Pidato Presiden di DPD akan Jadi Konvensi
Berita

Pidato Presiden di DPD akan Jadi Konvensi

Pada 23 Agustus 2006 nanti untuk kedua kalinya Presiden akan berpidato di depan Anggota DPD. Bisakah akan jadi konvensi ketatanegaraan.

Oleh:
M-1
Bacaan 2 Menit
Pidato Presiden di DPD akan Jadi Konvensi
Hukumonline

 

Dihubungi secara terpisah, Prof. Jimly Asshiddiqie Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa untuk dapat dianggap suatu konvensi, suatu kejadian tidak harus berulang-ulang. "Satu kali pun bisa dianggap konvensi," ujarnya. Prof. Jimly juga membedakan antara konvensi ketatanegaraan dengan kebiasaan ketatanegaraan. Jimly menjelaskan bahwa konvensi ketatanegaraan bisa menjadi salah satu cara untuk memperbaiki kekurangan UUD 1945, disamping dengan perbaikan secara formal serta dengan penafsiran judicial.

 

Isi Pidato

Menurut Sarwono Kusumaatmadja, Anggota DPD dari Jakarta, presiden dihadapan DPD akan menyampaikan laporan mengenai pembangunan daerah. Pernyataan Sarwono dibenarkan oleh Marwan Batubara yang juga anggota DPD dari Jakarta saat dihubungi hukumonline.

 

Marwan berharap Presiden menyampaikan laporan pembangunan daerah terutama terkait dengan otonomi daerah, kemiskinan, pengangguran, kesehatan dan pendidikan. Dalam rapat paripurna nanti, kata Marwan, acaranya hanya mendengarkan pidato kenegaraan dan tidak ada tanya jawab ataupun interupsi. "Seperti sidang DPR kemarin," tandas Marwan.

 

Selain dihadiri oleh Presiden dan wakil Presiden, acara tersebut rencananya juga akan akan dihadiri Pimpinan DPR, Pimpinan MPR, serta menteri yang terkait pembangunan daerah seperti Menteri Keuangan, Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Menteri Kesehatan, dan Menteri Pertanian.

 

Gubernur dan bupati se-Indonesia pun menurut Marwan diundang oleh DPD, tetapi tidak wajib hadir dan kedatangan mereka nantinya tidak menjadi tanggungan DPD, tetapi dengan biaya sendiri.

 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menyatakan bahwa sebaiknya pidato presiden selain harus berisi mengenai laporan pembangunan daerah, juga laporan yang menyinggung masalah-masalah nasional. "Walaupun anggota DPD hanya bertugas mengurusi daerah, tapi mereka juga harus dianggap sebagai wakil daerah sehingga arus informasinya bukan hanya menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan daerah, tetapi perlu dipikirkan agar pertemuan nanti bisa menjadi medium yang tepat untuk menyampaikan kebijakan nasional kepada masyarakat di daerah," jelas Bivitri.

 

Setelah satu tahun lalu terjadi perdebatan alot mengenai perlu tidaknya Presiden berpidato di depan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pada 23 Agustus 2006 nanti Presiden memastikan akan hadir berpidato di hadapan anggota DPD. DPD pun sudah mempersiapkan acara tersebut dengan baik.

 

Meski memastikan presiden akan datang, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mangatakan bahwa Rapat Paripurna DPD tersebut dari sisi pemerintah tidak dianggap sebagai pidato kenegaraan. "Pada dasarnya Presiden hanya menyampaikan satu kali pidato kenegaraan dan itu memang ada konvensinya sejak kemerdekaan. Rapat Paripurna DPD nanti oleh sisi presiden tidak dilihat sebagai pidato kenegaraan tetapi sebagai keterangan pemerintah mengenai kebijakan pembangunan daerah. Praktek tahun lalu juga demikian," jelas Yusril saat ditemui hukumonline, Rabu (16/8).

 

Menurut Yusril, Rapat Paripurna DPD pada 23 Agustus tersebut sudah dianggap menjadi konvensi ketatanegaraan. Pendapat senada juga disampaikan oleh Sarwono Kusumaatmadja, Marwan Batubara,  dan Bivitri Susanti yang dihubungi hukumonline secara terpisah.

 

Namun demikian, Prof. Sri Soemantri berpendapat bahwa untuk dapat dianggap sebagai konvensi ketatanegaraan maka perlu juga diperbandingkan antara substansi pidato Presiden pada waktu pertama kali pidato di depan DPD tahun lalu dengan pidato tahun ini. "Kalau substansi itu sama dengan substansi pidato presiden seperti tahun lalu, itu bisa dikatakan kebiasaaan ketatanegaraan, tutur Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran tersebut.

 

Meski mengaku tidak ada batasan nominal secara resmi bagi suatu tindakan untuk dapat dianggap sebagai konvensi, menurut Prof. Sri Soemantri, pidato Presiden pada tanggal 23 Agustus nanti belum dapat dianggap sebagai konvensi ketatanegaraan. "Baru dua kali, menurut saya belum bisa dingggap sebagai konvensi. Kalau ketiga atau keempat mungkin baru bisa disebut konvensi," tandasnya.

 

Menurut Prof. Sri Soemantri konvensi ada dua, yaitu yang berupa kebiasaan ketatanegaraan yang tidak tertulis, dan express agreement yang dinyatakan secara tegas dan tertulis.

Tags: