Pemerintah Ngotot Pajak Lingkungan Masuk
RUU Pajak dan Retribusi Daerah

Pemerintah Ngotot Pajak Lingkungan Masuk

Seakan tak mengenal istilah langkah surut, pemerintah menegaskan kembali sikapnya yang akan memasukkan Pajak Lingkungan dalam RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Oleh:
Tif/Lut
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Ngotot Pajak Lingkungan Masuk
Hukumonline

 

Pajak Lingkungan ini nantinya akan diberikan pada masyarakat yang tinggal di sekitar daerah industri. Kesepakatan ini merupakan penegasan kembali kesepakatan yang telah dicapai oleh DPR RI dan pemerintah mengenai masalah yang sama.

 

Panja juga menyetujui untuk menyerahkan kepada Pemerintah agar dapat melakukan pengkajian lebih mendalam mengenai metode penerapan Pajak Lingkungan, baik alternatif penerapan dalam bentuk Taxes (Pajak) atau dalam bentuk Fee atau Charge (denda). Ketentuan mengenai substansi pengenaan Pajak Lingkungan ini akan diusulkan untuk masuk dalam pembahasan RUU Perubahan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

 

Penolakan terjadi dimana-mana

Meski secara keseluruhan Panja menyetujui dimasukkannya klausul Pajak Lingkungan dalam pembahasan RUU Perubahan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun, ada anggota DPD yang menolaknya.

 

Eka Komariah, anggota DPD dari Kalimantan Timur menilai, sebaiknya tidak perlu ada pajak lingkungan. Menurutnya, pajak lingkungan tidak akan mendukung sektor riil. Bahkan, justru akan menjadi dilematis bagi daerah, karena akan ada pungutan ganda : pajak dan retribusi.

 

Jika nanti pajak lingkungan ini diterima daerah, mungkin jumlahnya tidak akan sebanding dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan perusahaan. Akhirnya daerah akan kewalahan untuk atasi masalah lingkungan. Rasanya lebih baik tidak usah ada pajak lingkungan, kata Eka yang juga Wakil Ketua Panitia Ad Hoc IV DPD RI.

 

Penolakan serupa juga pernah disampaikan kalangan pengusaha. Bahkan, Menteri Perindustrian Fahmi Idris juga menyatakan keberatannya. Ia menilai tidak perlu ada pajak lingkungan karena yang sesungguhnya diperlukan adalah penegakan hukum

lingkungan. Perlu sanksi tegas kepada perusahaan yang membuang limbah

tanpa diolah sehingga mencemari lingkungan.

 

Menurut saya enggak perlu lah. Pajaknya cukup pajak yang sudah ada sajalah, pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan, dan sebagainya, yang sudah cukup berat. Jangan sampai nanti mereka yang mencemari lingkungan bilang, 'Saya sudah bayar pajak'. Kalau mengenai pencemaran, sebaiknya sanksi, ujar Fahmi Idris. Saat ini, kata Fahmi, daya beli masyarakat sedang menurun sehingga industri sedang mengalami tekanan berat.

 

Pada kesempatan lain, Ketua Komite Pemulihan Ekonomi Nasional Sofjan Wanandi dan Wakil Ketua Kadin Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Sistem Fiskal

Hariyadi Sukamdani menyatakan penolakan atas Pajak Lingkungan dalam konferensi

pers di Jakarta. Pajak tersebut dinilai merupakan bentuk legalisasi ekonomi biaya tinggi, sekaligus menjadi disinsentif bagi upaya perlindungan lingkungan.

 

Hariyadi menjelaskan, perwakilan dunia usaha dalam tim review RUU untuk mengubah UU Nomor 34 Tahun 2000 itu sejak semula telah menolak usulan adanya pajak lingkungan. Melalui perdebatan sengit dalam pembahasan tim kajian hingga

akhir tahun 2005, pemerintah mengakui usulan pajak lingkungan lebih dilatarbelakangi kepentingan fiskal, bukan kepentingan lingkungan. Pajak ini arahnya lebih pada kepentingan fiskal, tapi memakai terminologi lingkungan, ujarnya.

 

Penyederhanaan aturan pajak dan retribusi daerah, melalui penentuan obyek pajak oleh pemerintah pusat, diakui para pengusaha ini sebagai langkah positif. Akan tetapi, jika penyederhanaan itu dikompensasikan dengan pajak lingkungan, mereka yakin iklim usaha tidak akan membaik.

 

Sampai sekarang belum terlihat secara konkret apa yang sudah dihasilkan pemerintah setelah keluarnya inpres (Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi). Sekarang keluar usulan pajak lingkungan ini, yang justru melegalkan ekonomi biaya tinggi, kata Hariyadi sambil menambahkan bahwa bagi industri besar, pengenaan pajak lingkungan juga membuat perusahaan enggan mengeluarkan dana lebih besar untuk menggunakan teknologi tinggi bagi pengelolaan dampak lingkungan.

 

Menanggapi banyaknya penolakan atas inisiatif pemerintah tentang Pajak Lingkungan, Anggito mengatakan bahwa usulan pemerintah masih terbuka didiskusikan. Proses pembahasan RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah itu sudah di DPR. DPR pasti akan mengundang pengusaha untuk dimintai masukan, ujarnya.

 

Anggito menyatakan, dana dari pajak lingkungan nantinya akan dititikberatkan untuk investasi daerah terutama untuk memperbaiki masalah lingkungan di daerah masing-masing.Kegiatan industri pasti menimbulkan efek ke lingkungan sehingga harus ada upaya mitigasi, katanya.

 

Selain penambahan pajak baru, lanjut Anggito juga diusulkan penurunan tarif pajak lainnya sehingga tak memberatkan dunia usaha. Misalkan menurunkan tarif pajak kendaraan bermotor (PKB) dan pajak penerangan jalan (PPJ), katanya.

PPJ diusulkan maksimal sebesar 3 persen bagi industri yang menghasilkan sendiri listriknya, sebelumnya diterapkan tarif yang sama bagi semua wajib pajak, yakni 10 persen. PKB diusulkan 1-2 persen, sebelumnya berkisar 1-1,5 persen.

 

Pajak Sarang Burung Walet

Sementara pajak baru lainnya yang dimasukkan dalam RUU PDRD adalah pajak Sarang Burung Walet dengan tarif 10 persen. Basis pajak didasarkan pada nilai jual sarang burung walet. Dasar pertimbangan penerapan pajak ini adalah karena tidak lagi dikenakan PPN dan untuk memindahkan dari pajak pusat ke pajak daerah.

 

Anggito menyatakan bahwa Pasal 158 ayat (2) UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan undang-undang. Ia menjelaskan bahwa yang terjadi saat ini adalah open list yaitu daerah dapat mengusulkan pajak baru.

 

Ini harus dievaluasi, karena menambah beban. Baik beban pembuatan Perda, maupun beban pada Pemerintah Pusat melakukan evaluasi setiap waktu dan juga membebani pembayar pajak, kata Anggito.

Kengototan pemerintah kali ini disertai dengan segudang alasan dan janji berupa kompensasi. Bahkan, Kepala Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerja Sama Internasional (Bapekki) Depkeu Anggito Abimanyu berani memastikan bahwa Pajak Lingkungan ini akan menggantikan berbagai pungutan retribusi daerah yang jumlahnya mencapai 250 item.

 

Retribusi yang hilang tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha, lalu lintas barang dan jasa, yang bersifat administratif, antara lain Restribusi Limbah Cair, Retribusi Pemeriksaan Amdal, Retribusi Surat Izin Tempat Usaha, Retribusi Izin Usaha Industri, Retribusi Tanda Daftar Perusahaan, Tanda Daftar Industri, Tanda Daftar Gudang, Retribusi Pemeriksaan dan Pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Retribusi angkutan barang dan jasa antar daerah.

 

Bukan hanya itu. Pajak Lingkungan ini juga akan meniadakan berbagai macam sumbangan 'wajib' yang selama ini ditarik oleh daerah. Nanti akan ada perluasan basis perpajakan yang lebih pasti berdasarkan pada nilai produksi (HPP) bagi manufaktur dengan omset lebih dari Rp 300 juta per tahun, ujar Anggito dalam rapat dengan PAH IV DPD di Gedung Nusantara IV DPD RI, Jakarta, Selasa (23/5).

 

Dalam rapat tersebut, baik Panja maupun pemerintah telah menyetujui agar Pajak Lingkungan sebesar 0,5 persen terhadap perusahaan manufaktur beromzet di atas Rp 300 juta per tahun itu dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disampaikan pemerintah ke DPR sebagai prioritas pembahasan.

Tags: