Dari Mana Ide Jaminan 500 Juta dalam Perkawinan Antar Negara?
Berita

Dari Mana Ide Jaminan 500 Juta dalam Perkawinan Antar Negara?

Gagasan tentang kewajiban bagi WNA membayar uang jaminan jika ingin menikahi perempuan WNI telah menimbulkan perdebatan. Tetapi, darimana ide itu mengilhami Mahkamah Agung?

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Dari Mana Ide Jaminan 500 Juta dalam Perkawinan Antar Negara?
Hukumonline

 

Dokumen laporan pelatihan hakim-hakim agama ke Mesir yang diperoleh hukumonline memuat antara lain sistem hukum keluarga di Negeri Sungai Nil tersebut. Hukum perkawinan misalnya diatur dalam UU No. 25 Tahun 1920 yang telah direvisi menjadi UU No. 100 Tahun 1985. Secara garis besar, hukum perkawinan Mesir diambil dari Mazhab Imam Abu Hanifah.

 

Perundang-undangan hukum keluarga di sana membedakan antara hukum yang bersifat keagamaan (diyani) dan hukum yang bersifat yuridis (qadha'i). Intinya, hukum yang sudah umum dari ajaran agama Islam dipandang sebagai hukum yang berlaku dan tidak perlu diatur secara khusus, kecuali terdapat kebutuhan khusus untuk masalah tertentu.

 

Masalah keharusan WNA menyetorkan jaminan 25.000 Pound Mesir (kira-kira Rp500 juta) terdapat pada bagian pencatatan perkawinan. Selain itu, masih ada syarat lain bagi perkawinan antar negara: perbedaan usia pasangan tidak boleh 25 tahun, serta ada izin dari kedutaan negara asal suami. Sayang, tidak banyak penjelasan mengenai sistem jaminan 500 juta tersebut.

 

Sebelum perkawinan dilangsungkan, seorang wanita dapat mengadakan perjanjian dengan calon suaminya untuk tidak dimadu. Semua perkawinan di Mesir dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Kecuali perkawinan beda agama/sekte di luar Islam dicatatkan di kantor notaris.

 

Peranan penulis novel dan skenario

Dokumen laporan pelatihan juga memuat informasi penting, bagaimana peran penulis novel atau skenario dalam mengungkap masalah-masalah hukum keluarga di Mesir. Legislator Mesir sering mendapat inspirasi membuat peraturan hukum keluarga dari novel atau skenario yang mengungkap kejadian riil di masyarakat.

 

Sebut misalnya film berjudul Uridu Hallan (Aku Ingin Penyelesaian) yang dibintangi oleh bintang film Mesir terkenal Fatin Hamamah dan Aminah Rizq. Film ini menceritakan seorang isteri yang menggugat nafkah kepada mantan suaminya setelah 25 tahun diceraikan. Pengadilan menolak gugatan karena penggugat bukan lagi berstatus isteri. Masalah muncul karena alasan perceraian tidak jelas, sementara isteri punya tanggungan anak dan tak punya sumber penghidupan.

 

Film itu mengilhami legislator Mesir pada tahun 1979 untuk memberi hak mut'ah kepada bekas isteri yang diceraikan secara tidak patut.  

Kalangan aktivis perempuan dan pelaku perkawinan antar negara menanggap gagasan yang muncul dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung itu sulit diterapkan. Bukan saja karena jodoh adalah urusan Tuhan, ide semacam itu juga dianggap berasal dari pola pikir yang keliru seolah-olah semua pria asing yang ingin menikahi WNI memiliki kekayaan yang cukup. Sehingga sebelum menikah mereka harus membayar jaminan sekitar Rp500 juta.

 

Sebagaimana ditulis, ide uang jaminan itu mencuat ketika Rakernas MA di Denpasar, September lalu. Gagasan itu muncul dalam konteks kewajiban memberi perlindungan terhadap isteri WNI jika terjadi perceraian dengan suaminya yang WNA, dan kemungkinan suami murtad (jika dalam perkawinan sebelumnya telah menyatakan masuk Islam). Lantas, dalam Rakernas tersebut ada yang mengajukan sebuah perbandingan di Mesir. Di sanalah kewajiban semacam itu diterapkan.

 

Berdasarkan penelusuran hukumonline, Mahkamah Agung memang pernah melakukan perjalanan ke Mesir untuk ‘pelatihan hakim Indonesia'. Masalah perkawinan itu muncul pada masa pelatihan gelombang kedua, 6-14 Desember 2003 silam. Angkatan pertama belajar tentang sistem hukum dan peradilan Mesir secara umum; sementara Angkatan kedua khusus belajar tentang hukum keluarga. Pelatihan itu adalah kerjasama antara Mahkamah Agung, Departemen Agama, KBRI di Mesir dan Departemen Keadilan Mesir.

 

Pada masa pelatihan kedua ada 20 hakim Indonesia yang menjadi peserta. Sebagian besar hakim tinggi agama (PTA). Tercatat antara lain Jufri Ghalib, Hj. Zahriyyah Hanafiah (Aceh), H. Mukhtar Zamzami (Palembang), HM Zaenal Imamah (Surabaya), HM Bachrun (Mataran), dan HA Nawawi (KPTA Jakarta). Rombongan pelatihan dipimpin hakim agung Rifyal Ka'bah.

Tags: