Ruwetnya Sistem Minutasi Peradilan Kita
Fokus

Ruwetnya Sistem Minutasi Peradilan Kita

Korupsi di lingkungan peradilan tidak melulu terletak pada kualitas putusan hakim, tetapi juga karena kelemahan sistem administrasi atau manajemen perkara.

Oleh:
Aru
Bacaan 2 Menit
Ruwetnya Sistem Minutasi Peradilan Kita
Hukumonline

Lamanya waktu yang dibutuhkan majelis untuk memutus perkara bisa saja terjadi. Mungkin majelis menyusun pertimbangan hukum yang komprehensif, bermutu, disertai kajian-kajian ilmiah, dilandasi beragam yurisprudensi. Tetapi, faktanya? Berdasarkan salinan putusan perkara David yang diperoleh hukumonline, tidak tercatat perubahan signifikan yang dilakukan majelis.  

Dari lima poin keberatan, majelis menganggap empat keberatan David Nusa tidak dapat dibenarkan karena judex factie tidak salah menerapkan hukum. Sementara, poin yang ditanggapi majelis hanya terdapat pada poin ke-dua keberatan David Nusa. Pada poin itu, pihak David menganggap judex factie tidak menerapkan hukum pembuktian. Intinya, judex factie tidak mempertimbangkan alat bukti yang disodorkan.

Terhadap poin ini, majelis kasasi berpendapat, keberatan ini tidak dapat dibenarkan. Karena, keberatan itu mengenai penilaian hasil pembuktian. Dimana hal tersebut tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi. Pasalnya, pemeriksaan kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkannya suatu penerapan hukum, atau hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Untuk membikin pertimbangan seperti itu, majelis kasasi MA membutuhkan waktu hampir satu tahun.    

Bukan itu saja, menurut Lauris Ramli, Kepala Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) Pidana, berkas perkara David baru sampai ke Direktorat Pidana MA pada 9 Juli 2004 sebelum diteruskan kepada para pihak. David sendiri diketahui kabur pada Maret 2004.

Berdasarkan buku III MA tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pada MA dan blue print (cetak biru) MA, alur berperkara di MA dari masuknya berkas sampai pengiriman memakan waktu paling lama antara 8-10 bulan. Untuk kasus David, majelis kasasi membutuhkan waktu satu tahun untuk memutus. Sementara, minutasinya juga memakan waktu yang sama, satu tahun. Total dari masuk sampai proses minutasi memakan waktu dua tahun.   

Atas kejadian itu, pejabat yang berwenang untuk masalah minutasi, Satri Rusad, berargumen lamanya waktu yang ditempuh perkara David itu sebagai hal biasa. Panitera Mahkamah Agung itu mengatakan perkara yang menumpuk di MA begitu banyak. Beban tersebut dirasakan semakin berat mengingat tenaga asisten yang bertugas membuat konsep putusan juga terbatas.

Perihal masalah yang membelit pada proses minutasi itu juga disadari oleh Ketua MA, Bagir Manan. Tercatat, Bagir menyinggungnya saat berpidato ketika MA merayakan hari jadinya ke-59 (19 Agustus 2004, red). Saat itu, Bagir mengatakan banyak cara yang bisa diupayakan untuk membenahi sistem tersebut. Salah satunya dengan menembuskan surat pengantar putusan kepada pencari keadilan. Selama ini putusan hanya ditujukan ke pengadilan.

Pada kesempatan itu, Bagir mengatakan akan membentuk tim kecil yang diketuai Paulus Effendi Lotulung, Ketua Muda Tata Usaha Negara. Misinya, menemukan pokok masalah lambatnya sistem minutasi.  

Saat dikonfirmasi ke Satri, tim tersebut tidak terbentuk. Namun demikian, MA akhirnya membentuk tim kecil untuk membuat pola putusan untuk mempercepat proses minutasi. Tim ini diketuai oleh Mariana Sutadi, Wakil Ketua MA Bidang Yustisial.

Pengetikan

Mendasarkan pada alur berperkara di MA, salah satu masalah yang terdapat dalam proses minutasi terletak pada proses pengetikan. Pengetikan salinan putusan ini ternyata berperan signifikan untuk menentukan cepat tidaknya proses minutasi. Tentu saja hal ini dipandang dari sisi administrasi dan bukan teknis pengambilan putusan majelis. 

Selama ini banyak orang menyepelekan proses pengetikan. Padahal proses ini begitu vital dan mempunyai konsekwensi hukum. Bayangkan jika terdapat salah pengetikan perihal persona in standi (para pihak), pasal yang dikutip sampai besar-kecilnya gugatan (uang) yang dikabulkan MA.  

Di MA, alur pengetikan ini dimulai setelah putusan diambil dalam musyawarah hakim. Ketua Majelis memerintahkan kepada Panitera Pengganti (PP) untuk membuat konsep putusan berdasarkan rekomendasi majelis dalam tempo satu bulan. Konsep ini kemudian diserahkan kepada hakim Pembaca 1 (P1) untuk dikoreksi. Jangka waktunya, satu bulan. Selanjutnya dari P1, konsep diserahkan ke Ketua Majelis untuk koreksi akhir. Setelah draf dianggap final, Ketua, anggota majelis serta PP menandatangani putusan tersebut. 

Usai ditandatangani, putusan masuk dalam tahap pengetikan yang dilakukan oleh juru ketik yang biasa disebut operator. Pada tahap pengetikan ini, prinsipnya, juru ketik hanya mengetik sesuai dengan konsep putusan. Jumlah halaman yang harus diketik berbeda-beda tergantung jenis perkara. sehingga jangka waktu pengetikan juga berbeda.

Setelah proses pengetikan selesai, hasilnya pertamakali diperiksa oleh PP. Setelah itu P1 dan koreksi terakhir oleh Ketua Majelis. Setelah tahap koreksi selesai, mereka membubuhkan tandatangan dalam lembar koreksi putusan tersebut. Selanjutnya PP menyerahkan kepada Asisten Koordinator (askor) untuk diserahkan kepada Direktur terkait dan segera dikirimkan. 

Proses pengetikan yang ruwet tersebut akan semakin ribet ketika prosesnya dilakukan secara manual dengan jumlah juru ketik yang dipunyai MA saat ini yang berjumlah 80 orang. Bayangkan jumlah tersebut harus mengetik ulang berkas masuk di MA, dari mulai dakwaan, permohonan kasasi hingga putusan dari majelis hakim sebelumnya yang berjumlah ribuan.

Tabel Data MA Tahun 2005

Hal

Jumlah

Tenaga Asisten

52

Tenaga Juru Ketik

80

Perkara Putus

12.000

Sudah diminutasi

3.000

Sumber: MA 

Gara-gara masalah ini, sempat muncul ide untuk menggunakan tenaga ketik dari luar. Namun, Susanti Adi Nugroho, hakim agung yang juga anggota tim Mariana menyatakan ide ini terhambat masalah aturan dan sifat kerahasiaan dari perkara. Bagir sendiri sebenarnya memahami persoalan ini Menurutnya, komputerisasi adalah salah satu solusi mempercepat minutasi. Itu sebabnya, Bagir berharap agar para pihak yang mengajukan memori kasasi menyertakan disket atau soft copy.

Mencuatnya gagasan untuk menyertakan softcopy ini dikatakan Susanti akan membantu proses minutasi. Sayang pihak yang berperkara enggan menggunakan cara ini. PN yang diharapkan sebagai pelaksana pada akhirnya terhambat masalah minimnya anggaran.  

Selain menyertakan disket atau softcopy, menggunakan mesin scanner juga menjadi pilihan. Cara ini tercatat pernah dilakukan pada zaman Wakil Ketua MA dijabat H. Taufik. Namun cara ini juga menyisakan kelemahan. Naskah hasil scan tidak selalu sama dengan aslinya. Adakalanya mengalami perubahan yang lumayan banyak.

Sistem Minutasi

Pembahasan tentang masalah pengetikan sengaja dibahas terlebih dahulu untuk mengetahui permasalahan proses minutasi secara teknis dalam alur berperkara. Ternyata, kelemahan minutasi ini tidak hanya terletak dalam segi teknis semata, namun lebih dari itu, sistem minutasi yang diterapkan MA saat ini mengandung beberapa kelemahan. 

Paling tidak, ada dua kelemahan yang terlihat dalam sistem minutasi. Pertama, tentang prosedur minutasi. Kedua, tentang penunjang prosedur minutasi. Berikut penjabarannya.

Pertama, tentang prosedur minutasi. Dalam Buku III MA, diatur bahwa konsep putusan baru dibuat setelah pengucapan putusan oleh majelis kasasi. Dengan memakai konsep ini, salinan putusan tidak bisa langsung jadi, karena masih mengalami proses teknis yang telah dijelaskan diatas. Lamanya proses minutasi di MA ini berbeda jika dibandingkan dengan Mahkamah Konstitusi (MK). 

Pada MA, konsep putusan telah dibuat sebelum pengucapan putusan. Sehingga, berkas putusan bisa diberikan kepada para pihak langsung setelah putusan. konsep seperti di MK ini sebenarnya telah diwacanakan, namun setiap tim di MA tidak satu suara menyikapi wacana ini. Praktis hanya Bidang Peradilan Agama MA saja yang memakai konsep putusan sebelum pengucapan.

Tentang pembuatan konsep putusan sebelum pengucapan sebenarnya pernah dipraktikkan oleh MA. Dikatakan Satri, MA menerapkan sistem itu pada kurun tahun 80-90-an. Menurut Susanti, penggunaan sistem ini dirasakannya beresiko, karena bisa menyebabkan bocornya informasi tentang putusan. Pasalnya, konsep putusan menurut Susanti mencerminkan putusan. Informasi sekarang laku, ujar Susanti. Kemudian sistem tersebut dirubah, sampai saat ini konsep putusan dibuat setelah pengucapan.

Sebaliknya, meletakkan konsep putusan setelah pengucapan bukannya tanpa resiko. Praktik selama ini membuktikan, konsep yang dipakai saat ini mengakibatkan lamanya waktu minutasi. Hasilnya, terbukalah celah yang dimanfaatkan oknum. Modusnya, sama seperti yang dikatakan Susanti, memperdagangkan informasi putusan kepada para pihak. Yang lebih parah, bertindak seolah-olah mampu mempengaruhi sebuah putusan, padahal putusan memang telah jadi. Contohnya, kasus James Darsan Toni. 

Kedua tentang sistem penunjang prosedur minutasi. Misalnya, pembuatan pola putusan MA. MA saat ini mempunyai tiga pola putusan dasar; mengabulkan, menolak serta niet ontvankelijk verklaard (NO-tidak dapat diterima, red). Pembuatan pola putusan ini menurut Susanti dipandang penting. Karena praktik saat ini dianggap kurang efektif.

Contoh, si x dimenangkan oleh PN, ditingkat banding, PT menguatkan putusan PN. Ketika perkara dikasasi, berkas yang masuk harus diketik ulang dari awal sampai putusan kasasi MA.Hal inilah yang dirasakan Susanti kurang efektif sehingga muncul ide untuk membuat pola putusan yang singkat, Ya kalau bisa cuma selembar saja, harap Susanti.  

Sementara itu menurut Susanti, tim kecil yang diketuai Mariana tersebut telah menyelesaikan tugasnya dan tinggal disahkan oleh rapat pleno MA. diperoleh keterangan dari Satri, hasil tim kecil tersebut telah diterima. rencananya, MA secara resmi akan meluncurkan hasilnya pada 16 Pebruari 2006.

Jika dibandingkan antara MA-MK, maka lembaga pimpinan Jimly Asshidiqie ini dalam segi kecepatan dipandang lebih baik dari MA. Memang, membandingkan MA dengan MK terlihat tidak proporsional. Pasalnya, perkara yang masuk ke MK tidak sebanyak di MA. Akan tetapi, semangat untuk melaksanakan prinsip berperkara secara sederhana, cepat, dan biaya ringan serta mudah diakses yang dimiliki dan dijalankan oleh MK patut untuk ditiru, tentu saja dengan meminimalisir peluang bocornya informasi putusan.

Contoh hangat adalah kaburnya terpidana kasus korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp1,2 triliun, David Nusa Wijaya. Banyak yang menilai kaburnya David disebabkan pemberkasan salinan putusan (minutasi) yang berlarut-larut.  

Tidak tanggung-tanggung, berkas putusan David bisa mengendap selama dua tahun di Mahkamah Agung (MA). Dua tahun sejak putusan dibacakan berjalan begitu saja hingga putusannya dikirimkan ke PN Jakarta Barat. Masuk akalkah berkas itu harus memakan waktu hingga dua tahun mulai dari pengetikan hingga dikirimkan dari gedung MA di Medan Merdeka ke PN Jakarta Barat yang hanya berjarak hitungan menit naik kendaraan?

Manajemen perkara yang amburadul patut dianggap sebagai salah satu penyebab bebasnya terdakwa melenggang ke luar negeri, seperti yang dilakukan David. Ia kabur pada saat perkara masih berjalan. Ironisnya, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Imigrasi pun saling tuding, saling menyalahkan atas kaburnya David.  

Berdasarkan penelusuran hukumonline, kasus David diputus di PN Jakarta Barat, tertanggal 11 Maret 2002. pada tingkat banding, PT DKI Jakarta memutus pada 12 Agustus 2002. Di tingkat kasasi, perkara David yang ditangani majelis kasasi yang terdiri dari Achmad Syamsuddin (Ketua) dengan anggota Abdul Kadir Mappong dan I. B. Ngurah Adnyana, baru diputus pada 23 Juli 2003. Artinya dari tingat banding sampai kasasi, majelis membutuhkan waktu selama satu tahun.

Tags: