Hasil Evaluasi Dua LSM: Muladi dan Benjamin Tidak Layak Menjadi Hakim Agung
Berita

Hasil Evaluasi Dua LSM: Muladi dan Benjamin Tidak Layak Menjadi Hakim Agung

Jakarta, Hukumonline. DPR telah memilih 17 calon hakim agung lolos fit and proper test. Namun, beberapa calon dianggap tidak atau kurang layak menjadi hakim agung. Dua LSM menilai, Muladi dan Benjamin termasuk yang tidak atau kurang layak.

Oleh:
Inay/APr
Bacaan 2 Menit
Hasil Evaluasi Dua LSM: Muladi dan Benjamin Tidak Layak  Menjadi Hakim Agung
Hukumonline
Selangkah lebih maju, dua LSM memberikan evaluasinya terhadap proses fit and proper test calon hakim agung. Bahkan pada waktu yang hampir bersamaan, 20 Juli 2000, LeIP dan Pokja PCHA menilai calon yang layak menjadi hakim agung.

Menurut Sekjen LeIP, Rifqi Sjarief Assegaf, evaluasi ini untuk membantu DPR dan Presiden dalam memilih hakim agung terbaik. Hasil evaluasi akan segera kami kirimkan ke Presiden, kata Rifqy.

Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) menilai, dari 45 calon hakim agung ternyata hanya 11 yang layak atau cukup layak menjadi hakim agung. Sementara calon yang tidak atau kurang layak menjadii hakim agung adalah: Said Harahap, Muchsin, Margana, Chairani Wani, Benjamin Mankoedilaga, dan Muladi. Evaluasi LeIP selengkapnya bisa dilihat di Hukumonline Spesial.

Menurut LeIP, Benjamin kurang layak menjadi hakim agung karena tidak meyakinkan dan terkesan berputar-putar dalam menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kasus-kasus berindikasi buruk yang pernah ditanganinya. Benjamin juga dinilai kurang tegas menjawab pertanyaan seputar KKN.

LeIP juga menilai Muladi kurang layak menjadi hagim agung. Ide-idenya cukup bagus, tapi track record-nya kurang mendukung ide-idenya. Apalagi ia memberikan pernyataan yang kontroversial: mundur menjadi hakim agung jika tidak menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA).

Berdasar skor

Jika LeIP hanya memberikan evaluasi layak dan tidak layak untuk calon hakim agung, Pokja PCHA membuat skor terhadap hakim agung yang layak. Kelompok Kerja Calon Hakim Agung (Pokja –PCHA) terdiri dari YLBHI, Ikadin, KRHN, AJI dan ICW.

Berdasarkan pemantauan selama berlangsungnya fit and proper test, Pokja PCHA menilai ada 13 bakal calon yang dianggap layak menjadi calon hakim agung. Penilaian itu lebih menitikberatkan pada integritas moral dengan nilai 10 dan kapasitas hukum bernilai 8.

Menurut Pokja PCHA, 13 calon yang dianggap oleh pokja layak untuk menjadi hakim agung dengan urutan berdasarkan perolehan skor tertinggi adalah: Artidjo Alkostar, SH; Prof. Dr. Valerine J Kriekhoff, SH; Dr. Rifyal Ka'bah, SH; Soerojo, SH; Andi Sjamsu Alam, SH; Abdurrahman Saleh, SH; Said Harahap, SH; Dr. M. Laica Marzuki, SH; Syamsulhadi, SH; Mahjudin, SH; Prof. Dr. Bagir Manan, SH; Abdul Kadir Mappong, SH; Drs. Zulkifli Rahman, SH. Komposisinya terdiri dari dari 7 orang hakim karier dan 6 orang hakim non-karier.

Hasil evaluasi Pokja PCHA dengan pendekatan kuantitatif ternyata hampir sama dengan hasil evalusii LeIP yang menggunakan pendekatan kualitatif. Satu calon hakim agung yang dinyatakan tidak layak oleh LeIP, tetapi dinyatakan layak oleh Pokja PCHA adalah Said Harahap, SH (Ketua Pengadilan Tinggi NTT). Sementara nama Benjamin dan Muladi juga dianggap tidak layak oleh Pokja PCHA untuk menjadi hakim agung.

Kekurangan
Pokja-PCHA menilai, uji kepatutan dan kelayakan calon hakim agung yang dilakukan oleh Panja DPR merupakan langkah yang maju dan positif. Namun terdapat beberapa kekurangan yang harus dijadikan catatan untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Pokja PCHA mencatat enam hal dari evaluasi fit and proper test calon hakim agung. Pertama, perlu adanya kriteria yang jelas bagi orang-orang yang dipandang eligible untuk melakukan fit and proper test. Jadi tidak semua anggota dewan dapat menjadi penguji.

Kedua, anggota DPR atau fraksi di DPR seharusnya tidak mengusulkan calon demi obyektifitas penilaian. Beberapa pertanyaan yang diajukan oleh anggota panja hanya bersifat klarifikasi dan memberi peluang bagi bakal calon untuk mempromosikan diri, tanpa memngeksplorasi lebih lanjut keterangan yang diberikan oleh bakal calon. Tidak jarang anggota panja menghentikan penjelasan bakal calon sebelum calon selesai menjelaskan.

Ketiga, Panja calon hakim agung sebelumnya tidak melakukan klarifikasi dan investigasi lebih jauh dan mendalam dalam menindaklanjuti laporan atau pengaduan dan atau mengecek kebenaran dari keterangan riwayat hidup dan daftar harta kekayaan bakal calon.

Keempat, waktu yang diberikan pada setiap bakal calon hakim agung hanya satu jam yang dirasa tidak cukup untuk mengetahui dan mendalami integritas moral dan kapasitas hukum dari bakal calon. Keterbatasan waktu ini bahkan menghambat anggota panja sendiri untuk eksplorasi atas penjelasan dan jawaban bakal calon.

Kelima, metode standar penilaian yang digunakan dan mekanisme tingkat penilaian sangat tertutup, sehingga berlawanan dengan semangat awal yang telah membuka proses yang transparan. Dengan tidak adanya mekanisme yang transparan dan standarisasi penilaian yang jelas dikhawatirkan calon hakim agung yang lolos, tidak sesuai dengan harapan masyarakat luas.

Penilaian dari masing-masing anggota Pokja didasarkan pada jawaban bakal calon atas pertanyaan anggota Panja Pemilihan Calon Hakim Agung dan pengetahuan masing-masing anggota tentang bakal calon. Dalam memberikan penilaian, Pokja juga mempertimbangkan hasil polling dan pengaduan masyarakat.

Tags: