa mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu lewat peninjauan kembali (PK).

 

Itulah kemudian yang ditempuh KPUD Depok. Hamida S. Lastoto, kuasa hukum KPUD, menyerahkan permohonan PK itu ke Mahkamah Agung, akhir Agustus lalu (29/08). Hamida menganggap langkah hukum yang ditempuh kliennya sudah benar baik secara prosedural, hukum maupun menurut mekanisme UU Pemerintahan Daerah.

 

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, menganggap langkah KPUD Depok mengajukan PK itu sudah tepat. Tidak ada larangan mengajukan PK, kata Topo, memberi alasan. Akademisi Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana bahkan menulis kolom kritis di harian Kompas (09/08), berjudul ‘Putusan Pilkada Depok Batal Demi Keadilan'.

 

Respons Mahkamah Agung

Petinggi Mahkamah Agung (MA) tampaknya tidak menduga reaksi masyarakat yang sedemikian besar atas sengketa pilkada Depok. Demonstrasi silih berganti bukan hanya di Depok, tetapi juga di Jakarta dan daerah-daerah lain. Para pengamat menuliskan pandangan-pandangan kritis mereka terhadap putusan PT Jawa Barat. Sebagai badan peradilan tertinggi, yang mengawasi pengadilan di bawahnya, MA diminta segera turun tangan.

 

Sebagai partai yang kepentingannya dirugikan putusan PT Jabar, PKS memberi kuasa kepada advokat senior Adnan Buyung Nasution. Tidak perlu menunggu lama, Buyung bersama Nurmahmudi mendatangi Mahkamah Agung, juga Departemen Dalam Negeri dan Komisi Yudisial. Dalam pertemuan itulah, Prof Bagir Manan mengatakan bahwa MA merasa terkunci dalam kasus pilkada Depok. Sebab, pasal 106 UU Pemerintahan Daerah sudah tegas menyebut putusan sengketa pilkada bersifat final dan mengikat. Berarti, tidak ada upaya hukum lagi?

 

Tunggu dulu. Pada 12 Agustus lalu, Bagir meralat ucapannya tentang MA ‘merasa terkunci'. Ia balik meminta semua pihak untuk memberi kesempatan untuk mencari solusi atas kasus pilkada Depok. Termasuk memberi waktu kepada tim panel yang sudah dibentuk MA. Bagir pun meminta Depdagri tidak buru-buru menarik kesimpulan dari proses hukum yang sedang berjalan. Ucapan lebih tegas datang dari Prof. Paulus Efendi Lotulung. Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara yang juga ketua tim panel itu mengatakan BK-SA belum boleh dilantik hingga nasib permohonan PK diputuskan. Sikap ini menimbulkan pertanyaan: bukankah PK seharusnya tidak menghambat upaya eksekusi putusan PT Jabar?   

 

 

Oh, rupanya MA menemukan celah hukum yang memungkinkan permohonan PK itu diterima walaupun harus dicatat dalam register khusus. Adalah Gunanto Suryono, Ketua Muda MA Bidang Pengawasan, yang menyampaikan registrasi PK itu kepada wartawan, usai shalat Jum'at (09/09) silam. Keputusan meregister permohonan PK diambil setelah MA menggelar rapat pimpinan. Alasannya, pengadilan tidak boleh menolak perkara, Gunanto memberi alasan.  

 

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman memang berkata demikian. Pasal 16 menyebutkan Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

 

Sayup-sayup terdengar, keputusan MA untuk menerima registrasi permohonan PK terkait dengan temuan Tim Panel. Setelah melakukan pemeriksaan, Tim Panel yang diketuai Paulus Efendi Lotulung itu kabarnya berkesimpulan: majelis hakim PT Jabar pemutus sengketa pilkada Depok telah melakukan unprofesional conduct.  Lepas dari kesimpulan Tim Panel, faktanya permohonan PK telah diterima (untuk diregistrasi).

 

Dikabarkan pula bahwa Tim Panel akan sekaligus menjadi majelis yang memproses permohonan PK. Kalau informasi ini benar, bukankah Tim Panel sudah terlebih dahulu mempunyai asumsi bahwa majelis hakim PT Jabar telah ‘bersalah'? Apakah kesalahan berupa unprofesional conduct itu bisa mengubah substansi putusan PT Jabar? Tentu, hanya majelis PK yang akan memberi jawaban.

 

Secara kasar, ada dua kemungkinan putusan: menolak atau mengabulkan permohonan PK. Jika menolak permohonan KPUD besar kemungkinan pelantikan BK-SA tinggal menunggu waktu. Jika permohonan dikabulkan dan putusan PT Jabar dibatalkan, apakah NMI-YW merebut kembali kemenangan mereka? Belum tentu, kata seorang sumber.

 

Putusan MA dalam kasus jabatan Gubernur Lampung bisa dijadikan perbandingan. Dalam putusannya, MA mengabulkan gugatan M. Alzier Dianis Thabrani sekaligus menyatakan dua SK Menteri Dalam Negeri cacat hukum. Tetapi MA tidak memerintahkan Alzier kembali ke kursi gubernur karena Pemerintah sudah mengambil kebijakan mengangkat pejabat baru. Ditarik ke kasus Depok, bisa saja MA mengabulkan permohonan PK, tetapi karena putusan PT Jabar bersifat final dan mengikat maka yang dilantik atas nama kepastian hukum adalah BK-SA.

 

Jika permohonan PK ini dikabulkan, sangat mungkin daerah-daerah lain akan menyusul. Calon kepala daerah yang kalah berlomba-lomba mengajukan PK ke Mahkamah Agung.

 

Ataukah...akan membuat putusan alternatif lain? Wallohu a'lam. Yang jelas semua pihak menunggu sikap Mahkamah Agung. Seperti digambarkan sendiri dalam pengantar Varia Peradilan terbaru, sebuah isyarat dari majalah terbitan Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi): Akankah permohonan PK tersebut benar-benar dianjurkan? Bila dianjurkan, bagaimana sikap Mahkamah Agung? Wait and see pada Varia Peradilan yang akan datang. Semoga.

Masa pengabdian Nana Juwana sebagai hakim sudah puluhan tahun. Dua tahun lagi, Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat ini mungkin akan pensiun. Sayang, putusan yang dia ambil dalam perkara sengketa pilkada Depok bersama empat anggota majelis seolah menjadi noktah dalam perjalanan karirnya.

 

Noktah itu seperti makin terlihat ketika Komisi Yudisial mengeluarkan rekomendasi, Kamis (15/09). Komisi ini mengusulkan kepada Mahkamah Agung agar Nana Juwana diberhentikan sementara selama satu tahun. Empat anggota majelis lain –Hadi Lelana, Sopyan Royan, Rata Kembaren dan Ginalita Silitonga—direkomendasikan untuk dikenakan sanksi teguran tertulis. Kami akan mengontrol kelanjutan dari rekomendasi itu, kata Ketua Komisi Yudisial, Muh. Busyro Muqoddas.

 

Rekomendasi sanksi bermuara pada temuan Komisi Yudisial, bahwa majelis hakim pimpinan Nana Juwana telah keliru dalam memeriksa dan mengadili sengketa pilkada Depok. Komisi menyimpulkan, majelis hakim telah melakukan tindakan yang tidak profesional dan melampaui wewenang baik secara formil dan materiil.

 

Rekomendasi Komisi Yudisial tadi bukanlah babak akhir sengketa pilkada Depok. Aroma sengketa sudah berlangsung sejak Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) mengumumkan hasil pemilihan pada 6 Juli lalu, yang memenangkan pasangan Nurmahmudi Ismail – Yuyun Wirasaputra. Spanduk-spanduk yang memperlihatkan pertarungan antara pendukung Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad (BK-SA) dengan kubu Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra (NMI-YW) tidak terlihat lagi di  pertigaan Jalan Tole Iskandar, Depok.

Tags: