Susahnya Mendapat Informasi tentang Berkas Perkara
Resensi

Susahnya Mendapat Informasi tentang Berkas Perkara

A trial is a public event. What transpires in a court room is public property --Warren Earl Burger, mantan Ketua MA Amerika Serikat

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Susahnya Mendapat Informasi tentang Berkas Perkara
Hukumonline

 

 

Judul: Membuka Ketertutupan Pengadilan

Penulis: Rifqi S. Assegaf dan Josi Khatarina

Penerbit: LeIP, Juli 2005

Halaman: 108 + ix

 

Cobalah sesekali iseng menanyakan ke pengadilan berapa biaya yang harus dibayar kalau ingin mengajukan gugatan perdata. Jangan lupa pula meminta dokumen resmi yang mengatur soal besarnya biaya tersebut.

 

Anda mungkin bisa mendengarkan penjelasan tentang besarnya biaya berperkara. Tetapi dokumen resminya? Jangan heran jika seketika petugas pengadilan tidak bisa menunjukkannya kepada Anda. Kali ini Anda sedang berhadapan dengan ketertutupan pengadilan. Mungkin di lain waktu Anda perlu menyusun strategi lain untuk mendapatkannya.

 

Ketertutupan memiliki andil terhadap maraknya mafia pengadilan. Kalau bukan pihak berperkara, jangan harap bisa mengakses putusan suatu perkara. Pengecualiannya hanya untuk kepentingan studi.

 

Birokrasi pengadilan begitu kuat mencengkeram. Orang yang ingin melihat atau mengakses suatu putusan, apalagi perkara penting, harus pintar-pintar memaknai seribu macam alasan petugas pengadilan. Ujung-ujungnya sih sudah dapat ditebak: perlu dana ekstra, tips, uang lelah, atau apapun namanya. Semakin penting dan eksklusif suatu perkara, semakin tinggi tips yang harus diberikan.

 

Cukup banyak orang mempunyai pengalaman buruk berurusan dengan birokrasi pengadilan. Penulis sendiri mengalami penolakan ketika berusaha meminta secara resmi putusan pengadilan. Dan cerita sejenis-–sebagaimana diceritakan sejumlah orang ke penulis--terus berlanjut. Tidak aneh kalau muncul pandangan bahwa dalam beberapa hal, pengadilan lebih tertutup dari birokrasi eksekutif dan legislatif. Budaya ketertutupan pengadilan sudah terlalu kuat. (hal. 20)

 

Argumen yang acapkali dilontarkan adalah berkas perkara adalah dokumen rahasia sampai ada putusan pengadilan. Tetapi bukankah putusan pengadilan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum? Dan konsekuensinya, siapapun bisa merekam putusan ketika hakim membacakannya (dalam konteks pidana).

 

Penulis memandang apa yang selama ini didefinisikan sebagai rahasia masih cenderung umum dan multi-interpretatif. Tidak jelas parameter yang harus dipergunakan untuk menentukan kapan suatu  informasi pengadilan dapat dikategorikan rahasia dan kapan tidak (hal. 18).

 

Akibatnya, diskresi seorang pejabat untuk menentukan suatu rahasia menjadi sangat luas. Putusan pengadilan yang dibacakan di depan sidang terbuka pun lalu diklaim sebagai rahasia, dan hanya para pihak berperkara yang boleh mengaksesnya.

 

Sebenarnya ketertutupan pengadilan hanya sebagian dari kesulitan masyarakat mengakses informasi hukum. Taruhlah untuk mendapatkan Surat Keputusan (SK) seorang menteri. Jika tidak memiliki koneksi dan relasi, sulit dipercaya bahan itu diperoleh secara mudah. Demikian pula halnya di pengadilan. Kebanyakan orang tahu putusan pengadilan secara lengkap hanya dari majalah Varia Peradilan yang memang diterbitkan secara resmi oleh Ikatan Hakim Indonesia. Kalaupun hendak mendapatkan berkas dengan mudah, menurut penulis, kata kuncinya sudah jelas: pertemanan atau uang pelicin.

 

Selain ketertutupan pengadilan, ada dua faktor yang menjelaskan mengapa publik sulit memperoleh informasi pengadilan. Pertama, adanya kesengajaan pejabat tertentu di pengadilan, termasuk hakim, untuk menutup informasi. Bisa jadi dimaksudkan untuk menghindari sorotan publik atas kesalahan atau praktik negatif yang dia lakukan. Kedua, adanya kelemahan dalam peraturan perundang-undangan yang membuka penafsiran bahwa informasi tertentu tidak boleh dibuka untuk umum. (hal. 23).

 

Di Indonesia, masalah akses publik terhadap informasi pengadilan baru beberapa tahun terakhir menjadi perhatian. Sebagian justru dari peneliti asing. Untuk menyebut contoh ada tulisan Marjanne Termorshuizen-Arts Access to Legal Information, di majalah Hukum Nasional terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) edisi 2 Tahun 2001. Atau dalam konteks Indonesia, tulisan Gregory Churchill Access to Legal Information in Indonesia: Recent Progress, Current Problems and Future Prospects. Sayang, kedua bahan berguna ini tidak dimasukkan ke dalam bibliografi buku yang ditulis pasangan suami isteri ini.

 

Buku ini hadir tepat di tengah upaya Mahkamah Agung melakukan reformasi pengadilan, termasuk reformasi keterbukaan informasi. Penulis menguraikan beberapa langkah yang harus dilakukan dunia peradilan jika ingin menerapan keterbukaan. Bahkan penulis sudah menyiapkan sebuah usulan rancangan SK Ketua MA tentang Pedoman Pelaksanaan Hak Masyarakat untuk Memperoleh Informasi di Pengadilan.

Tags: