Utang Kasus di Kejagung Masih Segunung
Berita

Utang Kasus di Kejagung Masih Segunung

Jakarta, Hukumonline. Masih banyak pekerjaan yang menumpuk di Kejaksaan Agung (Kejagung). Itu karena Kejagung masih mempunyai segudang kasus besar yang belum diselesaikan, terutama warisan Orde Baru. Mampukah Kejagung menyelesaikan utang kasus yang sudah segunung itu?

Oleh:
Tri/Apr
Bacaan 2 Menit
Utang Kasus di Kejagung Masih Segunung
Hukumonline
Tidak sabar dengan kinerja Kejagung, massa kembali mendemo Jaksa Agung. Setelah mahasiswa menuntut pengadilan bagi Soeharto, sekitar 100 orang rombongan Partai Rakyat Demokratik (PRD) datang ke Kejagung membawa baliho berukuran 5x10 meter. Baliho itu berisi tuntutan rakyat mengenai kasus-kasus yang harus diselesaikan oleh Pemerintahan Abdurahman Wahid dan Megawati, yaitu:

Pertama, kasus korupsi Bank Bali yang merugikan negara Rp904 miliar. Aktor yang terlibat: Golkar, kroni Habibie, Rudy Ramli. Status kasus: tidak semua tokoh Golkar yang terlibat ditahan.

Kedua, korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara Rp144 triliun. Aktor yang terlibat: Soeharto, kroni Soehartop, kroni Habibie, bankir nakal. Status kasus: pelaku belum ada yang ditahan.

Ketiga, kasus Texmaco yang merugikan negara AS$716 juta. Aktor yang terlibat: kroni Soeharto, Marimutu Sinivasan, Tunky Ariwibowo, Moerdiono. Status kasus: dikeluarkannya SP3, pelaku Marimutu Sinivasan dibebaskan oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman.

Keempat, kasus Bulog yang merugikan negara Rp2 triliun (tercatat). Aktor yang terlibat: rezim Orde Baru, Tommy Soeharto, Nurdin Khalid, Beddu Amang, militer, rezim Gus Dur. Status kasus: hanya Sapuan yang ditahan, yang lain bebas.

Kelima, kasus 21 Juli 1996 yang mengakibatkan jatuhnya korban: 5 orang mati, 33 orang hilang, 104 orang luka, 131 orang dipenjara. Aktor yang terlibat: Soeharto, militer, Golkar. Status: hanya sipil PDI yang ditahan, birokrat Golkar dan militer bebas.

Keenam, penghilangan aktivis demokrasi dengan fakta: 24 orang diculik, 14 orang belum diketahui nasibnya, 1 orang mati, 9 orang dibebaskan setelah disiksa. Pelaku: Soeharto, Syafri Sjamsudin, Prabowo, Nurfaizi. Status khusus: hanya prajurit lapangan yang diadili, perencana dan penanggung jawab operasi bebas.

Ketujuh, pelanggaran HAM lainnya dengan fakta jutaan orang dibunuh dalam peristiwa G-30SPKI, ribuan orang mati di Aceh, Timor-Timur, dan Papua. Status: tidak ada pelaku yang diadili.

Transparansi

Tujuh orang perwakilan PRD itu tidak berhasil menemui Jaksa Agung, Marzuki Darusman. Rombongan Komite Pimpinan PRD Wilayah Jakarta itu dipimpin oleh Yogi Sukarman. Kejagung agar bersikap transparan dan mempublikasikan hasil-hasil penyidikannya kepada masyarakat, terutama dalam mengsusut kasus Bank Bali, ujarnya. PRD juga menuntut Golkar atas tindak pidana yang dilakukan.
Kapuspenkum Kejagung, Yushar Yahya, yang menemui perwakilan ini menjelaskan, Golkar tidak bisa dikenakan tindak pidana. Namun yang bisa dituntut adalah oknum-oknum yang melakukan tindak pidana. Kejagung tidak bisa begitu saja menangkap orang yang terlibat dalam kasus Bank Bali. Karena mungkin yang bersangkutan tidak tahu berasal dari tindak pidana, kata Yushar

Tuntutan yang disampaikan oleh PRD mestinya dapat menjadi pemicu bagi Kejagung untuk menuntaskan kasus-kasus besar. Sayangnya, Kejagung terkesan lamban dalam menyidik kasus-kasus besar itu, sehingga tidak heran banyak masyarakat yang tidak sabar. Sebagian masyarakat lainnya malah skeptis terhadap langkah-langkah yang akan dilakukan oleh Kejagung.

Sayang, banyak kasus-kasus yang menguap begitu saja. Padahal media massa begitu rajin meliput kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) kroni Cendana serta pejabat dan pengusaha yang diperiksa di Kejagung. Namun seperti diduga, para tokoh penilep duit rakyat dan koruptor kelas kakap itu kemudian bebas.

Selain kasus-kasus yang disampaikan PRD, masih banyak kasus-kasus korupsi kelas paus yang tidak jelas ujung rimbanya. Beberapa kasus yang besar itu antara lain: korupsi di Pertamina senilai Rp 43 triliun, KKN di PLN yang merugikan negara Rp15,78 triliun, penyimpangan Dana Reboisasi senilai Rp15 triliun, perkara 7 yayasan Soharto dengan kerugian Rp4 triliun, proyek Mobnas dengan kerugian Rp3,093 triliun.

Belum lagi korupsi kecil di bawah Rp 1 triliun yang juga belum tuntas, seperti: BPPC, Goro, BRI, dan masih banyak lagi. Akibat KKN para koruptor kelas kakap ini, negara bangkrut, ekonomi rontok, dan rakyat pun merana.

Kejagung memang telah bergerak untuk mengusut kasus yayasan Soeharto dan Bank Bali. Namun masyartakat masih melihat langkah Kejagung menyidik dan menyita aset Soeharto ini sarat muatan politis agar pemerintah terlihat serius mengusut KKN Soeharto yang menjadi tuntutan banyak orang, terutama mahasiswa.

Di sisi lain, masyarakat banyak bertanya mengapa jaksa Agung mencabut SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) Texmaco. Tidak heran bila Adi Andojo Soetjipto, Ketua Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGPK), melayangkan surat kepada Jaksa Agung untuk mencabut SP3 karena adanya bukti baru kasus ini.

Jika Kejagung tidak serius menyidik kasus-kasus KKN di Indonesia, korupsi akan terus merejalela. Dan Indonesia masih akan tetap menduduki peringkat satu korupsi di Asia. Lalu di mana janji dan harapan Presiden Gus Dur dan Wakil Presiden Megawati Soekarnopoetri saat dilantik menjadi pemimpin untuk memberantas korupsi.

Janji tentu bukan ‘pepesan kosong'. Masyarakat masih menunggu langkah nyata Kejagung menuntaskan kasus-kasus besar itu. Dan masyarakat juga masih menunggu terobosan Jaksa Agung Marzuki Darusman. Tokoh yang sebelum menjadi pejabat dikenal kritis.
Tags: