Meski Kontroversial, Perda Antimaksiat Depok Tetap Diproses
Berita

Meski Kontroversial, Perda Antimaksiat Depok Tetap Diproses

Revisi draft tidak menjiplak Perda serupa di Tangerang. Walaupun dikritik, DPRD bertekad tetap melanjutkan pembahasan.

Oleh:
M-4
Bacaan 2 Menit
Meski Kontroversial, Perda Antimaksiat Depok Tetap Diproses
Hukumonline

 

Agung mengatakan masukan yang diberikan sampai saat ini berkisar pada bunyi pasal yang multitafsir. Pengertian multitafsir tersebut dapat membuat orang dapat berprasangka buruk pada orang yang mencurigakan. Namun menurut Agung ketentuan yang multitafsir tersebut telah dianulir. Selain itu DPRD juga mendapat masukan  bahwa sanksi yang ada dalam Perda perlu dipertegas.

 

Pendapat yang sama juga disampaikan praktisi hukum Depok Salviadona Tri P yang mengatakan bahwa terdapat kendala yuridis dalam pembentukan Raperda antimaksiat di Depok. Kendala tersebut berupa penentuan sanksi yang dibatasi oleh peraturan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dimana sanksi pidana yang boleh diatur dalam Perda adalah pidana kurungan maksimal 6 bulan atau denda paling banyak Rp50 juta. Sanksi yang ringan ini menurut dia dapat membuat pelaku pelacuran dan penjual minuman beralkohol tidak jera.

 

Salviadona juga menambahkan jumlah PPNS dan penyidik Polri kota Depok sangat kurang. Sehingga penegakan hukum dalam pelaksanaan Raperda Anti maksiat tersebut nantinya akan mengalami kesulitan.

 

Selain itu menurut beliau secara yuridis Raperda ini tidak bertentangan dengan KUHP, karena  delik yang diatur dalam KUHP  tidak mengatur spesifik mengenai pelacuran. Selain itu KUHP juga tidak sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia dengan mengutamakan kebebasan, menonjolkan hak-hak individu dan kurang berhubungan dengan moralitas.

 

Pendapat berbeda disampaikan pengajar hukum kemasyarakatan FHUI, Kunthi Tridewiyanti  bahwa Raperda Antimaksiat melanggar hak asasi manusia. Perda ini melanggar ketentuan hak asasi manusia yang sudah dibahas dalam  UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi  Terhadap Perempuan dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Menurutnya Raperda ini dikhawatirkan akan memperbanyak  lembaga perkawinan bawah tangan, nikah siri, kawin mut'ah, kawin kontrak  dan kawin pesanan.

 

Beliau juga khawatir akan terulangnya tindakan diskriminatif pada perempuan seperti yang pernah terjadi ketika pemberlakuan Perda Pelacuran di Tangerang dimana banyak perempuan yang salah tangkap. Selain itu ketentuan dalam draft pertama Raperda ini, bias gender dan memposisikan perempuan sebagai pelaku daripada korban. Padahal keinginan menjadi pelacur tidak serta merta  datang dari perempuan itu sendiri melainkan karena dipaksa dan terpaksa.

 

Beliau menambahkan masih banyak aturan yang tidak terakomodasi dalam Undang-Undang ini dimana  hubungan seksual pada pernikahan pesanan, nikah siri dan mut'ah tidak tersentuh dalam Raperda ini.

 

Kunthi mengatakan budaya hukum masyarakat Depok yang plural memiliki kebiasaan, cara pandang, cara bertindak dan berfikir yang beragam membuat pemahaman akan moralitas juga beragam. Oleh karena itu beliau mempertanyakan efektivitas ketika sudah menjadi Perda apakah akan menjadi  kertas yang berisi peraturan saja tetapi tidak dijalankan.

 

Agung menampik hal tersebut dimana sebagai kontrak sosial di tingkat daerah  maka Perda bukan merupakan rumusan yang dirumuskan DPRD saja melainkan kaidah yang perlu ditaati semua pelaku tata pemerintahan di daerah. Namun sebagai produk perundang-undangan DPRD harus memperhatikan berbagai kepentingan agar dapat diterima semua kalangan. Selain itu penyusunan Perda perlu perhatikan keterkaitan dan pembanding dengan Perda lainnya. 

Raperda Antimaksiat menjadi Raperda prioritas pada masa kerja DPRD Depok. Raperda ini merupakan inisiatif Komisi A DPRD yang terdiri paket Raperda Pelacuran dan Raperda Minuman Beralkohol. Rencananya setelah melewati hearing tahap kedua dan ketiga, Raperda ini akan disahkan menjadi Perda.

 

Wakil Ketua DPRD  Depok Agung Witjaksono mengatakan perlu pengesahan Raperda Depok karena kebutuhan akan koridor hukum untuk membentengi percepatan pembangunan. Maka selain pembangunan secara fisik Depok memerlukan pembangunan moral. Menurut Agung depok sebagi daerah penyangga Jakarta memiliki masalah kerawanan sosial. Beliau mencontohkan  terdapat titik lokasi pelacuran seperti di Sawangan dan Margonda yang berpotensi berkembangnya masalah kesusilaan.

 

Menurut Agung, tidak seperti Perda Badung (Bali) yang hanya mengatur aspek institusi dan Perda Tangerang yang menekankan pada individu, Raperda Depok memuat aturan bagi pelanggar kesusilaan individu dan institusi. Dengan begitu selain tempat maksiat yang dilarang keberadaannya, warga sebagai individu juga dikenakan aturan sebagai upaya preventif penularan HIV/AIDS di Depok.

 

Draft Raperda ini memiliki banyak kesamaan dengan Perda Tangerang baik dari segi definisi, pelaku yang dapat dijerat dan hukum acara. Hal itu diakui Agung bahwa draft Raperda ini memang hampir sama dengan Perda Tangerang namun esensinya masih dapat dirubah mengikuti perkembangan di masyarakat. 

 

DPRD Depok sedang mengkaji Perda ini dalam tahapan hearing kepada pihak-pihak terkait. Rencananya sebelum disahkan, akan dilakukan  hearing dalam tiga tahap dimana tahap pertama sudah dilakukan dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat. Kemarin kita sudah bertemu dengan ormas seperti FPI, MUI dan LSM lainnya, papar Agung yang ditemui seusai acara Diskusi Panel Perda Kesusilaan diselenggarkan Lembaga Kajian Ilmu dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (27/7).

Tags: