Tuduhan Suap Terhadap Jaksa Laksana Berkomplot Menangkap Angin
Fokus

Tuduhan Suap Terhadap Jaksa Laksana Berkomplot Menangkap Angin

Nyanyian lama itu bergaung lagi. Jaksa dituduh menerima ‘uang terima kasih' dari terdakwa. Pembuktiannya diserahkan kepada penuduh.

Oleh:
CR
Bacaan 2 Menit
Tuduhan Suap Terhadap Jaksa Laksana Berkomplot Menangkap Angin
Hukumonline

 

Penyalahgunaan kekuasaan itu tentu saja kontraproduktif bagi penegakkan hukum ke depan nantinya. Bagaimana masyarakat mempercayai hukum, kalau aparat penegakkan hukumnya tidak bisa membentengi diri dari jerat korupsi.

Ada banyak celah yang bisa dimainkan oleh jaksa diantaranya mulai pada tahap penyidikan, surat dakwaan sampai ke penuntutan. Jaksa biasanya sering melakukan negosiasi atau tawar-menawar harga dengan pihak tersangka.

Pada proses tawar menawar tersebut jaksa juga terkadang menjanjikan paket pengurusan dengan Majelis hakim yang menanganinya. Jaksa berdasarkan tawar menawar meminta kepala kejaksaan agar tuntutan terhadap terdakwa diringankan. Berat ringannya tuntutan kemudian yang dikeluarkan oleh kajari ditentukan oleh besarnya uang atau pemberian lainnya dari terdakwa.

Salah satu contoh bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat Kejaksaan terlihat pada kasus adanya dugaan penyimpangan prosedur dan administrasi dalam perkara prsikotropika dan narkotika terpidana Hariono Agus Tjahjono, pengedar 20 Kg sabu-sabu yang divonis 3 tahun penjara oleh majelis hakim PN Jakarta Barat.

 

Hasil eksaminasi yang dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum Prasetyo menemukan banyak kejanggalan yang terjadi. Diantaranya vonis majelis hakim yang tidak jauh berbeda dari tuntutan jaksa dan tidak diajukannya rencana tuntutan (rentut) ke Kejagung.

 

Padahal setiap perkara psikotropika dan narkotika dengan barang bukti di atas 100 gram harus direntutkan ke Kejagung. Sampai sejauh ini empat orang JPU yang menangani perkara Hariono diusulkan untuk diberhentikan secara tidak hormat.

 

Usulan tersebut direkomendasikan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan Acmad Loppa kepada Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Keempat JPU yang dimaksud adalah Jeffry Huwae, Ferry Panjaitan, A Mangotan dan Danu Sebayang.

 

Jaksa Agung kemudian membentuk Majelis Kehormatan Jaksa (MKJ) untuk memberikan kesempatan kepada empat JPU Hariono membela diri sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, jaksa yang diberhentikan tidak hormat lebih dulu diberi kesempatan membela diri di depan sidang majelis kehormatan jaksa.

 

MKJ yang untuk pertama kalinya diumumkan ke publik itu pun mendapat respon yang negatif dari masyarakat. Karena sidang dilakukan secara tertutup dan hanya terbuka untuk kalangan profesi tertentu seperti Persatuan Jaksa (persaja) dan Persatuan Purnawirawan Jaksa (Pernaja).

 

Puspdo Adji, Wakil Ketua Komisi Kejaksaan menyayangkan hal tersebut. Menurut dirinya bila merujuk pada Surat Keputusan Jaksa Agung No. 026/A/JA/03/2006 tentang MKJ.

 

Pasal 12 ayat (1) menyebutkan bahwa keputusan sidang MKJ adalah hasil pemeriksaan yang dilakukan selama sidang tersebut dan diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat yang sidangnya tertutup.

 

Puspo mengatakan bahwa proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara tertutup bukan proses persidangan. Proses persidangan sebaiknya dilakukan secara terbuka, tandasnya.

 

Hal lain yang juga menjadi pertanyaan adalah tentang barang bukti perkara ini. Jaksa Agung mengatakan, barang bukti dalam perkara Hariono, yaitu sebuah mobil BMW dan uang Rp 1,05 miliar, sudah dikembalikan kepada terdakwa. Padahal barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana seharusnya disita untuk negara.

 

Penyitaan barang bukti untuk negara ini misalnya terjadi dalam putusan terhadap perkara Ricky Chandra. Saat itu hakim memerintahkan sebuah mobil Audi yang menjadi barang bukti disita untuk negara.

 

Perkara Hariono mencuat kembali ketika kuasa hukum Ricky Chandra alias Akwang yang pada medio Februari lalu dipidana penjara seumur hidup oleh pengadilan yang sama membeberkan fakta persidangan bahwa 20 kg sabu-sabu telah hilang selama proses persidangan. 

    

Akan tetapi Rusdi membantah bahwa 20 kg sabu-sabu itu hilang dengan dalih sudah dimusnahkan pada hari anti madat sedunia. Rusdi juga membantah bahwa dirinya tidak menjalankan prosedur rentut ke Kejagung dengan dalih pergi ke luar negeri.  Rusdi memerinci kronologi rentut itu yaitu pada 20 November 2005 para JPU mengajukan rentut tiga tahun penjara bagi Hariono yang meningkat delapan tahun di Kasipidum Kejari Jakbar dan ditambah dua tahun lagi oleh Kepala Kejari Jakbar.

 

Rentut itu dilanjutkan lagi ke Aspidum Kejati DKI Jakarta menjadi 12 tahun penjara, dan terakhir oleh Kepala Kejati DKI Jakarta Rusdi Taher diusulkan rentut menjadi 15 tahun. Nyatanya, di persidangan keempat jaksa tetap mengajukan tuntutan tiga tahun, jauh dari tuntutan yang diperintahkan atasan mereka.

 

Pertanyaan yang layak dikemukakan adalah jika keempat JPU tersebut tidak melaporkan tuntutan dan vonis Hariono ke atasan, mengapa atasan mereka yang terdiri dari sejumlah pejabat seperti Kepala Seksi Pidum, Kepala Kejari Jakarta Barat, Asisten Pidum, dan Kepala Kejati DKI tidak menanyakannya? Sampai tulisan ini diturunkan, vonis atas keempat JPU belum turun.

Sudah menjadi rahasia umum, suap menyuap sulit dibuktikan secara materiil. Para pihak yang bertransaksi sangat mengerti hukum sehingga menggunakan cara-cara yang tidak dapat dibuktikan secara hukum.

Dari sisi hukuman, relatif tidak memberi efek jera. Jarang ada hukuman berat dan tegas terhadap jaksa dan kemudian dibawa ke pengadilan umum. Apabila terdapat kesalahan yang masuk kriteria tindak pidana hanya diproses dengan hukuman administratif. Bukankah menerima suap itu merupakan tindak pidana, dan bukan semata-mata urusan kode etik jaksa?

 

Penyalahgunaan kekuasaan yang lain juga terjadi dalam perkara PT Industri Sandang Nusantara. Terbetik kabar bahwa jaksa CKY, WS dan IGBS menerima dana dari tersangka AKP Suparman yang diperolehnya dari saksi Tintin Surtini selaku agen jasa penjualan aset PT ISN saat melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi perusahaan tersebut.

 

Akan tetapi berdasarkan hasil pemeriksaan Jamwas terhadap perkara itu Tintin mengaku hanya  diperiksa lima penyidik dari kepolisian dan tidak ada jaksa. atas hasil pemeriksaan itu, tim Pengawasan Kejagung yang diketuai Irpidsus dan Datun Charles Mindamora itu tidak akan memeriksa kembali tiga mantan jaksa KPK tersebut.

 

Kasus ini mencuat pada akhir Maret lalu, penyidik KPK AKP Suparman yang ditangkap dan diperiksa di KPK terkait pemerasan terhadap saksi Tintin membeberkan bahwa seorang JPU KPK turut menerima sejumlah dana dari uang yang disetor Tintin.

 

Kasus yang mirip pernah menimpa I Ketut Murtika. Ketika itu, Murtika diisukan menerima cipratan duit dari pengacara Probosutedjo. Namun setelah diperiksa ternyata dugaan itu tidak terbukti. Kasus lain menimpa jaksa dalam perkara pembebasan lahan JORR di Jakarta Timur. Terdakwa mengatakan diperas oleh jaksa ratusan juta.

Kali ini nyanyian itu bukan datang dari sembarang orang. Dia adalah Achmad Djunaedi, mantan Direktur Utama PT Jamsostek. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Djunaedi bersalah dan memvonisnya delapan tahun penjara. Diwarnai insiden kecil seusai sidang, Djunaedi langsung bernyanyi: sudah ada duit yang kalau dihitung-hitung berjumlah 600 juta untuk ‘mengamankan' dakwaan.

 

Djunaedi tak menyebut langsung kapan jaksa menerima uang sebesar itu. Yang muncul adalah inisial AS, seorang jaksa di Kejari Jakarta Selatan dan BR, jaksa yang bertugas di Kejaksaan Agung. Adakah uang itu salah sasaran? Faktanya, jaksa penuntut umum Heru Chairuddin tetap menuntut Djunaedi 16 tahun penjara, dan hakim menghukum separuhnya. Kegeraman Djunaedi bertambah ketika jaksa menyatakan banding atas vonis delapan tahun itu.

 

Kejaksaan Agung langsung bereaksi. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh meminta Djuaedi membuktikan tuduhannya. Orang yang menuduh harus membuktikan, begitulah dalilnya. Arman –begitu Abdul Rahman Saleh dipanggil—justeru mengecam Djunaedi karena sama saja telah berkomplot melakukan perbuatan tidak terpuji. Pertanyaannya: mengapa Djunaedi baru nyanyi sekarang, ketika vonis sudah jatuh? Mengapa ia tak melaporkan upaya pemerasan terhadap dirinya agar pelaku bisa ditangkap, seperti yang dilakukan Walter Sigalingging?

 

Banyak pertanyaan yang bisa disusun. Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi pekerjaan berat Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinan Abdul Rahman Saleh. Korps adhyaksa  saat ini tengah menjadi sorotan publik. Publik acapkali disuguhi berita miring seputar oknum jaksa yang terindikasi melakukan memeras, meminta, ataupun menerima sejumlah uang dari tersangka/terdakwa.

 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam menjalankan kewenangannya, Jaksa terkadang melakukan penyimpangan terhadap aturan yang berlaku bahkan terkadang melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Penyalahgunaan kekuasaan ini kerap terjadi karena Jaksa memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan apakah seseorang harus diperiksa oleh pengadilan atau tidak. Apakah seorang tersangka akan dijatuhi hukuman atau tidak.

Tags: