Pluralisme Hukum Harus Diakui
Berita

Pluralisme Hukum Harus Diakui

Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus diakui sebagai sebuah realitas masyarakat.

Oleh:
M-1
Bacaan 2 Menit
Pluralisme Hukum Harus Diakui
Hukumonline

 

Pluralisme Hukum di Indonesia

Diakui Erman, pluralitas sendiri merupakan ciri khas Indonesia. Dengan banyak pulau, suku, bahasa, dan budaya, Indonesia ingin membangun bangsa yang stabil dan modern dengan ikatan nasional yang kuat. Sehingga, menurutnya menghindari pluralisme sama saja dengan menghindari kenyataan yang berbeda mengenai cara pandang dan keyakinan  yang hidup di masyarkat Indonesia.

 

Menurut Prof. Erman, kondisi pluralisme hukum yang ada di Indonesia menyebabkan banyak permasalahan ketika hukum dalam kelompok masyarakat diterapkan dalam transaksi tertentu atau saat terjadi konflik, sehingga ada kebingungan hukum yang manakah yang berlaku untuk individu tertentu dan bagaimana seseorang dapat menentukan hukum mana yang berlaku padanya.

 

Sementara itu, The Commission on Folk Law and Legal Pluralism Prof. Anne Griffith ditemui di sela-sela acara tersebut, menjelaskan bahwa saat ini kita hidup tidak dengan satu hukum tetapi dengan berbagai hukum sehingga pemahaman mengenai pluralisme hukum perlu diberikan kepada pengambil kebijakan, ahli hukum, antopolog, sosiolog dan ilmuwan sosial lainnya.

 

Pendapat senada juga disampaikan oleh Sulistyowati Irianto. Pemahaman mengenai pluralisme hukum penting, ujar pengajar antropologi hukum di Universitas Indonesia tersebut.

 

Pengertian pluralisme hukum sendiri menurutnya senantiasa mengalami perkembangan dari masa ke masa di mana ada koeksistensi dan interelasi berbagai hukum seperti hukum adat, negara, agama dan sebagainya. Bahkan dengan dengan adanya globalisasi, menurut Sulis hubungan tersebut menjadi semakin komplek karena terkait pula dengan perkembangan hukum internasional.

 

Terkait perkembangan hukum dalam era globalisasi, Anna Witasari dalam pemaparannya sebagai pembicara acara tersebut, menyatakan bahwa dengan globalisasi maka hukum negara menjadi semakin tidak mempunyai kekuatan. Hukum negara harus mengakomodasi akibat dari perubahan dalam globalisasi, tutur Anna memberikan solusi.

 

Sementara itu, Guru Besar Hukum Perdata Internasional Universitas Indonesia Prof. Zulfa Djoko Basuki menilai bahwa pluralisme hukum dalam batas-batas negara hanya menyangkut hukum perdata internasional.

 

Terkait pluralisme hukum yang ada Indonesia, Erman menyatakan bahwa kendala terberat adalah dalam mewujudkan kepastian hukum. Hukum di Indonesia menurut guru besar tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor politik. Bahkan pemberantasan korupsi sampai saat ini pun oleh Prof. Erman diakui sangat sulit karena dalam penegakannya banyak mempertimbangkan faktor politik.

 

Pendapat senada juga disampaikan oleh Sulistyowati. Menurutnya, pengaruh politik juga tampak kuat dalam pembentukan peraturan-peraturan daerah (Perda) saat ini. Ditambahkan oleh Sulis, elit daerah saat ini mengalami kebingungan dalam menentukan identitas daerah setelah 32 tahun dalam kungkungan orde baru yang sentralistis.

 

Pasca Orde Baru, daerah menginginkan menemukan kembali identitas masing-masing daerah. Namun disayangkan oleh Sulis, pengertian adat dalam pembuatan Perda seringkali hanya direduksi pada pengaturan mengenai permasalahan tubuh perempuan karena hal itulah yang paling mudah diatur.  Sulis mengharapkan agar Pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, segera mereview berbagai Perda bermasalah.

Demikian pendapat Erman Radjagukguk dalam Kongres Internasional ke-15 Mengenai Pluralisme Hukum yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, Kamis (29/6).

 

Mantan Wasekab itu menjelaskan bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki sistem hukum sendiri yang berbeda antar satu dengan yang lain seperti dalam keluarga, tingkatan umur, komunitas, kelompok politik, yang merupakan kesatuan dari masyarakat yang homogen.

 

Ilustrasi menarik mengenai pluralisme hukum diberikan oleh Prof. Erman terkait berlakunya syariat Islam di Aceh. Guru Besar Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut menilai bahwa saat ini hukum adat dan hukum Islam hidup secara harmonis dalam masyarakat seperti dua sisi koin mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

 

Keserasian hukum adat dan hukum Islam juga dicontohkan oleh Prof. Erman dalam putusan Mahkamah Agung (MA) atas kasus Marunduri Cs melawan Maruhawan Cs pada Perkara Nomor 172 K/SIP/1974. Dalam perkara ini MA menerapkan dua hukum sekaligus, hukum Islam untuk berlaku untuk orang Muslim, sementara hukum adat berlaku untuk non-Muslim.

Tags: