Ta'liq Talaq Keluarga Jawa di Mata Orang Jepang
Resensi

Ta'liq Talaq Keluarga Jawa di Mata Orang Jepang

Biduk rumah tangga tak selamanya bisa dipertahankan ke arah yang sama. Ada hal tertentu yang membuat rumah tangga retak, alur pikir dan persepsi pasangan suami isteri tak lagi sejalan.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
<i>Ta'liq Talaq</i> Keluarga Jawa di Mata Orang Jepang
Hukumonline

Perceraian tak memandang siapapun. Keluarga yang selama ini tampak harmonis, suatu saat bisa saja bercerai. Ada yang siap secara psikologis, ada yang tak siap secara fisik. Islam termasuk agama yang membuka celah untuk perceraian jika kedua pasangan tidak cocok lagi atau karena sebab-sebab yang sudah dipersyaratkan.

 

Sudah cukup banyak literatur yang membahas bagaimana perkawinan, khususnya pada masyarakat Jawa, berlangsung. Termasuk seluk beluk yang menyebabkan suatu ikatan perkawinan putus. Karya klasik Thomas Standford Raffles, The History of Java (2 volume) dan karya Clifford Geertz, The Religion of Java atau yang ditulis Hildred Geertz The Javanese Family: a Study of Kinship and Socialization sedikit banyak menyinggung masalah ini. Karya-karya penting mengenai Jawa dengan segala aspek budayanya terus bertambah. Dalam konteks inilah tulisan Hisako Nakamura patut diletakkan.

 

 

Judul: Conditional Divorce in Indonesia

Penulis: Hisako Nakamura

Penerbit: Islamic Legal Studies Program Harvard Law School

Terbitan: Occasional Publishing 7, July 2006

Halaman: 38 + vi

 

Hisako Nakamura, seorang profesor antropologi di Bunkyo University Jepang, tertarik membahas kasus perceraian ketika mengikuti suaminya di Kotagede Yogyakarta pada penghujung tahun 1970. Hasil pengamatannya terhadap perceraian di kota inilah yang kemudian dituangkan ke dalam buklet yang diterbitkan Program Studi Islam Harvard Law School, Amerika Serikat.

 

Hampir seratus persen penduduk kota ini pada saat Nakamura datang dibangun dalam keluarga Muslim. Ia mencoba melihat pengaruh hukum Islam terhadap kehidupan keluarga-keluarga tersebut.

 

Menurut Nakamura, perkawinan dalam Islam merupakan sebuah ‘kontrak' antara suami dengan wali dari calon isteri. Perceraian terjadi bila ada ketidaksepakatan atas ‘kontrak' tersebut. Dalam perceraian, suami harus mengucapkan secara jelas ikrar cerai sebagai keinginannya sendiri (hal. 12).

 

Hukum Islam mengenai beberapa istilah perceraian seperti talak, khul, shiqaq, dan faskh. Yang paling sering ditemukan adalah talak, yang ditandai hak unilateral suami menjatuhkan ikrar cerai. Talak berlaku begitu suami mengucapkan ikrar talak semisal Aku Ceraikan kamu…. Ikrar cerai (divorce proclamation) tersebut di mata Nakamura merupakan prosedur hukum penting dalam proses perceraian (hal 7).

 

Acapkali perceraian atau talak didasarkan pada hal atau syarat tertentu. Bisa berupa peristiwa, waktu, atau tempat. Talak baru sah secara hukum apabila salah satu syarat tadi terpenuhi. Misalkan, suami mengatakan bahwa ia akan menceraikan isteri apabila isteri minum-minuman keras. Perceraian sah begitu isteri meminum-minuman keras tadi. Itulah yang disebut Nakamura sebagai conditional divorce, biasa disebut taklik talak.

 

Sebenarnya di beberapa negara perceraian bersyarat tidak dapat dibenarkan jika syarat yang dikemukakan suami tidak rasional. Di Indonesia, penerapannya terus mengalami perkembangan. Lewat tulisan setebal 38 halaman, Nakamura mencoba menguraikan perkembangannya pada tiga periode: masa Sultan Agung (abad ke-17), masa penjajahan Belanda, dan masa setelah kemerdekaan.

 

Sejak zaman kerajaan Islam Mataram, praktek taklik talak sudah bisa ditelusuri. Pada masa Sultan Agung (1613) taklik talak dilembagakan sebagai suatu kebijakan administratif penguasa. Pada periode ini ikrar talak tak langsung diucapkan oleh suami kepada isteri, melainkan lewat penghulu naib.

 

Pada masa penjajahan Belanda, aturan tentang taklik talak juga dibuat. Gubernur Jenderal Daendels (1807) mengeluarkan perintah kepada para bupati di Jawa. Perintah itu diikuti pengaturan tugas-tugas penghulu sebagaimana diatur pada Staatblad 1835 No. 58, serta pembentukan peradilan agama berdasarkan Staatblad 1882 No. 152. Kemudian, taklik talak juga bisa ditemukan pada Ordonansi Pencatatan Perkawinan (Staatblad 1895 No. 198 dan beleid lain yang sejenis). Belanda menambahkan beberapa syarat terutama kewajiban suami terhadap isteri jika terjadi perceraian. Selama ratusan tahun, praktek taklik talak berlangsung di tengah munculnya teori-teori penerimaan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat oleh Snouck Hurgronje, Ter Haar, Van Vollenhoven hingga ke Hazairin dan Prof. Busthanul Arifin di masa kemerdekaan.

 

Sejak kemerdekaan, aturan taklik talak berlaku secara nasional. Kewajiban suami membayar nafkah isteri yang diceraikan pun diformulasikan ke dalam hukum nasional (UU Perkawinan 1974).

 

Praktek cerai bersyarat, menurut Nakamura, memunculkan dua problem pendekatan antropologis mengenai penerapan hukum Islam dalam kehidupan keluarga di Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Di satu sisi terjadi dikotomi antara tradisi ‘besar' dan tradisi ‘kecil', di sisi lain antara masyarakat kota dengan masyarakat pinggiran. Nakamura menambahkan adanya dikotomi antara adat versus Islam, dan antara aturan fikih san kebijakan negara (siyasa).

 

Meskipun ringkas, tulisan Nakamura mencoba membeberkan sudut pandang lain pendekatan antropologis terhadap masyarakat Jawa. Seperti yang dia sebut, Nakamura ingin menunjukkan bahwa gambaran Hilda Geertz tentang adat atau budaya lokal masyarakat Jawa, ‘jauh dari yang sebenarnya' (hal. 30). Untuk mendalami lebih jauh masalah ini, kita bisa membaca tulisan lain Nakamura yang diterbitkan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Divorce in Java (1983).

Tags: