Oleh-Oleh Rakernas MA 2005: Penyatuan Atap Masih Setengah Matang
Fokus

Oleh-Oleh Rakernas MA 2005: Penyatuan Atap Masih Setengah Matang

Hotel Sahid Kuta, 18-22 September 2005 lalu. Selama empat hari di sana, Mahkamah Agung menggelar perhelatan akbar tahunan, Rapat Kerja Nasional. Sekitar 400 hakim dan pimpinan pengadilan tumpah ruah ke tempat melancong nomor satu di Indonesia, Bali.

Oleh:
CR-3
Bacaan 2 Menit
Oleh-Oleh Rakernas MA 2005: Penyatuan Atap Masih Setengah Matang
Hukumonline

 

Tap MPR tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan lahirnya UU No. 35/1999 tentang Perubahan atas UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. UU No. 35/1999 kembali menegaskan perubahan sistem pengelolaan lembaga peradilan yang tadinya menggunakan sistem dua atap menjadi satu atap.

 

Secara definitif, UU Kekuasaan Kehakiman menetapkan teknis serta jangka waktu pengalihan pengelolaan lembaga peradilan tersebut. Pengalihan dilaksanakan secara bertahap dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku.

 

Penetapan tenggat waktu pengalihan kembali ditegaskan jauh lebih definitif oleh UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 42 menetapkan bahwa pengalihan pengelolaan lembaga peradilan umum dan peradilan tata usaha negara (PTUN) harus selesai dilaksanakan paling lambat 31 Maret 2004. Sementara, untuk peradilan agama dan peradilan militer harus selesai dilaksanakan paling lambat 30 Juni 2004.

 

Pengelolaan pengadilan agama secara resmi diserahkan oleh Departemen Agama ke MA pada 30 Juni 2004 lalu atau bertepatan dengan batas waktu yang ditetapkan oleh UU No. 4/2004. Serah terima tersebut dilakukan secara simbolis oleh Said Agil Husein Al-Munawar yang ketika itu masih menjabat Menteri Agama—kini terdakwa korupsi Dana Abadi Umat--dengan menyerahkan Direktorat Pembinaan Peradilan Agama kepada MA. Penyerahan pengelolaan pengadilan agama selanjutnya diikuti dengan ditandatanganinya berita acara pengalihan oleh Yusril Ihza Mahendra yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman.  

 

Sementara itu, pengalihan pengelolaan pengadilan militer melampui batas waktu yang ditetapkan oleh UU No. 4/2004, yakni 30 Juni 2004. Pengalihan tersebut baru dapat terealisir 1 September 2004 yang ditandai dengan penyerahan secara resmi oleh Panglima TNI Jend Endriartono Sutarto kepada Ketua MA.

 

Tindak lanjut dari sistem satu atap kemudian membawa konsekuensi lahirnya UU baru yang mengatur secara khusus masing-masing lingkungan peradilan. UU tersebut antara lain UU No. 9/2004 tentang Perubahan atas UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta UU No. 8/2004 tentang Perubahan atas UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum. Sementara, terhadap UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer dan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama belum dilakukan perubahan. Namun begitu, kedua UU tersebut sudah masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional 2005.

 

Terlepas dari masuk akal atau tidaknya tenggat waktu yang ditetapkan, MA jelas  ‘gagal' memenuhi tenggat waktu tersebut. Buktinya, realisasi pengalihan empat lingkungan peradilan yang tidak seluruhnya terlaksana tepat waktu. Tidak hanya itu, penyerahan aset pun belum sepenuhnya terlaksana. Dalam pidato pembukaan Rakernas, Bagir juga mengeluhkan tentang belum diserahkannya gedung-gedung, termasuk ex gedung pengadilan.

 

Memasuki tahun keenam sejak penyatuan atap dicanangkan oleh Tap MPR No. X/MPR/1998, MA praktis belum berhasil merampungkan sistem pengelolaan lembaga peradilan satu atap yang nantinya dijadikan pedoman pengelolaan pengadilan di bawah sistem satu atap. Sistem pengelolaan peradilan satu atap antara lain dituangkan dalam bentuk produk peraturan internal MA. Misalnya SK Ketua Mahkamah Agung (KMA) tentang struktur organisasi, pengadilan khusus, pembinaan karir hakim, sistem penilaian kinerja hakim, mekanisme dan tanggung jawab pengawasan dan kewajiban pelaporan kekayaan.  

 

Upaya dan dukungan

Keseriusan MA dalam menata kembali organisasi lembaga peradilan sebagai konsekuensi penyatuan atap, mungkin patut diacungi jempol. Bisa disebut, MA selangkah lebih maju dalam hal reformasi kelembagaan dibandingkan dengan ‘mitra' penegakkan hukum lainnya, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Ini bisa terjadi karena besarnya perhatian berbagai pihak, baik itu dalam negeri maupun luar negeri, terhadap reformasi peradilan.

 

Berkat dukungan tadi, banyak studi yang telah dilakukan oleh MA. Diawali program studi pembaruan MA yang terselenggara berkat kerjasama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan berhasil ‘menelorkan' sebuah cetak biru (blueprint) yang ditujukan sebagai arahan ataupun pedoman bagi MA dalam mereformasi diri.

 

Studi berikutnya meliputi  (i) strategi pembaruan sistem managemen SDM Hakim –mulai dari sistem rekrutmen, mutasi, promosi dan mekanisme penilaian kinerja hakim pengadilan tingkat bawah; (ii) strategi pembaruan sistem pendidikan dan pelatihan bagi calon hakim dan hakim; (iii) strategi pembaruan sistem pengelolaan keuangan pengadilan. Disamping Studi Pembaruan MA serta studi turunannya, MA juga mengadakan penelitian dalam rangka menyusun blueprint pembentukan pengadilan niaga dan pengadilan tindak pidana korupsi.

 

Pasca studi-studi pembaruan tadi, MA membentuk Tim Pembaruan Peradilan. Tim ini  yang bertugas memfasilitasi, mengakselerasi serta mendorong program-program pembaruan peradilan. Diketuai Ketua Muda MA bidang Peradilan Tata Usaha Negara Paulus Effendi Lotulung,. Tim ini melibatkan multi elemen, mulai dari akademisi, LSM, perwakilan lembaga donor, dan praktisi hukum.

 

Kendala

Dalam Rakernas 2005 kemarin, terungkap bahwa ada beberapa kendala yang menyebabkan proses penyatuan atap menjadi ‘mandeg'.

 

Pertama, tidak mencukupinya anggaran yang dialokasikan negara untuk dunia peradilan. Bagir dalam berbagai kesempatan berulang kali menyampaikan keluhannya mengenai kekurangan anggaran. Keluhan yang sama juga diutarakan dalam pembukaan Rakernas 2005 yang lalu. Dalam pidato pembukaannya, Bagir mengeluhkan tentang rendahnya anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk lembaga yang dipimpinnya, yakni Rp 1,4 triliun. Dia, diantaranya, membandingkan dengan anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk Kepolisian, yakni sebesar Rp 13 triliun.

 

Hitung-hitungannya, MA memang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit pascapenyatuan atap. Pasalnya, MA yang sebelumnya hanya mengurusi administrasi lembaganya sendiri, kini diharuskan untuk mengurusi ratusan gedung pengadilan serta ribuan hakim dan staf pengadilan di seluruh Indonesia.

 

Terlepas dari minimnya anggaran, MA sebenarnya ‘dimanjakan' oleh bantuan dana dari luar negeri. Studi-studi yang diselenggarakan dalam rangka penyatuan atap praktis seluruhnya dibiayai oleh lembaga donor, terutama lembaga donor asing seperti the Asia Foundation, AUSAID, USAID, dan IMF. Dua bulan lalu (26/7), misalnya, MA baru saja mendapat bantuan dana sebesar AS$20 Juta dari Pemerintah Amerika Serikat.

 

Keberadaan dana-dana bantuan tersebut pun diakui oleh Bagir telah sangat membantu MA dalam mewujudkan penyatuan atap. Dalam pidatonya saat Rakernas 2005 yang lalu, Bagir mengungkapkan apresiasinya terhadap komitmen lembaga-lembaga donor asing dalam reformasi peradilan. Salah satu bentuk komitmen yang ia maksud adalah dalam hal memberikan kesempatan bagi para hakim untuk ke luar negeri baik itu untuk melanjutkan jenjang pendidikan maupun hanya studi banding. Dalam 2 (dua) tahun belakangan ini, sekitar 80 orang dari lingkungan peradilan yang diberangkatkan ke luar negeri.

 

Kendala yang kedua adalah rendahnya kapasitas dan kesejahteraan aparat pengadilan. Penyatuan atap yang membawa konsekuensi pelimpahan tanggung jawab yang begitu besar memang memerlukan manajemen yang profesional. MA sebagai penanggungjawab utama, tentunya perlu dilengkapi dengan individu yang profesional dan memiliki kemampuan manajemen yang cukup.

 

Seorang Ketua MA tentunya tidak bisa dibebani tanggung jawab sebesar ini seorang diri. Pejabat yang secara khusus menangani aspek administratif pengelolaan lembaga peradilan mutlak diperlukan oleh MA. Pemisahan struktur panitera dan sekretariat jenderal MA yang telah dilaksanakan merupakan langkah awal yang bagus dan perlu dikembangkan kemampuan manajemennya melalui pelatihan-pelatihan manajemen organisasi.

 

Profesionalisme tidak hanya terkait dengan kapasitas individu, melainkan juga-–walaupun tidak secara langsung--dengan sistem remunerasi. Kesejahteraan yang umumnya dinilai dari besaran gaji seorang hakim atau aparat pengadilan lainnya yang memadai menjamin mereka untuk bekerja secara profesional.

 

Gaji yang minim diyakini akan mengakibatkan mereka tidak fokus dalam mengerjakan tugas mereka, karena sebagian waktu mereka tersita untuk memikirkan bagaimana mencukupi kebutuhan sehari-hari yang tidak terpenuhi dengan pendapatan mereka sebagai hakim atau aparat pengadilan lainnya. Dampak yang disebabkan oleh minimnya gaji, bahkan akan lebih gawat kalau faktor ini dijadikan ‘pembenaran' bagi mereka untuk melakukan tindakan-tindakan terpuji seperti korupsi, menerima suap, dan sebagainya.

 

Perdebatan mengenai gaji yang merupakan isu paling ‘populer' dan nyaris yang tak berujung. Hampir setiap tahun, kalangan pengadilan mengeluh gaji mereka tidak cukup. Sayangnya, keluhan tersebut tidak pernah dibarengi dengan kajian ilmiah mengenai berapa gaji yang layak untuk hakim dan aparat pengadilan lainnya.

 

Salah satu contoh kajian yang dapat dijadikan referensi adalah Studi Penyusunan Blueprint Pengadilan Niaga. Studi yang diselenggarakan atas bekerjasama MA dengan Kementeriaan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas ini, secara khusus menggunakan jasa sebuah perusahaan konsultan manajemen bernama PT Nagadi Eka Sakti untuk mengadakan need assesment (penilaian kebutuhan, red.) dalam rangka pembentukan Pengadilan Niaga Jakarta.

 

Salah satu aspek yang dikaji dalam need assesment tersebut adalah aspek remunerasi atau penghasilan seorang hakim atau aparat pengadilan lainnya. Melalui kajian yang diantaranya menggunakan data hasil Survei Biaya Hidup yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS), diperoleh besaran penghasilan yang layak bagi hakim dan aparat pengadilan lainnya.

     

Tabel: Penghasilan layak bagi hakim dan aparat pengadilan

Jabatan

Penghasilan Saat ini (Kotor)

Penghasilan yang Layak

Ketua Pengadilan

7.658.000

19.918.000

Wakil Ketua Pengadilan

7.414.000

17.549.000

Hakim

6.816.000

17.549.000

Panitera Sekretaris

3.488.000

15.455.000

Wakil Panitera/Sekretaris

2.338.000

13.499.000

Panitera Muda

1.926.000

13.499.000

Panitera Pengganti

1.614.000

7.354.000

Kasubbag

1.675.000

7.354.000

Juru Sita

1.497.000

6.799.000

Pegawai Gol. III

1.143.000

6.799.000

Pegawai Gol. II

910.000

6.049.000

Sumber: Need Assesment Pengadilan Niaga Jakarta, Maret 2005

 

Ketiga, pembentukan pengadilan khusus maupun pengadilan baru. Beberapa tahun belakangan ini, MA kembali dipusingkan dengan pembentukan sejumlah pengadilan khusus serta pengadilan baru. Tren pembentukan pengadilan khusus merupakan ekses dari menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan yang sudah ada. Sementara, pengadilan baru dibentuk karena terjadinya pemekaran sejumlah wilayah di Indonesia.

 

Sebagai puncak kekuasaan kehakiman, MA mau tidak mau harus terlibat dalam proses pembentukan pengadilan-pengadilan tersebut, setidaknya dalam penyiapan SDM serta sarana dan prasarana. Sayang, pembentukan pengadilan khusus tersebut tidak dibarengi komitmen, baik dari eksekutif maupun legislatif.

 

Kepada hukumonline, Bagir mengatakan pemerintah dan DPR dalam membahas UU terkait dengan pembentukan pengadilan khusus atau pemekaran wilayah yang berarti menuntut dibentuknya pengadilan baru, seringkali tidak memikirkan secara cermat faktor-faktor terkait dengan pembentukan pengadilan tersebut. Bahkan, UU yang telah disahkan memberikan tenggat waktu, yang menurut Bagir, tidak realistis yang pada akhirnya menyulitkan MA.  

 

Hal senada juga disampaikan oleh Koordinator Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin. Menurut Firmansyah, terbengkalainya reformasi peradilan yang salah satu agendanya adalah penyatuan atap merupakan cerminan dari buruknya proses penyusunan legislasi di DPR. Dalam menyusun UU, kalangan DPR, lanjutnya, seringkali tidak memperhatikan faktor-faktor lain yang terkait.

 

Dalam konteks penyatuan atap, Firmansyah menganggap DPR terkesan bersikap yang penting sudah selesai di sini, masalah yang muncul kemudian nanti terserah kepada pelaksananya. Dia mengambil contoh mengenai pembentukan pengadilan khusus, dimana seringkali DPR hanya membuat UU-nya tanpa memikirkan apakah anggarannya tersedia, SDM-nya siap, atau fasilitasnya memadai.

 

DPR seharusnya melakukan analisa kebutuhan dan analisa implementasi sebelum mengamanatkan pembentukan pengadilan khusus atau baru, ujar Firmansyah.

 

Lalu, apakah dengan segala upaya dan kendala yang terungkap di atas MA dapat segera merampungkan proses penyatuan atap? Sulit ditebak, memang. Namun begitu, menarik untuk ditunggu apakah ‘titah' seorang Ketua MA Bagir Manan dalam sambutan penutupan Rakernas 2005 yang memerintahkan agar proses penyatuan atap dapat dirampungkan selambat-lambatnya akhir tahun ini dapat terealisir?

Tidak jelas, alasan apa yang melatarbelakangi terpilihnya Bali sebagai tuan rumah acara yang terbilang serius ini. Apapun alasannya, mudah-mudahan ucapan Ketua MA Bagir Manan yang ‘menyemangati' peserta Rakernas untuk ‘berjuang' dan ‘berburu' aneka ragam makanan dan souvenir di Pulau Dewata hanya kelakar belaka dan tidak dijadikan motivasi utama para peserta yang mayoritas adalah pimpinan pengadilan.

 

Tahun ini, Rakernas mengangkat tema Memantapkan Kemampuan Teknis dan Manajemen Peradilan Demi Terselenggaranya Kekuasaan Kehakiman yang Berkualitas dan Berwibawa. Tema yang megah memang. Tetapi apakah output-nya semegah tema yang diusung?

 

Entahlah. Yang jelas, usai menutup Rakernas, Bagir kepada hukumonline mengungkapkan kepuasannya atas penyelenggaraan Rakernas. Dia menilai Rakernas secara umum berjalan sukses dan lancar. Sayang, Bagir tidak merinci apa yang dimaksud sukses. Dia, misalnya, tidak menyebut apakah Rakernas berhasil menyelesaikan dan menetapkan pedoman sistem pengelolaan badan peradilan satu atap, sebagaimana dia sampaikan saat pembukaan.

 

Faktanya, Rakernas kali ini tidak secara khusus membahas penyatuan atap, melainkan ‘hanya' membahas topik-topik khusus yang secara umum terbagi menjadi dua: teknis dan manajemen peradilan. 

 

Dasar hukum penyatuan atap

Penyatuan atap sudah diperjuangkan oleh kalangan hakim –khususnya melalui Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)- sejak tahun 1970-an. Desakan penyatuan semakin membahana seiring era reformasi tahun 1998 yang ditandai dengan diterbitkannya Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: