Uang Pengganti (2): Eksekusi dan Masalah Tanggung Renteng
Fokus

Uang Pengganti (2): Eksekusi dan Masalah Tanggung Renteng

Permasalahan seputar uang pengganti ternyata tidak berhenti hanya pada soal hitung-menghitung, ada persoalan eksekusi yang juga pada prakteknya memunculkan polemik yang, sayangnya, lagi-lagi tidak diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
Uang Pengganti (2):  Eksekusi dan Masalah Tanggung Renteng
Hukumonline

 

Merujuk pada konsep tanggung-renteng tersebut, maka tanggung-renteng dalam konteks pemidanaan uang pengganti dapat dikategorikan sebagai tanggung-renteng pasif, dimana negara dalam hal ini berkedudukan sebagai kreditur dan para terdakwa sebagai debitur. Artinya apabila negara melalui majelis hakim telah menjatuhkan pidana uang pengganti secara tanggung-renteng kepada lebih dari satu terdakwa maka tiap-tiap dari mereka memiliki kewajiban untuk memenuhi hukuman tersebut. Dimana menurut konsep keperdataan, apabila salah satu dari terdakwa telah melunasi seluruh jumlah uang pengganti maka otomatis kewajiban terdakwa lain gugur secara otomatis.

 

Dengan model tanggung-renteng, majelis hakim dalam putusannya hanya menyatakan para terdakwa dibebani pidana uang pengganti sekian rupiah dalam jangka waktu tertentu. Majelis hakim (negara) sama sekali tidak ‘ambil pusing' bagaimana cara para terdakwa mengumpulkan sejumlah uang pengganti tersebut, entah itu ditanggung sendiri oleh salah satu terdakwa atau urunan dengan porsi tertentu. Sesuai dengan spirit yang melatarbelakangi konsep pemidanaan uang pengganti, negara ‘hanya' peduli bagaimana uang negara yang telah dirugikan karena tipikor dapat kembali.

 

Model kedua, pembebanan secara proporsional adalah pembebanan pidana uang pengganti dimana majelis hakim dalam amarnya secara definitif menentukan berapa besar beban masing-masing terdakwa. Penentuan jumlah uang pengganti tersebut didasarkan pada penafsiran hakim atas kontribusi masing-masing terdakwa dalam tipikor terkait.

 

Pada prakteknya, kedua model tersebut diatas diterapkan secara acak tergantung penafsiran hakim. Ketidakseragaman ini kemungkinan besar terjadi karena tidak jelasnya aturan yang ada. Bahkan, ada satu kasus korupsi yang cukup unik yakni kasus korupsi dengan terdakwa Harun Let Let dan Tarcisius Walla.

 

Dalam kasus yang telah merugikan negara sekitar Rp 10 miliar ini, majelis hakim pada mulai dari tingkat pertama hingga kasasi menjatuhkan pidana uang pengganti dengan model dan jumlah yang berbeda-beda. Majelis hakim pengadilan tingkat pertama menjatuhkan pidana uang pengganti kepada kedua terdakwa sebesar Rp 10,262 miliar secara tanggung-renteng. Sementara pada tingkat banding dan kasasi, walaupun menerapkan model yang sama yakni pembebanan proporsional, tetapi masing-masing majelis hakim memiliki perhitungan yang berbeda.

 

Tabel

Putusan Pengadilan Terhadap Let Let dan Walla

 

Terpidana

Tingkat Pertama

Banding

Kasasi

Harun Let Let

8 tahun penjara; denda Rp500 juta (subsider 6 bulan kurungan); uang pengganti Rp10,262 miliar (secara tanggung renteng)

9 tahun penjara; denda Rp500 juta (subsider 6 bulan kurungan); uang pengganti Rp7,5 miliar

 

11 tahun penjara; denda Rp500 juta (subsider 6 bulan kurungan); uang pengganti Rp9,262 miliar

 

Tarcisius Walla

7 tahun penjara; denda Rp200 juta ( subsider 3 bulan kurungan); uang pengganti Rp10,262 miliar (secara tanggung renteng)

7 tahun penjara; denda Rp200 juta (subsider 3 bulan kurungan);

uang pengganti Rp450 juta.

 

8 tahun penjara; denda Rp300 juta (subsider 3 bulan kurungan); uang pengganti Rp1 miliar

 

 

Hakim agung adhoc MS Lumme yang menangani perkara ini, ketika itu kepada hukumonline menjelaskan alasan digunakannya model proporsional adalah karena perkara korupsi pada dasarnya adalah pidana. Menurutnya, dalam konteks hukum pidana tidak kenal sistem tanggung-renteng sebagaimana dalam hukum perdata.

 

Jadi salah kaprah putusan tingkat pertama yang membebani kewajiban tersebut secara tanggung renteng, tegas Lumme yang sebelumnya berprofesi sebagai pengacara.

 

Berdasarkan sifat masing-masing model, model proporsional memang yang paling minim memiliki potensi masalah yang akan dimunculkan. Namun, tidak dengan alasan seperti yang dikemukakan Lumme, karena pada perkembangannya batas antara hukum pidana dengan hukum perdata sudah sangat tipis, dan bahkan sudah saling overlap. Penerapan konsep uang pengganti (ganti rugi) sebagaimana konsep hukuman denda merupakan bukti konkret tentang fenomena mem-perdata-kan kasus pidana.

 

Berbeda dengan model proporsional, model tanggung-renteng berpotensi memunculkan masalah. Pertama, penerapan model ini dapat memunculkan sengketa perdata diantara para terdakwa. Hal ini sangat mungkin terjadi karena dengan tidak menetapkan beban uang pengganti kepada masing-masing terdakwa, majelis hakim berarti telah melemparkan ‘bola panas'.

 

Masing-masing terdakwa bisa saja saling menuding dan mengklaim mengenai berapa beban yang mereka harus tanggung. Bahkan, tidak menutup kemungkinan perselisihan ini akan bermuara di pengadilan, apabila salah satu atau kedua pihak mengajukan gugatan perdata. Alhasil, eksekusi pidana uang pengganti kemungkinan akan berlarut-larut dengan dalih menunggu putusan pengadilan atas gugatan perdata yang diajukan salah satu terpidana.   

 

UU No. 31 Tahun 1999, melalui Pasal 18 ayat (2), memang menetapkan jangka waktu yang sangat mepet yakni 1 (satu) bulan bagi terpidana untuk melunasi pidana uang pengganti. Masih dalam ayat yang sama, UU No. 31 Tahun 1999 juga menyediakan ‘cadangan' pidana berupa penyitaan harta terpidana yang kemudian akan dilelang untuk memenuhi uang pengganti. Dalam ayat berikutnya, terpidana bahkan diancam dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya. Jadi, terpidana sebenarnya tidak akan lolos walaupun berdalih ada gugatan perdata yang sedang diproses.

 

Masalahnya, eksekusi penyitaan dan pelelangan serta pidana penjara sebagai back up pidana uang pengganti tidak sesederhana rumusan pasalnya. Pihak Kejaksaan yang akan mengeksekusi putusan majelis hakim, pasti akan sulit melakukan penyitaan. Pasalnya, majelis hakim tidak menetapkan jumlah yang harus ditanggung oleh masing-masing terpidana sehingga jaksa tidak mempunyai acuan yang jelas dalam menentukan berapa banyak harta yang harus disita.

 

Permasalahan ini mungkin tidak akan muncul apabila model yang dipakai adalah model proporsional. Dengan model proporsional, jaksa dapat menyita harta terpidana yang senilai dengan pidana uang pengganti yang telah ditetapkan oleh majelis hakim.

 

kendala yang sama juga dapat terjadi dalam eksekusi pidana penjara sebagai pengganti apabila harta terpidana ternyata tidak mencukupi untuk menutup jumlah pidana uang pengganti. Pasal 18 ayat (3) memang memberikan batasan bahwa pidana penjara sebagai pengganti pidana uang pengganti tidak boleh melebihi ancaman  maksimum dari pidana pokoknya. 'Lucunya' dalam ayat yang sama juga disebutkan bahwa lamanya pidana penjara pengganti sudah ditentukan dalam putusan majelis hakim.

 

Pertanyaannya, bagaimana mungkin majelis hakim menetapkan pidana penjara pengganti apabila besarnya uang pengganti masing-masing pihak tidak ditetapkan secara definitif. Belum lagi, kalau harta terpidana ternyata mencukupi tapi hanya sebagian. Ditambah lagi, majelis hakim harus menebak-nebak berapa lama pidana penjara yang pantas untuk menggantikan jumlah pidana uang pengganti.

 

Sebagai ilustrasi, misalnya majelis hakim menjatuhkan pidana uang pengganti sebesar Rp1 miliar secara tanggung-renteng kepada X dan Y. Dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) bulan ternyata baik X dan Y tidak memenuhi kewajibannya sehingga harta mereka harus disita untuk kemudian dilelang. Namun, setelah diinventarisir harta X dan Y ternyata hanya mampu menutupi 10% dari jumlah pidana uang pengganti.

 

Bisa anda bayangkan, keruwetan hitung-hitungan matematis yang harus dihadapi oleh jaksa maupun hakim dalam mengeksekusi penyitaan dan menetapkan pidana penjara untuk menggantikan pidana uang pengganti.

 

Penerapan model tanggung-renteng juga akan menimbulkan masalah yang tak kalah pelik apabila kasus yang melibatkan lebih dari satu terdakwa ternyata diajukan dalam surat dakwaan terpisah (split) dan kemudian setelah putusan tingkat pertama ternyata salah satu terpidana mengajukan upaya hukum banding.

 

Masalah ini tergambar jelas dalam perkara korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan terdakwa Nazaruddin Sjamsuddin dan Hamdani Amin. Kedua kasus yang diperiksa secara split ini, telah diputus oleh majelis hakim pengadilan tipikor. Nazaruddin divonis 7 (tujuh) tahun penjara, denda Rp300 juta subsider 6 (enam) bulan kurungan. Sementara, Hamdani divonis 4 (empat) tahun penjara, denda Rp300 juta subsider 4 (empat) bulan kurungan. Kedua mantan pejabat KPU ini juga dibebankan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,032 miliar secara tanggung-renteng.

 

Masalah kemudian muncul karena kemudian Nazaruddin mengajukan upaya hukum banding, sementara Hamdani legowo menerima putusan majelis hakim. Pertanyaannya, apakah pidana uang pengganti terhadap Hamdani dapat dieksekusi terlebih dahulu? Apabila jaksa dan hakim secara tegas (strict) menerapkan UU maka mereka harus tetap mengeksekusi pidana tersebut begitu putusan telah berkekuatan hukum tetap dan mengikat (inkracht van bewijsde). Namun, lagi-lagi, pertanyaan berapa beban yang harus ditagih ke Hamdani karena putusan majelis hakim menetapkan pidana pengganti tanggung-renteng bersama-sama dengan Nazaruddin, padahal Nazaruddin sedang melakukan upaya hukum.

 

Kondisi ini tentunya akan semakin rumit apabila pada tingkat banding atau kasasi, Nazaruddin ternyata dibebaskan. Bebasnya Nazaruddin apakah akan berimplikasi bebasnya Hamdani dari kewajiban membayar uang pengganti. Tentunya, akan sangat tidak adil (fair) bagi Hamdani apabila ia harus menanggung beban tersebut sendiri.

 

Sekali lagi, tidak ada seorang pun -kecuali koruptor tentunya- di negeri peringkat keenam paling korup di dunia ini, yang tidak sepakat betapa pentingnya membuat jera koruptor dan sekaligus mengembalkan uang negara yang telah dikorup. Namun, tentunya sebagai negara yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum, akan lebih 'cerdas' apabila media untuk mencapai tujuan tersebut ditempuh melalui cara yang transparan, fair, akuntabel, serta yang paling penting didasari oleh aturan yang jelas dan lengkap.

 

RUU Korupsi yang menurut informasi Prof. Ramli tengah intens disiapkan, akan menjadi wadah yang tepat untuk mencantumkan aturan yang lebih jelas dan lengkap tentang uang pengganti. Namun, tentunya, suatu RUU memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk menjadi UU. Untuk itu, diterbitkannnya Perpu atau PP mungkin akan menjadi solusi yang tepat dan cepat dalam menjawab permasalahan ini.

Permasalahan yang dimaksud adalah mengenai pembebanan uang pengganti dalam hal tipikor dilakukan oleh lebih dari satu orang. Ada 2 (dua) model pembebanan yang selama ini diterapkan oleh hakim memutus perkara korupsi. Model pertama adalah pembebanan tanggung-renteng, sedangkan model yang kedua adalah pembebanan secara proporsional.

 

Tanggung-renteng (tanggung-menanggung bersama), yang lebih dikenal dalam ranah hukum perdata, adalah cara terjadinya suatu perikatan dengan jumlah subjek yang banyak. Dalam konteks hukum perdata, dikenal ada 2 (dua) bentuk tanggung-renteng yakni aktif dan pasif. Tanggung-renteng dapat dikatakan aktif apabila jumlah pihak yang berpiutang (kreditur) lebih dari satu, dan sebaliknya, tanggung renteng pasif terjadi apabila jumlah pihak yang berutang (debitur) lebih dari satu. (lihat Pengajian Hukum Perdata Belanda karya C. Asser's, hal. 119)

Tags: