Harini Wijoso Divonis Empat Tahun Penjara
Suap MA

Harini Wijoso Divonis Empat Tahun Penjara

Ada dua dissenting opinion dalam putusan yang diajukan oleh ketua majelis Kresna Menon dan hakim anggota Sutiyono, keduanya merupakan hakim dari unsur karir

Oleh:
Aru
Bacaan 2 Menit
Harini Wijoso Divonis Empat Tahun Penjara
Hukumonline

 

Itu, menurut majelis dibuktikan dengan pernyataan Harini, Kalau uang tidak diberikan maka putusan bisa berubah, tutur Harini kepada Probosutedjo saat itu. Padahal belum ada putusan dalam perkara ini.

 

Jika dicermati, mengacu pada kronologis perkara, maka pertimbangan majelis perlu dipertanyakan. Pertanyaannya, bagaimana Harini dan Pono bisa mengakali Probosutedjo ketika mereka –Harini dan Pono-- justru diakali oleh Sudi Achmad lewat putusan palsu. Artinya, baik Harini maupun Pono sebenarnya tidak tahu kalau salinan 'putusan' itu adalah putusan palsu yang dibuat Sudi Achmad. 

 

Meski dakwaan pertama tidak terbukti, majelis menyatakan dakwaan kedua yang kesatu, Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Korupsi yang mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud terbukti.

 

Pasalnya, terungkap dalam persidangan, pada Agustus 2005, Harini yang menerima Rp1 miliar dari Probosutedjo memberikan Rp100 juta kepada Pono. Oleh Pono uang tersebut diserahkan kepada Sudi Achmad, yang akhirnya membagi-bagikan masing-masing; Pono, Rp4 juta, Suhartoyo, Rp2 juta, Malem Pagi Sinuhadji, Rp30 juta dan sisanya, Rp64 juta untuk Sudi.

 

Selain Rp100 juta untuk biaya operasional, Probosutedjo masih memberikan uang AS$400 ribu dan Rp800 juta kepada Harini dan Pono. Dari uang tersebut, AS$100 ribu dan Rp800 juta diberikan kepada Sudi Achmad yang kemudian dibagikan ke Suhartoyo, Rp100 juta, Pono Rp300 juta. Sementara, sisa uang AS$300 ribu dibawa Pono.

 

Dissenting Opinion

Berbeda dengan majelis, Kresna Menon dalam dissenting opinion-nya menyatakan dakwaan pertama yang kedua, yakni permufakatan jahat untuk mempengaruhi putusan terbukti. Hal tersebut menurut Kresna dibuktikan dari tindakan Probosutedjo yang menghubungi Harini untuk mengurus perkaranya. Selanjutnya, untuk melaksanakan permintaan Probosutedjo, Harini menghubungi Pono yang kemudian meminta tolong kepada Sudi Achmad.

 

Hal tersebut didukung dengan fakta permintaan uang oleh Harini kepada Probosutedjo dengan pernyataan, Kalau uang tidak diberikan maka putusan bisa berubah.

 

Berbeda dengan Kresna Menon, Sutiyono tetap keukeuh dengan dissenting opinion-nya dalam tiga putusan --Malem Pagi dan Sriyadi, Suhartoyo, serta Pono Waluyo—bahwa perbuatan Harini bukanlah tindak pidana korupsi namun tindak pidana penipuan. Sehingga, Pengadilan Tipikor menurut Sutiyono tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara.

 

Menanggapi pertimbangan hukum majelis, Wisnu Baroto, salah satu penuntut umum Harini menyatakan majelis menafsirkan dakwaan secara sepotong-potong. Dalam tuntutan saya jelas menyatakan terjadi permufakatan jahat untuk mempengaruhi putusan, tukas Wisnu. Artinya, jika permufakatan jahat terbukti, maka dakwaan tersebut dianggap terbukti.

 

Sementara itu, dalam sidang yang digelar sebelumnya pada hari yang sama, Pono Waluyo, staf bagian kendaraan MA, terdakwa dalam perkara yang sama divonis tiga tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider tiga bulan kurungan. Selain sama-sama disertai dua dissenting opinion dari Kresna Menon dan Sutiyono, pertimbangan hukum majelis dalam perkara Pono hampir sama dengan pertimbangan hukum dalam perkara Harini. Usai putusan, baik penasihat hukum Harini, Pono maupun penuntut umum dua perkara tersebut menyatakan pikir-pikir.

Harini Wijoso, terdakwa dalam upaya penyuapan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jumat (30/6) divonis empat tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider enam bulan kurungan. Putusan ini jauh dari tuntutan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya yang menuntut delapan tahun penjara.

 

Namun demikian, putusan tersebut tidak dicapai secara bulat. Tercatat Kresna Menon, ketua majelis dan Sutiyono hakim anggota yang keduanya merupakan hakim dari unsur karir mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) yang berlainan antara satu dengan lainnya. Artinya ada tiga pendapat dalam putusan; yakni pendapat mayoritas diwakili tiga hakim ad hoc (Ugo, Sofialdi, Slamet Subagio), lalu pendapat Kresna dan Sutiyono.

 

UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001

Pasal 5

(1)   Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

Pasal 6

(1)   Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a.memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

 

Dalam pertimbangannya, majelis menyatakan Harini tidak terbukti melakukan percobaan penyuapan kepada Bagir Manan seperti dakwaan pertama yang kesatu. Pasalnya, tidak ada perbuatan permulaan yang dilakukan oleh Harini.  Selain itu, dakwaan pertama yang kedua yang diancam dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a jo pasal 15 Undang-Undang 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi) menurut majelis juga tidak terbukti. Sehingga, keseluruhan dakwaan pertama tidak dapat dikenakan kepada Harini.

 

Yang menarik dalam pertimbangan majelis, meski unsur melakukan permufakatan jahat terbukti, namun unsur memberikan sesuatu atau janji kepada hakim tidak terbukti. Alasannya, meski Probosutedjo memberikan dana AS$400 ribu dan Rp800 juta kepada Harini dan Pono Waluyo, untuk mengurus perkara korupsi Hutan Tanaman Industri yang berada dalam proses kasasi, namun permintaan tersebut dianggap akal-akalan Harini dan Pono Waluyo.

Tags: