Membuat Garis Pemisah Wewenang Penyidikan dan Penuntutan
Resensi

Membuat Garis Pemisah Wewenang Penyidikan dan Penuntutan

Kekuasaan yang berlebihan dari sekelompok elit yang menamakan diri ‘wakil masyarakat' dapat berkembang menjadi tirani, sehingga perlu diatur batas dari kekuasaan pemerintah itu terhadap rakyatnya (John Stuart Mills).

Oleh:
Aru
Bacaan 2 Menit
Membuat Garis Pemisah Wewenang Penyidikan dan Penuntutan
Hukumonline

 

 

Salah satu 'kebiasaan' OCK yang patut ditiru adalah mendokumentasikan berkas-berkas perkara kliennya ke dalam sebuah buku. Sejumlah buku karya OCK kini bisa ditemui di gerai toko-toko buku. Buku Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi bisa disebut sebagai karya terbaru yang dia terbitkan.

 

Berbeda dari 'kebiasaan' mendokumentasikan berkas perkaranya, buku Pengawasan justeru tidak terkait secara langsung dengan perkara yang dia tangani. Buku ini  lebih pada hasil pemikiran ilmiah yang dituangkan dalam sebuah buku karena diangkat dari tesis magisternya di Pascsarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

 

Buku tersebut diawali dengan pembahasan atas sistem peradilan pidana-Criminal Justice System—di Indonesia—yang terdiri dari empat sub-sistem; Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang tercermin dalam hukum acara pidana dan berpatokan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

KUHAP menyebutkan wewenang penyelidikan, penyidikan, penangkapan dan penahanan berada di tangan Kepolisian. Sedangkan penuntutan berada ditangan Kejaksaan. Pemisahan kekuasaan ini oleh penulis dianggap cukup ideal, karena pengawasan yang sifatnya timbal-balik antara Kepolisian dan Kejaksaan dapat terjadi.

 

Akan tetapi, pemisahan kekuasaan ini dikecualikan sendiri oleh KUHAP, tepatnya pada pasal peralihan, pasal 284 ayat (2) yang menyebutkan Kejaksaan masih dapat bertindak selaku penyidik untuk perkara tertentu—termasuk korupsi—selama kurun waktu dua tahun semenjak diundangkannya KUHAP.

 

Berdasarkan pasal peralihan itu penulis berpendapat kekuasaan Jaksa sebagai penyidik sebenarnya telah lama tiada. Namun demikian, kenyataannya sampai saat ini pihak Kejaksaan tetap menggunakan pasal itu untuk melanggengkan kewenangan gandanya. Oleh karena itulah penulis menyarankan agar tidak menimbulkan tafsir yang berbeda, pasal tersebut segera dicabut.

 

Kewenangan ganda Jaksa sebagai penyidik-penuntut sekaligus dalam ‘satu atap' tersebut membuka peluang terjadinya permainan suatu perkara melalui berbagai cara yang hanya diketahui oleh pihak Kejaksaan. Hal mana diakibatkan fungsi pengawasan yang tidak berjalan.

 

Pengawasan atau kontrol yang tidak berjalan itu menurut penulis melahirkan pelanggaran serius terhadap KUHAP. Misalnya saja pelanggaran pasal 109 KUHAP; Dalam keadaan umum, penyidik harus melaporkan kepada penuntut umum saat dimulainya penyidikan suatu perkara. Apabila penyidik tersebut berasal dari instansi yang sama, penyidik tidak pernah dan merasa tidak perlu memberitahukan kepada penuntut umum.

 

Ditambahkan penulis, dalam perkara korupsi seringkali penyidik berasal dari Kejaksaan Agung yang dari segi kepangkatan, senioritas dan pengalaman lebih tinggi dari penuntut umum dari Kejaksaan Negeri. Sehingga, jaksa penyidik tidak merasa perlu untuk memberitahu dimulainya penyidikan kepada penuntut umum yang notabene berpangkat lebih rendah (hal 121).

 

Dalam praktek, kenyataan yang ada lebih aneh lagi. misalnya saja pada kasus tindak pidana korupsi dengan terdakwa Ida Bagus Oka, mantan Gubernur Bali. Kasus ini cukup unik, diketahui dalam perkara tersebut, laporan informasi yang mendahului penyidikan berasal dari Jaksa bernama Urip Tri Gunawan.

 

Berikutnya, Jaksa yang sama kemudian bertindak selaku penyidik, membuat berita acara pemeriksaan. Selanjutnya, lagi-lagi Jaksa yang sama, yakni Urip bertindak selaku penuntut umumnya. Artinya, Jaksa Urip tidak hanya bertindak sebagai penyidik-penuntut saja. Lebih dari itu, Jaksa Urip juga bertindak sebagai pelapor sekaligus penyelidiknya (hal 12). Menurut penulis, sangat sulit seseorang (Urip, red) bisa obyektif untuk mengawasi dirinya sendiri.

 

Kewenangan ganda yang rawan disalahgunakan itu berbeda misalnya jika dibandingkan dengan kedudukan penuntut umum di Inggris. Di Inggris, hubungan antara Polisi dan penuntut umum terpisah, namun, dalam pengawasan terhadap penyidikan berada ditangan Jaksa yang bekerjasama dengan polisi.

 

Kembali ke KUHAP, ternyata ada kejadian menarik yang melatarbelakangi kelahiran pasal 284 ayat (2). Syahdan, pada kurun 1981, terjadilah pertemuan tiga petinggi institusi penegak hukum saat itu. Yakni, Awaloeddin Djamin (Kapolri), Ali Said (Jaksa Agung) dan Mudjono (Menteri Kehakiman). Dalam pertemuan yang ternyata membahas RUU KUHAP itu disepakati suatu pemisahan kekuasaan penyidikan dan penuntutan.

 

Dalam pertemuan Ali Said tidak berkeberatan jika tugas penyidikan yang saat itu menjadi kewenangan Kejaksaan (berdasarkan HIR) dialihkan ke Kepolisian. Hal itu dilakukan mempertimbangkan hak azasi tersangka dan mencegah pemyalahgunaan kekuasaan. Meski legawa, toh hal tersebut pada akhirnya dicapai dengan kompromi akibat perdebatan alot di DPR. Komprominya, dibuat pasal 284 (2) sebagai pasal peralihan yang mengatur penyerahan kekuasaan itu dalam dua tahun pasca berlakunya KUHAP.

 

Sebenarnya, perdebatan soal pemisahan kekuasaan itu sebelumnya telah mencuat dalam hearing Komisi III DPR pada 1973. pada hearing diusulkan pemisahan kekuasaan penyidikan-penuntutan kepada dua lembaga berbeda dengan alasan yang hampir sama saat terjadinya kesepakatan ‘tripartit' Kapolri-Jaksa Agung dan Menkeh.

 

Meski kekuasaan Jaksa hanya diberikan selama dua tahun pasca KUHAP alias sementara, pada akhirnya kekuasaan tersebut tetap disandang dan diatur dalam UU 5/1991 tentang Kejaksaan. Kekuasaan tersebut pada akhirnya semakin ditegaskan dalam UU Pemberantasan Korupsi. Yakni; UU 3/1971 jo UU 31/1999 jo UU 20/2001.

 

Sedikit disinggung oleh penulis tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Menurut penulis, Komisi amanat UU 20/2002 yang mempunyai kekuasaan penyelidikan, penyidik dan penuntutan itu tidak akan berjalan efektif. Pendapat ini didasarkan pada peristiwa bubarnya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Disambungnya, mengutip pendapat Indriyanto Seno Adjie, advokat, kewenangan Komisi untuk mengambilalih kewenangan dan kekuasaan Kepolisian dan Kejaksaan akan menimbulkan polemik institusional. Karena kewenangan menyangkut gengsi insitusional (hal 147).

 

Berdasarkan beberapa contoh kasus penyalahgunaan kekuasaan Jaksa itu, penulis berpendapat cara yang paling utama dalam pengawasan Jaksa adalah mengaplikasikan segregation of duty (pemisahan tugas, red) sebagaimana telah ditetapkan dalam konsep dasar KUHAP. Ini berarti prinsip ‘satu atap' dihapuskan dengan tujuan menghindari penumpukan kekuasaan yang cenderung menumbuhsuburkan korupsi.

 

Buku yang merupakan tesis dan dipertahankan di program pascasarjana Universitas Padjadjaran pada 2003 ini cukup menarik. Latar belakang sejarah pembentukan KUHAP menjadi kekuatan utama dengan ditunjang beberapa lampiran contoh kasus terkait denagn tema buku.

 

Sayangnya, buku ini masih mengacu pada UU Kejaksaan yang lama. Selain itu, kekuasaan Jaksa dalam Rancangan KUHAP yang baru kurang dibahas, ditambah, perbandingan kekuasaan dan pengawasan terhadap Jaksa selaku penyidik di negara lain kurang dibahas secara komprehensif.

Pernah menyatakan pensiun, lalu kembali beraktivitas sebagai advokat. Nama Otto Cornelis Kaligis (OCK) terus menghiasi hiruk pikuknya dunia peradilan. Ia ikut menjadi pengacara tiga petinggi Bank Mandiri – ECW Neloe, I Wayan Pugeg dan M. Soleh Tasripan-- yang dibebaskan dari tuduhan korupsi oleh PN Jakarta Selatan.

 

 

Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi

 

Penulis : O.C. Kaligis

Penerbit : Alumni 2006

Halaman : 298 + xiv, termasuk lampiran

Halaman Selanjutnya:
Tags: