Hakim Ad Hoc Tipikor, Berjuang Untuk Mendapatkan Hak
Fokus

Hakim Ad Hoc Tipikor, Berjuang Untuk Mendapatkan Hak

Mobil dinas yang seharusnya diperuntukkan bagi hakim ad hoc pun ditukar oleh PN Jakarta Pusat.

Oleh:
Aru
Bacaan 2 Menit
Hakim Ad Hoc Tipikor, Berjuang Untuk Mendapatkan Hak
Hukumonline

 

Perpres 49/2005 tentang Uang Kehormatan Bagi Hakim Pada Pengadilan Tipikor

Pasal 3

Besarnya uang kehormatan bagi hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah sebagai berikut ;

a.      Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tingkat Pertama adalah Rp10 juta

b.      Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tingkat Banding adalah Rp12 juta

c.       Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tingkat Kasasi adalah Rp14 juta

Pasal 4

Selama menjabat Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diberikan fasilitas perumahan, transportasi, dan keamanan yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan

Pasal 5

Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang melaksanakan perjalanan dinas diberikan biaya transportasi dan akomodasi

 

Dalam suatu seminar yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) yang bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Sabtu (18/2), hukumonline berkesempatan mendengar kisah Dudu, Linoch dan Hendra. Berdasarkan penuturan salah satu dari mereka, mereka pada Januari 2006 sempat diminta keluar dari apartemen yang mereka tinggali oleh Ketua PN Jakarta Pusat saat itu, I Made Karna. Alasan Karna, itu adalah permintaan dari Mahkamah Agung (MA).

 

Permintaan ini dirasakan sangat menyakitkan. Pasalnya mereka sebelumnya dijanjikan mendapat fasilitas perumahan oleh pemerintah. Namun ketika mereka menerima dengan ikhlas saat menempati satu apartemen untuk ditempati bertiga, mereka justru diminta keluar untuk menyewa tempat tinggal dengan biaya sendiri tanpa alasan yang jelas.

 

Kendati demikian, para hakim ad hoc ini tidak menyerah. Bermodalkan kekompakan yang didapatkan saat tinggal satu atap, mereka bergegas melobi Sudi Silalahi, Menteri Sekretaris Kabinet. Hasilnya, mereka masing-masing mendapatkan satu apartemen yang dapat dipergunakan per-Pebruari 2006. Lokasinya tetap di tempat yang lama, yakni apartemen rumah dinas hakim agung yang terletak di Kemayoran.

 

Bukan hanya fasilitas perumahan yang diperjuangkan oleh hakim ad hoc. Untuk menambah penghasilan yang dirasakan minim, mereka juga mengajukan permohonan ke Departemen Keuangan (Depkeu) untuk mendapatkan uang tunjangan operasional sidang. Sekali lagi, perjuangan mereka berhasil.

 

Kini mereka mendapatkan uang tunjangan operasional Rp300 ribu yang diberikan paling banyak empat kali sebulan. Tunjangan ini bukan hanya dinikmati mereka bertiga, hakim karir pengadilan Tipikor juga menikmati perjuangan hakim ad hoc ini.

 

Mobil Dinas

Kisah tempat tinggal hakim ad hoc ini hanya sekelumit ‘penderitaan' yang dialami hakim ad hoc. Mereka yang seharusnya mendapatkan fasilitas kendaraan ini lagi-lagi ketiban sial. Pasalnya mobil dinas yang diperuntukkan kepada mereka diganti dengan mobil operasional lama. Sedangkan mobil dinas yang seharusnya mereka nikmati ternyata ditukar oleh PN Jakarta Pusat.

 

Hal ini diakui oleh Budiman L. Sijabat, Panitera PN Jakarta Pusat. Budiman sendiri mengaku tidak tahu apa alasan penggantian mobil dinas itu. Bahkan, ia menuturkan, mobil operasional untuk para hakim ad hoc itu belakangan diminta balik oleh PN Jakarta Pusat. Alasannya, mobil tersebut tidak diperuntukkan bagi pengadilan Tipikor. Sedangkan mobil dinas hakim ad hoc tetap di PN Jakarta Pusat.

 

Sementara, Soeparno, Direktur Hukum dan Peradilan MA mengakui kondisi sulit yang dialami oleh pengadilan korupsi. Ia menyadari jika fasilitas yang dijanjikan kepada hakim ad hoc tersebut sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan. Masalahnya, anggaran yang dimiliki MA untuk memenuhi fasilitas tersebut sangat terbatas.

 

Jangankan untuk hakim ad hoc dengan masa tugas nol tahun seperti Dudu, Hendra dan Linoch. Untuk Hakim karir dengan masa jabatan puluhan tahun bahkan ada yang tidak memiliki rumah. Bukan hanya rumah, uang tunjangan hakim Tipikor juga dirasakan cukup besar jika dibandingkan hakim karir.

 

Komentar seperti ini juga pernah didengar oleh Hendra. Menurut mantan notaris ini, seharusnya semua pihak bisa membedakan tugas hakim biasa dengan hakim Tipikor. Tugas kita ini sangat berat dengan resiko yang sangat tinggi, kata Hendra.

 

Cerita minimnya fasilitas hakim ad hoc ini ternyata ‘menular' ke tempat pengadilannya yang menempati gedung Upindo, yang terletak di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Ketika pertama kali masuk ke ruang sidang, kesan pertama yang didapatkan adalah ruang sidang luas yang nyaman dengan sejuknya hembusan air conditioner.

 

Nyamannya ruang sidang ini ternyata berbanding terbalik dengan kondisi ruang hakim. Dikatakan salah satu hakim ad hoc, kondisi ruangan untuk para hakim ini sangat parah. Disana tidak ada lemari untuk menyimpan toga hakim. Sehingga para hakim selalu membawa dari rumah seragam kebesarannya.

 

Untuk hal ini ada cerita lucu bagaimana sidang ditunda gara-gara salah satu hakim lupa membawa toganya. Ya harus balik dulu untuk mengambil toga, katanya. Namun demikian, ditengah minimnya fasilitas, Hendra mengaku, dirinya dan dua rekan hakim ad hoc lainnya tetap bertekad untuk mengemban tugas dengan sebaik-baiknya. Tekad yang bergema sepanjang hukumonline mengikuti perjalanan tiga hakim adhoc Tipikor ke Bandung, akhir pekan di pertengahan Februari 2006.

Berbicara pengadilan Tindak Pidana  Korupsi (Tipikor), tentu kita teringat akan kiprah hakim ad hoc-nya. Mereka adalah sosok orang luar yang diharapkan mendobrak pola pikir lama hakim karir yang sudah tidak lagi dipercaya oleh masyarakat. Saat ini total, ada 21 hakim ad hoc Tipikor yang didapatkan dari dua kali proses pemilihan. Pemilihan pertama berhasil menyaring sembilan hakim ad hoc dengan komposisi tiga hakim untuk tiap tingkat pengadilan.

 

Sementara, 12 hakim ad hoc hasil seleksi kedua sampai saat ini belum dilantik. Praktis, sembilan hakim hasil seleksi pertama yang harus bekerja keras untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan KPK. Dilihat dari beban kerja, maka tiga hakim di tingkat pertama, yakni, Dudu Duswara Machmudin, Achmad Linoch dan I Made Hendra Kusuma adalah hakim ad hoc paling berkeringat.

 

Meski dianggap paling berkeringat, kerja keras mereka tidak diganjar dengan layak oleh pemerintah. Bahkan fasilitas paling mendasar, yakni perumahan yang seharusnya mereka dapatkan harus mereka perjuangkan sendiri. Perumahan ini memang mendasar, karena mereka berasal dari luar Jakarta. Dudu, Bandung, Linoch, Jember dan Hendra asli Bali.  

Tags: