Ada Apa dengan Badan Arbitrase Syariah?
Fokus

Ada Apa dengan Badan Arbitrase Syariah?

Tengoklah fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Coba periksa bagian penyelesaian sengketa dalam praktik ekonomi syariah. Seluruh fatwa itu menyebutkan, hanya Badan Arbitrase Syariah Nasional alias Basyarnas yang berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang ekonomi syariah.

Oleh:
CRH
Bacaan 2 Menit
Ada Apa dengan Badan Arbitrase Syariah?
Hukumonline

 

Sudah ada korban

Sejatinya, arbitrase syariah merupakan penyelesaian sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah, di luar jalur pengadilan untuk mencapai penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak menghasilkan mufakat. Arbitrase ini dilakukan dengan menunjuk dan memberi kuasa kepada badan arbitrase untuk memberi keadilan dan kepatutan berdasarkan syariat Islam dan prosedur hukum yang berlaku. Putusan arbitrase syariah bersifat final dan mengikat (binding).

 

Di Indonesia, arbitrase syariah didirikan bersamaan dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992. Tujuannya untuk menangani sengketa antara nasabah dan bank syariah pertama tersebut. Lembaga arbitrase tersebut dikenal dengan Badan Arbitrase Arbitrase Muamalat (BAMUI) berdasarkan SK No Kep-392/MUI/V/1992.

 

Pada tahun 2003, beberapa bank atau Unit Usaha Syariah (UUS) lahir sehingga BAMUI dirubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) hingga kini. Perubahan tersebut berdasarkan SK MUI No Kep-09/MUI XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003.

 

Namun, keberadaan Basyarnas tak bisa begitu saja difungsikan. Harus digarisbawahi, penyelesaian lewat Basyarnas bisa dilakukan apabila dalam akad dibuat klausula mengenai penyelesaian sengketa melalui Arbriter. Hal ini mengacu pada ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

 

Karena itu, DSN-MUI tidak cermat ketika menyatakan sengketa di bidang ekonomi syariah harus diselesaikan melalui Basyarnas. Sangat mungkin, di antara pihak-pihak yang meneken akad ada yang tidak sepakat menyelesaikan sengketa yang timbul melalui Basyarnas. Bisa jadi, karena mereka masih mempertanyakan kapabilitas Basyarnas atau karena pertimbangan lain.

 

Dan, fakta memang menunjukkan adanya pihak yang tak menyepakati diselesaikannya sengketa ekonomi syariah melalui Basyarnas. Mengenai hal ini, hukumonline sudah pernah memperkirakan.  Waktu itu, Pertamina mengajukan pembiayaan dalam skema murabahah (jual beli) kepada dua Bank Syariah untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan. Kedua bank syariah itu sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit kendaraan. Suatu kali, Pertamina terlambat membayar, namun, secara sepihak, salah satu bank tiba-tiba menaikkan harga jual akad murabahah. Padahal, sesuai fatwa DSN-MUI, dalam akad murabahah, pihak bank syariah tidak boleh menaikkan harga selama masa pembiayaan.

 

Sengketa ini tak kunjung selesai karena pihak bank enggan membawa kasus ini ke Basyarnas. Padahal, kasus sengketa mengenai ekonomi syariah baru bisa dibawa ke lembaga abitrase kalau kedua pihak menyetujui.

 

Pihak bank ini memilih menyelesaikannya melalui pengadilan umum karena bisa mendapatkan untung sekitar Rp 250 juta. Klien kami menjadi korbannya, ujar Agustiono. Dosen pasca sarjana UI ini lalu melaporkan kasus ini ke Bank Indonesia, Bank Syariah yang bersangkutan, DSN-MUI dan Dewan Pengawas Syariah (DPS), namun hasilnya tetap nihil.

 

Perlu Ketegasan

Kalau mau jujur, pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 bukan tanpa masalah. Jelas terbaca, kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan persoalan ekonomi syariah dibatasi hanya untuk orang-orang tertentu (Islam). Menjadi pertanyaan: bisakah pengertian orang dalam ketentuan mengenai kewenangan tersebut diartikan melalui intepretasi analogi sebagai badan hukum? Kalau bisa, mungkinkah Bank Syariah, misalnya, disejajarkan dengan orang Islam?

 

Tentu hal ini menjadi problematik. Tak hanya di wilayah akademis, tapi juga di ranah bisnis. Padahal, kepastian hukum sangat diperlukan. Karena itulah, MA yang kini mulai menggodok Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sudah sepatutnya memperhatikan persoalan ini dengan serius.

 

MA melalui KHES nantinya harus benar-benar menegaskan bagaimana idealnya penyelesaian sengketa yang timbul dalam praktik ekonomi syariah. Sudah tentu, MA tidak boleh memandang sebelah mata fatwa-fatwa yang dihasilkan DSN. Pun, MA tak patut mengabaikan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006.

 

Mengacu pada ketentuan perundangan yang sudah ada, MA harus menegaskan bahwa sengketa yang timbul dalam praktik ekonomi syariah mesti diselesaikan lewat Pengadilan Agama, kecuali jika para pihak menyatakan dalam akadnya suatu klausul mengenai dilibatkannnya Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa.

 

Tetapi penegasan ini tidak cukup. Berdasarkan pada ‘pengalaman' penyelesaian sengketa dalam hukum perikatan umum, lembaga arbitrase sebagai jalur penyelesaian non-litigasi ternyata masih membutuhkan kekuasaan peradilan. Dalam hal eksekusi misalnya. Lembaga arbitrase jelas-jelas tidak bisa melakukannya sendiri tanpa penetapan dari pengadilan. Karena itu, tugas dan wewenang pengadilan agama pun nanti kurang-lebih sama dengan pengadilan umum dalam hal merespon putusan lembaga arbitrase ini.

 

Tak ada masalah dengan fatwa-fatwa itu andai saja UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama masih tetap dipertahankan. Faktanya, UU tersebut telah direvisi dengan diterbitkannya UU No. 3 Tahun 2006

 

Mari mencermati pasal 49 UU No. 3 tahun 2006. Di situ dipaparkan, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi Islam. Adapun yang dimaksud dengan ekonomi syari'ah adalah kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah. Meliputi bank syari'ah, lembaga keuangan mikro syari'ah, asuransi syari'ah, reasuransi syari'ah, reksa dana syari'ah, obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah, sekuritas  syari'ah, pembiayaan syari'ah, pegadaian syari'ah, dana pensiun lembaga keuangan  syari'ah, dan bisnis syari'ah.

 

UU No. 3 Tahun 2006 diterbitkan pada 20 Maret lalu. Tiga hari kemudian, DSN-MUI meluncurkan empat fatwa. Keempatnya adalah fatwa mengenai akad mudharabah musytarakah, mudharabah pada asuransi syariah, wakalah bil ujrah pada asuransi dan reasuransi syariah, serta tabarru' (hibah) pada asuransi dan reasuransi syariah. Anehnya, DSN-MUI tetap menyatakan penyelesaian sengketa mengenai keempat akad tadi dilakukan oleh Basyarnas meski UU No. 3 Tahun 2006 nyata-nyata menyebutkan hal ini menjadi wewenang pengadilan agama.

 

Menjadi pertanyaan: apakah DSN-MUI tak mengetahui adanya UU Peradilan Agama yang baru itu? Secara logika, tidak mungkin. Satu hal yang jelas, seluruh fatwa DSN-MUI yang berjumlah 52 itu secara telak bertentangan dengan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 dalam hal penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah.  Seluruh ketentuan (mengenai sengketa dalam ekenomi syariah-red) dalam fatwa DSN-MUI itu harus dirubah. Demikian gugatan yang disampaikan Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Agustiono dalam seminar ekonomi syariah yang diselenggarakan Mahkamah Agung (MA), Senin (20/11).

Halaman Selanjutnya:
Tags: