Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP Dicabut
Berita

Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP Dicabut

Diwarnai voting yang ketat, Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden tidak mempunyai kekuatan mengikat. Jadi, demonstran di Istana sudah boleh menghina Presiden?

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP Dicabut
Hukumonline

 

Persulit klarifikasi

Pada bagian lain pertimbangannya, Mahkamah berpendapat keberadaan pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP bisa menghambat atau menjadi ganjalan dalam proses ketatanegaraan. Misalnya ketika muncul dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden. Upaya-upaya mengklarifikasi tuduhan pelanggaran tersebut bisa saja dipandang sebagai penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden.

 

Oleh karena itu, sebagai negara hukum-demokratis, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, tidak relevan lagi ketiga pasal tersebut menegasi prinsip persamaan di depan hukum. Eggi Sudjana langsung menyambut gembira putusan Mahkamah. Eggi akan menggunakan putusan itu sebagai alat bukti dalam persidangannya di PN Jakarta Pusat.

 

Namun keputusan Mahkamah diambil dengan voting yang ketat. Empat orang hakim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam arti tidak setuju pasal-pasal tadi ‘dicabut'. Keempat hakim yang berpendapat beda adalah I Dewa Gede Palguna, Soedarsono, HAS Natabaya dan H. Achmad Roestandi.

 

Apakah dengan putusan ini, berarti boleh menghina Presiden? Tidak juga. Sebab dalam KUHP masih ada pasal 310-321 dalam hal penghinaan ditujukan kepada kualitas pribadi Presiden, dan pasal 207 dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden/Wakil Presiden sebagai pejabat. Jadi, jangan berpikir masih bisa seenaknya mencaci maki Presiden ketika berdemonstrasi. Polisi masih bisa menggunakan jaring lain.

 

Mahkamah ‘mencabut nyawa' pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 KUHP yang selama ini selalu dipakai polisi untuk menjerat para demonstran di depan Istana Negara. Ketiga pasal itu dinilai majelis menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945, bahkan lebih jauh bisa menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi yang dijamin pasal 28 F.

 

Putusan diambil Mahkamah setelah mencermati permohonan yang diajukan Eggi Sudjana (perkara No. 013/PUU-IV/2006) dan Pandapotan Lubis (perkara No. 022/PUU-IV/2006), keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan pemerintah dan DPR, serta bukti-bukti yang diajukan ke persidangan. Kedua pemohon adalah perseorangan yang pernah merasakan langsung dampak pasal penghinaan terhadap presiden.

 

Eggi dijerat pasal yang dikenal sebagai haatzai artikelen itu setelah merebaknya rumors pemberian mobil Jaguar kepada Presiden dan sejumlah orang lain; sementara Pandapotan ditangkap polisi karena menyebarkan spanduk yang isi mengkritik kepemimpinan SBY-JK. Pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 KUH Pidana berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi sikap tatkala ketiga pasal pidana dimaksud selalu digunakan aparat hjukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan, urai majelis dalam pertimbangannya.

 

Selama ini, pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP selalu dipakai polisi tanpa peduli apakah presiden merasa terhina atau tidak. Ketiga pasal itu memang bukan delik aduan. Sehingga polisi bisa dengan leluasa menangkapi orang dengan tuduhan menghina presiden. Padahal seharusnya orang yang merasa dihina harus membuat pengaduan. Mahkamah merujuk pad praktek yang berlaku di Jepang, dimana tuduhan penghinaan terhadap kaisar dan keluarganya harus didahului adanya pengaduan, misalnya oleh perdana menteri.

Tags: