Problem Finansial LBH dan APBD
Fokus

Problem Finansial LBH dan APBD

Perdebatan tentang perlu tidaknya bantuan dana dari APBD untuk operasional LBH-LBH di daerah.

Oleh:
CRR
Bacaan 2 Menit
Problem Finansial LBH dan APBD
Hukumonline

Mundurnya sepuluh anggota badan pengurus beberapa waktu lalu YLBHI ditengarai berkaitan dengan sejumlah persoalan, antara lain donasi dari pihak ketiga. Masuknya pengusaha ke jajaran Dewan Pembina dianggap bisa mempengaruhi independensi Yayasan.

 

Donasi pihak ketiga untuk kegiatan LBH telah menjadi perdebatan. Pada waktu Pertemuan Puncak Akses Terhadap Keadilan dan Bantuan Hukum yang dihadiri Presiden SBY, April lalu, masalah ini kembali mencuat. Pemerintah berjanji akan memberikan bantuan dan memasukkan bantuan itu ke dalam komponen APBN 2007.

 

Di tingkat daerah, komitmen serupa pernah disampaikan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Bantuan untuk LBH dimasukkan ke dalam APBD. Cuma, pangkal perdebatannya adalah kekhawatiran atas independensi LBH yang mendapat kucuran dana dari Pemerintah.

 

Namun, A. Patra M.Zen berpendapat kekhawatiran itu merupakan persepsi yang keliru. Menurut Ketua Ad Interim Badan Pengurus YLBHI itu, LBH diluar negeri seperti di Bolivia dan Venezuela mendapat subsidi dari Pemerintah dan bantuan itu sama sekali tidak mengurangi kadar kekritisan lembaga-lembaga bantuan hukum.

 

Justru dengan subsidi dari APBD, Pemerintah bisa bercermin apakah kebijakan yang dikeluarkannya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) atau tidak. Lebih lanjut, Patra mengungkapkan bahwa kucuran dana APBD pada LSM bisa digunakan untuk mengontrol kebijakan pemerintah. Saya malahan mendorong teman-teman LBH di daerah mendapatkan dana dari APBD, tukas Patra.

 

Patra menjelaskan APBD merupakan salah satu dana yang sebaiknya dimanfaatkan karena dana tersebut bukanlah uang sogokan dari Gubernur, akan tetapi merupakan uang rakyat juga. Bangkrutnya YLBHI berpengaruh pada LBH di daerah lainnya, seperti Surabaya dan Makasar. Selama ini LBH di daerah mendapat subsidi penuh dari YLBHI tanpa pernah mencari dana secara langsung. LBH Surabaya yang memangkas dana operasional dan biaya rutin demi menghemat dana cadangan yang tersisa. Memang bukan berarti LBH Surabaya tidak mempunyai saluran dana lainnya.

 

M. Syaiful Arif, Direktur LBH Surabaya (Maret 2006-Maret 2009) mengatakan tahun ini mereka mendapat subsidi dari Uni Eropa kurang lebih Rp300 juta untuk program pengadilan dan pelanggaran HAM. Terus terang dana tersebut tidak mampu menutup biaya keseluruhan LBH Surabaya sampai akhir tahun, tandasnya. Kebutuhan atas biaya operasional dan biaya rutin mencapai sekitar Rp25 juta per bulan.

 

Pada masa kepemimpinan sebelumnya, menurut Arif, LBH Surabaya pernah mengajukan proposal APBD pada Pemda, akan tetapi sampai sekarang belum terwujud. Dirinya mensinyalir  langkah-langkah LBH yang selama ini berseberangan dengan Pemda merupakan salah satu penyebab belum keluarnya subsidi. Meski begitu Arif belum dapat memastikan apakah pada periodenya sekarang akan mengajukan kembali proposal tersebut. Tetapi kalau memang dana itu keluar dan ada mekanisme yang jelas, kami akan mengajukan proposal sebagai bagian dari hak masyarakat untuk mangakses itu, jelas Arif.

 

Begitu juga dengan LBH Makasar yang belum kecipratan dana APBD. Menurut pengakuan M. Hasbi Abdulah, Direktur LBH Makasar periode 2004-2007, pihaknya akan mendorong untuk mendapatkan dana tersebut melalui Perda tentang bantuan hukum. Pasca pencabutan subsidi penuh dari YLBHI, LBH Makasar mendapat bantuan dari para klien, mitra kerja dan sumbangan masyarakat. YLBHI hanya mensubsidi sebesar Rp1,5 juta per bulan. Namun hal tersebut menurutnya tergantung dari dana yang dimiliki oleh YLBHI.

 

Sejak bulan Januari sampai sekarang, seluruh karyawan, staf dan termasuk saya, belum menerima gaji, jelas Hasbi. Dia mengakui dengan cekak-nya dana, membuat kinerja mereka tidak maksimal. Hasbi mencontohkan seperti penanganan kasus yang seharusnya menghadirkan minimal 2 orang saksi, karena tiris dana maka mereka hanya bisa menghadirkan 1 orang saksi. Advokasi yang pernah mereka tangani pada salah satu warga masyarakat adat Kontu, Sulawesi Tenggara yang dituduh melakukan penyerobotan utang, menjadi salah satu contohnya.

 

LBH Makasar hanya bisa mengirim satu orang staf untuk melakukan advokasi ke sana. Karena kekurangan biaya, kami jarang melakukan evaluasi kajian hukum seperti mendorong ataupun mengkomplain peraturan daerah yang tidak relevan, tutur Hasbi.

 

Tak berbeda rupa dengan LBH Surabaya. Menurut Arif, kebijakan pemangkasan itu sudah dilakukan dengan pengurangan honor karyawan, pembatasan penggunaan telepon, termasuk juga selektif memilih kasus. Dahulu ketika masih disubsidi penuh oleh YLBHI, kami menanggung seluruh biaya advokasi klien, berbeda halnya sekarang yang membuat kami hanya bisa menanggung setengahnya saja, ungkapnya.

 

Untuk isu selain kaum miskin kota, buruh lokal, dan petani, kami tidak berada di garda depan. Kami lebih spesifik memilih isu tertentu, ujarnya. LBH Surabaya kini tak lagi menangani kasus yang berkenaan dengan buruh migran dan isyu perempuan sebagaimana sebelumnya saat YLBHI menggelontorkan subsidi penuh pada LBH di daerah. Kasus yang tidak ditangani lagi oleh LBH Surabaya, diserahkan pengurusan advokasinya pada LSM yang bergerak di bidang yang sama, seperti Walhi dan LSM Perempuan.

 

Dana yang diberikan oleh Uni Eropa, menurut Arif hanya mampu menutupi seperempat biaya operasional. Kekurangan dana operaional itu lantas ditutup dari dana cadangan yang berasal dari tabungan dana bantuan sebelumnya yang berasal dari Asia Foundation tahun 2005. Tapi kita juga tidak tahu sampai kapan bisa bertahan, tuturnya.

 

Senada dengan Arif, Hasbi mengungkapkan saat ini tidak lagi menanggung keseluruhan biaya advokasi seperti yang dulu dilakukan. Hasbi menginformasikan, tahun lalu LBH Makasar mendapat dana sekitar Rp 300 juta yang mencakup keseluruhan program dan biaya operasional. Untuk tahun ini dari Januari sampai bulan Mei, Hasbi mengkalkulasikan tidak sampai Rp 50 juta pengeluaran LBH Makasar setelah melakukan pemangkasan di sana-sini. Pengeluaran sebesar itu sudah mencakup pendampingan kasus, pelatihan hukum, dan lainnya.

 

Arif melihat tidak ada yang salah dengan suntikan dana APBD terhadap LBH. Itu sebenarnya merupakan uang masyarakat. Asalkan penggunaannya jelas dan pengauditannya dipublikasikan, itu bukan menjadi kendala, ulasnya.

 

Di negara lain seperti Afrika Selatan, Legal Aid Board justeru dibiayai oleh Pemerintah. Pembiayaan itu bahkan diatur dalam Konstitusi 1996. Direktur LBH Afrika Selatan, D. Mlambo, mengungkapkan subsidi pemerintah Afrika Selatan mencapai 77,7 juta dolar Amerika Serikat untuk tahun 2006/2007. Menurut Mlambo, bantuan Pemerintah itu tidak mengurangi independensi dan daya kritis Legal Aid Board.  

 

Uang rakyat tapi politis

Kastorius Sinaga, yang pernah menulis desertasi: NGO's in Indonesia, A Study of The Role of Non Governmental Organizations in The Development Process, berpendapat sebaliknya. Memang benar APBD itu uang rakyat akan tetapi disalurkan melalui tangan-tangan yang mempunyai jabatan-jabatan politis, baik di Pemda DKI maupun di DPRD, ungkapnya. Dengan menggunakan dana APBD tersebut ada celah besar yang bisa menggiring YLBHI untuk menangani kasus-kasus yang tidak ada hubungannya dengan kebijakan pemerintah atau malahan YLBHI menjadi underbow Pemda DKI.

 

Di sisi lain, Kastorius menyambut baik bila pemerintah mendukung YLBHI untuk melakukan advokasi kepentingan publik. Cuma mekanismenya harus dipertegas. Sebab pengalaman selama ini, dengan bantuan luar negeri, ada pesan sponsor menyangkut hak-hak politik masyarakat, ungkapnya.

 

Ia memberi contoh yang terjadi di daerah operasi pertambangan Amerika yang meskipun tidak ada hitam di atas putih, tetapi ada semacam gentlemen agreement, komitmen tahu sama tahu. Kastorius juga mengakui bahwa biaya operasional di YLBHI kalau dilihat keseluruhan 14 cabang LBH termasuk dengan di pusat, memang tinggi. Lebih lanjut Kastorius mengungkapkan, sudah terjadi salah setting dalam kepengurusan YLBHI. Menurutnya pelarangan yang pernah dilakukan YLBHI pada LBH di daerah untuk mengakses langsung ke lembaga donor, membuat LBH daerah termanjakan dan tidak belajar mencari sumber dana. Kenapa tidak dari dulu saja LBH di daerah dipersiapkan supaya bisa otonomi secara kelembagaan tanpa harus mengorbankan integritas dan kemandiriannya, tandas pengamat sosial politik ini.

 

Menanggapi adanya kebijakan LBH daerah untuk mencari dana sendiri, Kastorius justru bertanya balik, apakah daerah sudah mempersiapkan mekanismenya? Kalau Anda ke LBH daerah, mereka tidak disiapkan mengurus pencarian dana, tim atau sistem yang memacu mendapatkan fund-rising, ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: