Presiden Tidak Memberikan Klarifikasi, DPR Kecewa
Berita

Presiden Tidak Memberikan Klarifikasi, DPR Kecewa

Jakarta, Hukumonline. Penantian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap jawaban hak interpelasi Presiden Abdurrahman Wahid berbuntut tidak puas. Gus Dur menolak klarifikasi pemecatan dua menterinya. Dalam jawaban tertulisnya, Presiden melihat dari sisi yuridis hak interpelasi tidak diatur dalam konstitusi.

Oleh:
Tri/Ari/APr
Bacaan 2 Menit
Presiden Tidak Memberikan Klarifikasi, DPR Kecewa
Hukumonline
Berjuta pasang mata di seluruh Indonesia pada 20 Juli 2000 menyaksikan dengan seksama jawaban hak interpelasi Gus Dur di depan 439 anggota DPR yang disiarkan langsung lewat layar kaca. Dari sisi keterbukaan, masyarakat kembali menyaksikan wakil-wakil rakyatnya melontarkan pertanyaan tajam kepada presiden.

Masyarakat banyak kecewa dan anggota DPR tentu tidak puas karena Presiden tidak memberikan klarifikasi mengenai pemecatan dua menterinya. Saya tidak bisa melayani permintaan klarifikasi tentang hal-hal mengenai kedua menteri yang bahannya diambil darti pemberitaan media massa, yang bersumber dari bocoran rapat konsultasi tertutup antara Presiden dann pimpinan Dewan beberapa bulan lalu, ujar Gus Dur.

Sidang paripurna meminta penjelasan Presiden oleh DPR ini merupakan yang kedua. Sebelumnya Presiden pernah dipanggil oleh DPR pada 18 November 1999 ketika Presiden melikuidasi dua departemen, yaitu Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.

Bukan menjatuhkan

Sidang ini dimulai tepat pukul sembilan yang dipimpin oleh Ketua DPR, Akbar Tandjung. Agenda sidang paripurna ini adalah mendengar jawaban presiden terhadap hak interpelasi yang diajaukan oleh DPR berkaitan dengan pemberhentian terhadap dua orang menteri Kabinet Persatuan Nasional, Laksamana Sukardi (Menteri Penanaman Modal & Pemberdayaan BUMN) dan Jusuf Kalla (Menteri Perindustrian dan Perdagangan).

Keterangan presiden ini, menurut Akbar, sangat penting karena pernyataan presiden yang saling bertentangan dan dipandang tidak konsisten serta mengadung unsur tuduhan KKN, yang melibatkan mantan kedua menteri tersebut.

Akbar menjelaskan, rapat paripurna untuk mendengarkan penjelasan dari Presiden merupakan hak DPR sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat 3 huruf A UU No. 4/1999 tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD serta pasal 10 Tata Tertib DPR RI.

Namun Akbar Tanjung mengatakan bahwa permintaan DPR ini bukan berarti menggungat hak prerogatif presiden. Pasalnya, mengangkat dan memberhentikan menteri merupakan hak prerogratif presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Bab V pasal 17 ayat 2.

Akbar menegaskan bahwa sidang ini bukan bermaksud untuk menjatuhkan presiden, tetapi hanya meminta keterangan dari presiden tentang hal itu. Ini merupakan hal yang wajar dalam negara demokrasi dan sama sekali bukan ditujukan untuk menjatuhkan wibawa atau keberadaan salah satu pihak (presiden dan DPR), kata Akbar.

Tidak menjawab

Dalam pidato awalnya, Gus Dur juga menyatakan bahwa untuk tetap berjalannya demokrasi yang telah dibangun, sesama lembaga-lembaga tinggi negara harus saling menghormati. Meskipun tidak diharuskan UUD, saya putuskan datang kemari karena pertimbangan bahwa kita baru saja mendirikan demokrasi yang sebenarnya di negeri ini, katanya.

Gus Dur juga menyatakan bahwa yang akan membacakan pejelasan pemerintah mengenai pemberhentian kedua menteri tersebut adalah Sekretaris Negara, Djohan Effendi. Djohan sebagai orang yang membacakan jawaban presiden dan bukan wakil pemerintah karena saya tidak bisa baca, cetus Gus Dur.

Dalam jawaban tertulisnya itu, Presiden mempertanyakan hak interpelasi dan hak angket. Pasalnya, hak-hak tersebut tidak dikenal dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945) dan hanya berada di dalam UU (UU N0.4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD), sehingga tidak mempunyai dasar hukum secara konstitusi.

Presiden menyatakan, hak interpelasi atau hak meminta keterangan adalah sama saja dan itu hanya dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer di mana DPR dapat menjatuhkan pemerintah dan sebaliknya presiden dapat membubarkan DPR.

Sementara sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 adalah presidential, sehingga di dalam UUD 1945 tidak akan ditemukan dan memang tidak diadakan hak interpelasi atau hak angket karena presiden tidak betanggung jawab kepada DPR. Hak yang menyangkut pertanggungjawaban pemerintah kepada DPR tidak dimasukkan didalam UUD 1945.

Lebih lanjut presiden menegaskan bahwa dalam sistem pemerintahan presidential memang hak interpelasi dan hak angket tidak dicantumkan sebagai hak DPR, sedangkan hak-hak lainnya memang diadakan seperti hak anggaran dan hak insiatif untuk merancang UU.

Menurut Presiden, konsekuensi sistem pemerintahan presidential memang disadari penuh oleh perancang UUD 1945 dan dasar pemikiran tersebut tetap bertahan sampai sekarang. Hal ini ditujukan, walaupun telah diamandemen UUD 1945, tetap tidak memuat beberapa pasal mengenai hak interpelasi

Presiden juga menyebutkan, beberapa waktu lalu ketika amandemen pertama UUD 1945 yang mengubah beberapa pasal dalam UUD 1945 mengenai kedudukan DPR (hak interpelasi dan hak angket tetap tidak dicantumkan), konsep sistematik UUD 1945 yang bersifat pemerintah presidential tetap terjaga dan masih dipertahankan.

Intinya adalah presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, sehingga Dewan tidak perlu dilengkapi dengan instrumen konstitusional yang merupakan bagian dari proses untuk meminta pertanggungajawaban kepada Presiden. Hal ini perlu ditegaskan kembali untuk mecegah terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam sistem presidential.

Presiden juga menyebutkan hak interpelasi dan hak angket tidak diatur dalam UUD 1945. Hak interpelasi dan hak angket yang diatur dalam Undang-undang biasa dapat dianggap sebagai bertentangan dengan UUD 1945. Apabila presiden melayani hak interpelasi DPR, dapat dituduh turut serta ikut melanggar konstitusi atau setidak-tidaknya menyimpang dari UUD 1945.

Jawaban tertulis

Jawaban tertulis Presiden itu mendapat reaksi dari anggota Dewan. Ada 23 anggota Dewan yang mengajukan pertanyaan mengenai dasar hukum dan substansi masalah. Sebagian lagi mengungkapkan agar presiden meminta maaf saja.

Hamdan Zoelva dari Fraksi Bulan Bintang termasuk yang kecewa dengan jawaban tertulis Presiden yang tidak menjawab substansi masalah. Perdebatan akademis tidak di forum ini, katanya. Ia juga berpendapat, tidak semua hal diatur UUD 1945 karena Pemilu pun tidak diatur UUD 1945.

Sampai usai persidangan, Presiden tidak menjawab pertanyaan angota Dewan. Bahkan, presiden juga tidak meyatakan permintaan maaf yang sangat ditunggu-tunggu oleh anggota DPR. Banyak anggota Dewan yang menganggap permintaan maaf cukup untuk melunakkan hati anngota Dewan.

Selaku pemimpin rapat, Akbar Tandjung menanyakan apakah Presiden akan memberikan tanggapan langsung atau tertulis. Namun, Presiden menyatakan akan memberikan jawaban tertulis. DPR memberikan batas waktu Jumat sore (21 Juli 2000) untuk menerima jawaban tertulis Presiden. Jawaban Presiden ini akan dibawa ke Sidang Paripurna pada 24 Juli 2000.

Jawaban presiden nanti mungkin tidak juga memuaskan anggota Dewan. Namun apapun jawaban presiden, itu tidak berdampak langsung kepada kedudukan presiden. Apalagi materi yang ditanyakan merupakan hak prerogatif presiden. Jika yang ditanyakan kasus Buloggate atau Bruneigate, mungkin lain ceritanya.

Di sisi lain, dari sisi hukum, masih banyak pro kontra soal hak interpelasi. Namun ada pelajaran lebih berharga bagi bangsa ini. Masyarakat bisa melihat wakilnya di DPR menjalankan fungsinya untuk mengkritik pemerintah. Dan Presiden bersedia datang ke DPR walaupun tidak memberikan jawaban.
Tags: