Mendesak, Pembangunan Database Tanah Untuk Reformasi Agraria
Berita

Mendesak, Pembangunan Database Tanah Untuk Reformasi Agraria

Diperlukan keberanian dan konsistensi aparat pelaksana untuk melaksanakan pendataan secara jujur, serta kesediaan pemilik tanah untuk didata dan mungkin haknya dikembalikan kepada negara untuk dijadikan objek reformasi.

Oleh:
Leo/CR-2
Bacaan 2 Menit
Mendesak, Pembangunan Database Tanah Untuk Reformasi Agraria
Hukumonline

 

Selain mengenai pembangunan database penguasaan dan pemilikan tanah skala besar, Usep juga menyoroti beberapa agenda mendesak lainnya dalam kaitan reformasi agraria. Yaitu memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah, menangani dan menyelesaikan perkara, masalah sengketa, dan konflik pertanahan di Indonesia secara sistematis, dan menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Terakhir, yang menurutnya mendesak dilakukan adalah mengembangkan dan memperbarui politik, hukum, dan kebijakan pertanahan.

 

Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto menyatakan pentingnya database penguasaan dan pemilikan tanah. Kata dia, pihaknya tengah mengembangkan dan melakukan verifikasi lapangan untuk kepentingan database Ia berharap tahun depan sudah diperoleh gambaran keseluruhan mengenai skema kepemilikan dan pemanfaatan tanah di Indonesia.

 

Karena dalam suatu situasi kita ingin mengatasi kemiskinan mengatasi pengangguran, layak juga kita dari BPN memikirkan jalan secara khusus untuk buka akses yang lebih baik bagi masyarakat untuk memperoleh sumber kesejahteraan. Salah satu cara adalah melihat kembali seluruh masalah pertanahan, ucap Joyo kepada wartawan (24/10)

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria Usep Setiawan mengemukakan pentingnya membangun database penguasaan dan pemilikan tanah skala besar. Menurut Usep, keberadaan dan akurasi data serta informasi mengenai objek-objek reformasi menjadi salah satu prasyarat keberhasilan sebuah reformasi.

 

Pengadaan data dan informasi mengenai objek-objek reformasi dan pihak-pihak yang akan menerima keuntungan (subjek reformasi), harus dilakukan secara sistematis dan bisa dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun sosial.

 

Data dan informasi ini mesti digali dari fakta yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kekeliruan data selain bisa mengeakibatkan proses dan tujuan reformasi terganjal, bahkan potensial melahirkan persoalan dan konflik baru yang lebih rumit, papar Usep dalam makalahnya di Seminar Nasional Pertanahan (24/10).

 

Ia menambahkan, diperlukan keberanian dan konsistensi aparat pelaksana untuk melaksanakan pendataan secara jujur, serta kesediaan pada penguasa atau pemilik tanah luas untuk didata dan mungkin haknya dikembalikan kepada negara untuk dijadikan objek reformasi, baik melalui redistribusi maupun konsolidasi lahan dalam kerangka reformasi agraria.

Tags: